Apa Kamu Masih Mencintaiku?

Apa Kamu Masih Mencintaiku?

Apa Kamu Masih Mencintaiku?

Oleh : Ning Kurniati

 

Aku membayangkan sebuah keluarga yang bahagia. Yang di dalamnya banyak canda tawa. Di mana suami dan istri saling berbagi suka-duka kehidupan. Saling memahami. Saling menguatkan.  

Sayang sekali, semua itu hanya sampai pada bulan kedua puluh pernikahan kami. Setelahnya, rumah sekadar tempat pertemuan juga untuk pulang. Bahkan pernah, satu kata pun tidak ada yang keluar dari mulutku maupun dia. Mulut kami seperti terkunci untuk sekadar berbasa-basi.

Kami menjadi pribadi yang begitu berbeda. Padahal, selama empat tahun saling mengenal sebelum pernikahan, aku yakin tahu segalanya tentang dia. Atau mungkin aku terlampau yakin.

Teman-teman yang sama-sama mengenal kami mengatakan mungkin kami jarang menghabiskan waktu bersama. Mereka menasihatiku bahwa kami harus saling terbuka dan saling memahami. Saling memaafkan, sambungku dalam hati dan itu titik akhir yang harus kami capai. Bila tidak, semuanya tidak ada gunanya.

Meski semua memang sudah tidak ada gunanya, menurutku.

Sekarang, dia mulai jarang pulang. Pun ketika pulang, hanya sebentar sekali, seakan-akan rumah ini hanya rumah singgah saja. Ketika aku mencarinya, dia sudah tidak ada lagi. Ketika aku menghubungi ponselnya, yang menjawab adalah operator, yang mengatakan nomor itu tidak aktif. Aku menulis pesan di WhatsApp dan setelah berjam-jam waktu berlalu hanya terlihat centang dua berwarna abu-abu.

***

Pagi-pagi aku bangun. Ternyata pagi-pagi dia pulang. Aku bertanya dia dari mana saja dan dia cuma menjawab dari luar. Aku berlalu. Anak kecil pun tahu bahwa dia dari luar.

Di dapur, seperti pagiku yang biasa, aku membuat teh. Namun, hari ini aku akan membuat kopi juga. Bagaimanapun aku masih istrinya, ‘kan.

Semoga masih ada kopi. Aku mengecek satu per satu toples-toples yang sengaja kuisi sediaan berbagai jenis bubuk minuman. Terlintas kenangan, dahulu kami senang mendatangi tempat-tempat yang menjual bubuk-bubuk itu.

***

Aku membawa nampan berisi minuman kami ke samping rumah, di mana di sana ada meja panjang dan kursi panjang untuk ditempati, yang memungkinkan kami untuk duduk berjauhan. Meski sebenarnya aku mengharapkan dia mau duduk sedikit lebih dekat.

Dia datang, dua menit setelah aku memanggilnya. Dalam balutan pakaian yang rapi, dia sepertinya sudah siap pergi lagi.

“Mau pergi lagi?”

Dia mengangguk. Kenapa juga aku harus bertanya padahal sudah mengetahui jawabannya. Aku menyesal, baru saja aku melakukan tindakan yang memalukan. Padahal di kepalaku, telah tersusun kalimat untuk mengajaknya bepergian ke suatu tempat barang sebentar saja.

Kopi yang kusediakan, aku melihat dia seperti buru-buru menyesapnya. Dia seperti mengejar waktu karena mungkin seorang perempuan sedang menungguinya atau … entahlah. Aku melirik jam di tangan, masih pukul enam lewat tiga puluh dua.

Dia berdiri tanpa ba-bi-bu, menoleh pun tidak, lalu melangkah pergi. Aku mengikutinya—berjalan di belakangnya selayaknya istri yang mengantarkan kepergian suaminya. Tapi di depan pintu, tiba-tiba dia berbalik, membuatku tercekat. Kami saling memandang. Kuperhatikan, dia seperti hendak bicara, tetapi setelah menunggu berdetik-detik lamanya, tak ada kata yang keluar dari mulutnya itu.

“Apa seharusnya aku mengajukan gugatan?” kataku.

“Apa kamu rasa itu yang terbaik? Kamu sudah menyerah ya, pada pernikahan?” balasnya sambil berjalan ke mobil putih itu. Mobil yang entah kapan terakhir kali aku duduk di dalamnya.

Aku mengejarnya, memegang tangannya ketika dia hendak membuka pintu. Kutanyakan, apa kamu sama sekali tidak merindukanku, apa kamu sudah melupakan semuanya, bagaimana bisa kamu memperlakukanku seperti ini?

Aku terperanjat. Sedikitpun aku tak bergerak, malah terpaku—diam di tempat. Mobil itu sudah melaju pergi.

Aku masuk ke dalam rumah, kembali memeluk kesunyian. Ketika aku ke kamar, mengecek apa ada jejak yang dia tinggalkan, yang ada hanyalah tiga lembar kemeja dan tiga lembar celana kain di dalam keranjang cucian. Dia cuma pulang untuk berganti pakaian dan mengambil beberapa helai lagi untuk beberapa hari ke depan.

Aku benar-benar tidak berguna. Atau justru berguna pada hal yang tidak penting dalam kehidupannya, seperti mencuci pakaiannya ini. Memangnya aku asisten rumah tangga?

***

Mungkin sudah saatnya aku memikirkan mengakhiri hubungan kami. Kami bisa dibilang tidak serumah lagi. Tidak bisa lagi dibilang suami-istri. Bahkan, tidak bisa juga disebut teman. Hubungan ini hambar.

Tidak ada lagi yang terasa akrab untuk kusentuh. Rumah ini pun begitu. Sejak dia mulai suka tidak pulang. Siang hari pun, aku suka keluyuran. Pulang bila malam sudah menjelang. Kembali ke rumah yang sunyi.

Aku mengamati segalanya. Ruangan-ruangan yang ada. Warna cat dinding kesukaanku dan kesukaannya di sisi bagian lain. Sofa yang kami beli bersama. Ini semua akan berakhir di suatu hari nanti.

Akan ada yang datang mengambil barang-barang ini atau membeli rumah ini. Mungkin kami akan berdiri berjauhan di salah satu sudut. Mungkin aku di dekat jendela. Kami akan menyaksikan orang-orang mengangkut barang-barang yang dulunya berlabel kepemilikan Bapak A dan Nyonya A, ke mobil-mobil pick up, ke tempat barang bekas. Seseorang dari mereka akan mendatangi salah satu dari kami, bisa saja aku ataupun dia. Kami akan menerima uang hasil penjualan, kemudian saling melirik satu sama lain. Atau mungkin juga tidak. Lalu, uang itu akan dibagi dua dan sudah … semuanya berakhir.

Kami tidak satu tempat tinggal lagi. Aku tidak akan mencari lagi, di mana dan ke mana dia. Kami tidak lagi bertemu. Mungkin tidak akan pernah memikirkan satu sama lain. Bahagia atau tidak, kami tidak akan saling peduli. Bagian terakhir, sepertinya ini sudah terjadi berbulan-bulan lamanya.

Aku berpindah pada album foto kami. Satu-satu aku amati foto-foto yang merekam kebahagian kami. Tanpa sadar, ternyata ada air yang menetes jatuh. Aku menangis. Aku menghapusnya. Aku menangis. Aku menghapusnya. Ada lagi yang jatuh aku menghapusnya. Terulang berkali-kali. Lalu, mendadak pintu terbuka dan dia muncul.

“Apa kamu masih mencintaiku? Apa masih ada sisa cinta untukku?” (*)

3 Juli 2020

 

Ning Kurniati, penulis pemula.

`

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply