Sertifikat
Oleh : Rinanda Tesniana
Meri, putri kesayanganku, sedang duduk gelisah di depanku. Suaminya, Dul, juga menunjukkan ekspresi yang sama. Aku dan Bang Andi, suamiku, berpandangan.
“Kenapa, sih, Nak? Kamu ada masalah?” tanyaku.
Meri meremas tangannya, sesekali dia memandangku dengan gugup, kemudian menunduk lagi.
Dul tak ubah istrinya, sesekali lelaki bertubuh kurus itu menggaruk kepalanya. Tak luput dari mataku, ketika ia menyenggol lutut istrinya.
“Mak,” ujar Meri pelan.
“Iya, Mer. Ada apa?” jawabku.
“Boleh gak, Meri pinjem sertifikat rumah Mamak?” Suaranya tersekat, seakan tersangkut di tenggorokan.
“Ha?” Bang Andi memekik. “Kenapa pulak kau pinjam surat rumah Bapak? Jangan kau ganggu-ganggu milik kami, Mer.”
“Pak ….” Tangis Meri pecah saat menjatuhkan diri di depan Bang Andi. Meri berlutut di hadapan bapaknya.
Dul menyusut air mata melihat sikap istrinya. Wajah lelaki itu tampak pucat, bahunya turun naik menahan tangis.
Entah apa yang sedang menimpa anakku ini, hingga dia memohon untuk meminjam harta milik kami satu-satunya. Rumah yang Bang Andi bangun dengan susah payah dari penghasilannya berjualan donat keliling
“Maaf, Pak. Usaha Bang Dul hancur, dia ditipu oleh rekan bisnisnya. Uang kami ratusan juta raib tak bersisa,” terang Meri. “Rumah kami akan dilelang oleh bank jika tak segera melunasi utang.”
“Bapak bukan kejam, Mer. Tetapi itu urusanmu dan suamimu. Milik kami sepetak ini, janganlah kau ganggu! Kami tak punya apa-apa selain rumah ini,” kata suamiku dengan tegas.
“Pak, Meri janji, setahun lagi, sertifikat rumah Bapak udah Meri kembalikan. Kami butuh modal, Pak, juga butuh dana segar buat bayar cicilan ke bank. Tolonglah, Pak. Meri udah jual semua perhiasan Meri, tetapi belum cukup buat modal Bang Dul membangun usahanya lagi.”
Aku memandang wajah Bang Andi yang mengeras. Aku tahu, lelaki itu sedang menahan amarahnya. Bang Andi sangat bangga dengan rumah kami ini. Kami sama-sama berasal dari keluarga tidak mampu, memiliki rumah ini saja kami menabung dan berhemat selama dua puluh tahun.
“Nantilah, Bapak bicarakan sama emak kau dulu. Ini masalah serius, Mer. Berurusan sama bank itu tidak mudah.”
“Tolonglah, Pak,” rengek Meri.
Bang Andi memijit pelipisnya, pria itu menghela napas berkali-kali setelah Meri pergi. Aku tahu, baginya ini masalah berat. Seumur pernikahan kami, kami tidak pernah berutang ke bank, atau kepada siapa pun. Jika tidak memiliki beras untuk makan, maka kami memilih puasa Daud.
Dulu, saat kami sedang susah, Bang Andi memetik dedaunan di rumah tetangga jika tidak memiliki apa pun untuk dimakan. Biasanya, tetangga malah memberi lebih pada Bang Andi, entah beras seliter atau telur dua butir.
Masa-masa itu sudah lama terlewat. Sekarang, kami tidak pernah kesulitan lagi untuk makan. Sekadar untuk memenuhi kebutuhan pokok, Bang Andi masih bisa memenuhinya.
***
Meri datang menjemput Bang Andi dengan wajah ceria. Hari ini, ia akan membawa bapaknya ke bank untuk menggadaikan sertifikat rumah kami.
“Janji, ya, Mer, paling lama setahun kau kembalikan sertifikat rumah Bapak,” ujar Bang Andi sambil memasang sepatu.
“Insyaallah, Pak.” Wajah Meri berpendar bahagia.
“Aku pergi, ya, Bah.” Bang Andi pamit padaku.
“Iya, Bang, hati-hati.” Aku mencium tangan lelaki itu.
***
Setahun sudah sejak Meri meminjam sertifikat rumah kami untuk modal. Sekali pun ia tidak pernah menginjakkan kakinya di rumah ini.
Petugas bank telah dua kali datang ke rumah kami. Memberi tahu bahwa jika kami tidak mampu membayar cicilannya, maka rumah ini akan disita.
Bang Andi sangat terpukul. Pria itu sekarang sering melamun, dan diam-diam meneteskan air mata.
“Bang, sudahlah. Daripada kita risau, lebih baik kita datang ke rumah Meri,” usulku.
Kami memang jarang berkunjung ke rumah Meri, sebab ia tiap minggu berkunjung ke rumah kami. Baru setahun belakangan ini, ia tak pernah datang lagi. Nomor telepon dia pun aku tak punya, karena tidak seorang pun di antara aku dan Bang Andi yang memiliki handphone.
Dengan menaiki motor satu-satunya milik suamiku, kami sampai di rumah Meri yang tampaknya sudah kosong.
“Bu, maaf numpang tanya, Meri pindah ke mana, ya, Bu?” tanyaku pada seorang ibu yang sedang duduk di sebuah warung sembako.
“Meri sama Dul udah pindah, Bu. Udah lama, sejak setahun lalu.”
“Astagfirullah, pindah ke mana?” Tangisku hampir pecah saat mendengar jawaban tersebut.
“Ke Jawa, Bu. Pulang kampung ke kampung suaminya. Kalau gak salah di Ponorogo. Rumah yang ini, kan, udah disita bank.”
“Ya, Allah.” Aku terduduk di tanah. Bulir bening jatuh tak tertahan. “Tega kali, Meri. Astagfirullah,” raungan kerasku seakan membelah langit yang tampak mendung.
***
Hidupku dan Bang Andi tidak pernah tenang lagi. Setiap hari orang bank meneror kami. Dinding luar rumah pun sudah dicoret dengan tulisan “disita”. Kami tidak bisa berbuat apa-apa.
“Kita tinggalkan sajalah rumah ini, Bah,” kata Bang Andi padaku suatu malam.
“Ke mana kita, Bang? Kita tidak punya tempat berteduh selain rumah ini.” Aku menangis di pelukan Bang Andi.
“Aku tidak sanggup setiap hari dimaki-maki oleh orang bank. Dianggap tidak mau membayar utang, padahal aku tidak ada memakai uang itu sepeser pun.”
“Aku pun tak sanggup, Bang, aku malu pada tetangga. Kita seperti penjahat, mereka sangat kasar.”
“Jadi, macam mana menurut kau, Bibah? Pergi sajalah kita dari sini. Biarlah kita kehilangan rumah dan anak kita. Kita mulai semuanya dari awal. Kau masih punya tabungan, kan, Bah?”
Aku membongkar lemari pakaian, menunjukkan simpanan emasku yang tidak seberapa.
“Bisalah kita pakai sebagai modal, Bah. Aku tak sanggup terus-menerus hidup dalam ketakutan.”
“Aku ikut Abang saja. Mau Abang bawa ke mana pun aku, aku siap.”
Bang Andi memelukku. Kami berpelukan dalam tangis pilu. Menangisi masa tua kami yang penuh cobaan. Kehilangan anak satu-satunya, dan rumah yang lelah kami perjuangkan.
“Anggap saja kita kembali ke masa lalu, Bah, masa pengantin baru. Kita berjuang lagi, berhemat lagi, mengumpulkan sen demi sen agar bisa membangun rumah lagi.” Lelaki itu bersemangat. Ia tertawa walaupun air matanya terus menetes.
Aku mengangguk, memeluknya lebih erat. (*)
Rinanda Tesniana, plegmatis yang punya sedikit teman.
Editor : Fitri Fatimah
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata.