Lelaki di Bibir Jembatan
Oleh: Medina Alexandria
“Seperti apa rasanya punya kekasih?” tanyaku pada pemuda yang duduk bersila di bibir jembatan, tak jauh dari tempatku memandangnya.
Bangunan beton yang berdiri setinggi pusar orang dewasa itu adalah tempat favorit kami melepas penat saban sore selepas menyabit rumput. An selalu duduk bersila di sana, menikmati semburat merah langit senja. Berbeda dengannya, aku tak berani menaiki bibir jembatan, jadi seperti biasa aku hanya menumpukan siku di atas bangunan semen selebar setengah meter itu. Mungkin aku menderita penyakit takut ketinggian.
Tangkai bunga rumput seukuran jarum benang kasur bergoyang naik turun di depan bibirnya. Dia tampak khusyuk menggigit-gigit pangkalnya, mungkin menikmati sensasi suara ‘kres’ setiap kali tangkai itu terpotong oleh gigi-gigi seri, seperti yang biasa kami lakukan.
An bergeming. Matanya menerawang pada warna kemerahan di langit barat. Dia menghela napas dalam, meludahkan tangkai bunga rumput, lalu dia menoleh padaku.
“Rasanya … seperti dunia milik berdua.” An terkekeh, “Kau akan merasakannya kelak saat kau jatuh cinta.”
Kami saling melempar senyum. Dia beralih menatap riak-riak air yang berkilau ditimpa matahari sore. Sementara kata-katanya terakhirnya menggaung dalam kepalaku.
‘Kau akan merasakannya kelak, saat kau jatuh cinta’
Padaku, An bercerita segala hal; tentang ikan-ikan gabus di sungai dangkal, belalang-belalang pada perdu theprosia yang menurutnya kaya protein, layang-layang di musim angin, beberapa pohon kelapa–yang entah mengapa dibiarkan berbuah oleh para penyadap nira–sampai kisah cintanya yang berujung desakan orang tua Fitria agar mereka segera dinikahkan.
Ingin rasanya kukatakan bahwa aku telah berbohong padanya tentang satu hal: sebenarnya aku pernah jatuh cinta dan hingga kini hatiku masih berdebar untuk orang yang sama. Cinta pertama yang kupendam di palung hati paling kelam.
“Kau ikutlah nanti saat acara lamaran, ya!”
Melalui sudut mata, kulihat dia berkata tanpa menoleh. Kami berjalan pulang beriringan dengan sekarung rumput di atas kepala. Aku menghentikan langkah.
“Kenapa? Hei, aku bukan sanak saudaramu, An.”
An berhenti, lalu memutar tubuhnya menghadapku yang berada beberapa langkah di belakangnya.
“Ah, kau ini, kau kan sahabatku, tetanggaku, orang kita juga saling mengangkat saudara. Dan lebih dari itu … siapa tahu nanti kau ketularan, ya, ‘kan?”
Aku berdecak, lalu mengibaskan tangan. Dia tersenyum lebar memperlihatkan deret gigi yang berbaris rapi. Matanya yang memang sipit semakin menyempit. Poninya–yang yang berwarna kecokelatan dan entah mengapa selalu menolak saat disisir menyamping–jatuh menyentuh alis. Karena rambut halus dan kecokelatan itulah dulu aku memanggilnya anak monyet. Anak monyet kesayangan ….
Aku berjalan cepat-cepat melaluinya. Di belakang, terdengar An tertawa–mungkin sampai meneteskan air mata. Mendung kelam mulai menggelayut di pelupuk mata, siap menumpahkan gerimis untuk sebab yang berbeda.
Satu per satu teman sepermainan menikah, bahkan beberapa di antaranya langsung dijodohkan tak lama setelah membubuhkan cap tiga jari di lembar Surat Tanda Tamat Belajar. Setahun dua tahun kemudian mereka punya anak, ada juga yang mati karena katanya melahirkan terlalu muda. Di umur empat belas, banyak gadis di kampungku sudah menggendong bayi. Aku benci membayangkan, tak lama lagi An pun akan melalui fase-nya.
***
“An sudah mau menikah, kamu kapan, Fi?” tanya Ibu suatu malam.
“Belum ketemu jodoh, Bu,” jawabku, seolah tiga kata itu sudah terekam dalam sebuah kaset dan aku tinggal memutarnya bila diperlukan, seperti malam itu.
Semalaman aku terjaga. Kabar pernikahan An membuatku tak mampu memejamkan mata. Bayangannya dan Fitria datang silih berganti, menari-nari bahagia dalam kepala. Hatiku bergolak oleh api cemburu kemudian hancur dalam duka paling nestapa.
“An, An, An …!”
Entah dari mana tiba-tiba keberanian itu datang, lalu menjelma menjadi sebuah tekad. Lewat tengah malam di mana mata tak kunjung terpejam, kuputuskan untuk menemuinya.
***
Tiga, enam, sembilan kali ujung jari telunjukku mengetuk jendela kamar An, akhirnya dia terjaga. Semoga Paman dan Bibi tidak ikut terbangun karena kelakuanku. Sepanjang usiaku yang baru saja melewati angka tujuh belas mungkin ini kali pertama aku berbuat hal tidak pantas.
“Ada apa, Fi?” Dia muncul dari balik daun jendela dengan mengucek-ucek kedua mata.
“Ada yang ingin kubicarakan. Keluarlah”
“Tak bisa menunggu besok?”
Aku menggeleng.
Samar-samar kulihat dahinya mengernyit. Aku tahu An bingung, tapi tetap saja dia melompat ke luar, mungkin setelah beberapa saat terlihat menimbang-nimbang.
Malam yang syahdu, bahkan jangkrik pun sepertinya enggan menggetarkan sayap. Di atas sana, bulan separuh menerangi langkah kami menyusuri jalan desa yang lengang.
Di atas jembatan yang di bawahnya mengalir sungai dangkal tempat ikan-ikan gabus yang mudah ditangkap, aku menariknya duduk bersamaku. Rasa dingin menjalar saat kusandarkan punggung pada bibir jembatan yang lembab.
An tak menunggu lama untuk membunuh rasa penasarannya. “Ada apa? Aku harap ini hal yang sangat penting hingga kau tak dapat menunggu pagi.”
Hening.
Dapat kudengar jantung ini berderap, kuhela napas panjang dan dalam, berkali-kali, berharap kegaduhan dalam dada ini pergi.
“A-aku mencintaimu, An.”
Semua terjadi demikian cepat, An menarikku berdiri. Tamparan demi tamparan kuterima tanpa sedikit pun perlawanan. Badanku terhuyung, kedua telingaku mulai berdenging, tapi masih cukup jelas sumpah-serapah yang terlontar dari bibirnya.
“Kau gila ….”
Dari balik baju, kutarik keluar sebilah pisau yang sengaja kupersiapkan dari rumah. Permukaannya berkilau ditimpa cahaya bulan.
Dapat kulihat kedua mata itu membulat, An bergeming. Aku bergerak maju, meraih pergelangan tangannya, lalu meletakkan belati itu dalam genggamannya.
“Bunuh aku, An! Bunuh! Aku tak ingin tersiksa seperti ini.”
“Aku tak ingin kita bertemu lagi! Kau pengkhianat!”
Suara denting belati menyentuh lantai jembatan memecah kesunyian. Sekilas, sebelum dia berpaling, kulihat kehampaan dalam sorot mata sahabatku. An berbalik, lalu menjauh meninggalkanku sendiri memeluk kepiluan.
***
Baru saja aku selesai menyapukan lipstik merah menyala saat telepon di samping tempat tidur berdering. Suara Marlon terdengar detik setelah aku menempelkan gagangnya di sisi telinga.
“Jangan lupa pukul delapan, Villa Nirvana, Nanda sayang. Mr. Smith tak akan senang bila kau terlambat,” katanya tanpa basa-basi.
“Siap, Honey. Kau pun jangan lupa, rekeningku juga tak suka menunggu,” jawabku dengan suara manja.
Aku kembali ke meja rias setelah meletakkan gagang telepon. Sosok dalam cermin itu tersenyum padaku, dengan rambut pirang lurus terurai melewati bahu, gaun ketat berwarna merah yang dia kenakan tak cukup panjang untuk menutup seluruh pahanya yang mulus.
Kuraih blister obat berisi dua puluh satu pil hormon di atas meja, mengeluarkan satu, lalu menelannya. Enam bulan mengonsumsinya–sejak kedatanganku ke tempat ini–membuat payudaraku tumbuh layaknya dada anak perawan. Lembut seperti kembang tahu, puji Marlon saat kami bercinta.
Malam di jembatan itu adalah kali terakhir aku bertemu An. Sehari setelahnya, kuputuskan untuk merantau ke Pulau Dewata, tempat di mana eksistensiku diterima. Menenggelamkan diri dalam gemerlap kehidupan malam, berpindah dari pelukan satu lelaki pada lelaki lain yang bersedia membayar untuk sebuah kenikmatan.
Seperti petunjuk Marlon si mucikari, kini aku berdiri di depan pintu Villa Nirvana, lalu mengetuk pintunya. Seorang lelaki berkulit pucat menjulang di balik daun pintu yang baru terbuka.
“Mr. Smith?”
Laki-laki itu tersenyum.
“I’m Nanda Bella, and i belong to you tonight.” Aku melenggang maju, lalu mengalungkan kedua lenganku mengitari lehernya.
Aku adalah Nanda Bella.
Jangan panggil aku Roffi, karena dia telah mati, malam itu di jembatan, yang di bawahnya mengalir sungai dangkal di mana ikan-ikan gabus yang mudah ditangkap hidup di dalamnya.
Tentang Penulis
Medina Alexandria, bidan yang suka menulis.
Editor : Respati
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata.