Tentang Kita
Oleh : Cici Ramadhani
Besok kita berangkat ke Prapat. Entah, aku tidak tahu bagaimana rencana itu muncul dan siapa yang mengusulkannya. Ia muncul tiba-tiba, dan kami pun sepakat akan berangkat setelah pulang kerja dengan naik bus.
Ini akan menjadi perjalanan keduaku ke Danau Toba. Pengalaman pertama adalah saat menjadi wali sepupuku, mendampinginya dalam perpisahan sekolahnya. Dan aku yakin pengalaman kedua ini akan jauh lebih berkesan.
Kami—aku, Kak Tini, Kak Rina, Kak Mita, Bang Ridwan, dan Ujek—biasa melakukan perjalanan di akhir minggu. Kami bekerja di salah satu yayasan pendidikan anak autis di kota Medan. Setiap hari Senin sampai Jumat, kami bekerja dari pagi sampai sore, sedangkan di hari Sabtu kami hanya bekerja setengah hari, karena itu pada hari tersebut, sepulang bekerja, kami akan mengunjungi tempat-tempat wisata baru. Tidak peduli seberapa jauhnya, bahkan meskipun mungkin kami akan tersesat, kami tetap terus melakukan perjalanan itu.
“Perlu banyak bawa uang kan, ke sana?” tanyaku resah saat kami memutuskan tujuan perjalanan kali ini, karena biasanya, tempat yang dituju hanya akan memakan waktu satu sampai dua jam dengan sepeda motor. Namun kali ini, kami harus menggunakan mobil atau bus untuk pergi ke sana.
“Enggak banyak, kupikir dua ratus ribu sudah cukup,” jawab Kak Vidia. Dia bagai kakak tertua dalam pertemanan kami. Dan meskipun dia berbeda keyakinan dengan kami, perbedaan tersebut tidak terlihat karena sifatnya yang ramah dan mudah berbaur. Dia juga selalu bersikap dewasa, sesuai dengan umurnya yang lebih tua dari kami, teman-temannya yang memiliki berbagai macam karakter. Namun ada satu sifatnya yang menurutku aneh ….
Saat itu, Kak Tini berhari-hari diam. Tidak seperti hari-hari biasa. Bergantian, kami—aku, Kak Vidia, dan Kak Rina—bertanya ada masalah apa, tapi dia selalu menjawab tidak ada. Meskipun begitu, Kak Vidia berpendapat bahwa Kak Tini pasti marah pada kami bertiga. Selama berhari-hari, Kak Vidia tidak nafsu makan, dan dalam sekejap berat badannya langsung turun. Ah, aku geleng-geleng tak percaya melihatnya seperti itu. Semisal dia merasakan putus cinta, aku rasa badannya akan kurus kering. Tidak sepertiku yang bakal menggelembung karena patah hati.
Akhirnya, Kak Vidia berhasil mengungkap apa penyebab Kak Tini menjadi pendiam. Dia marah karena kami tidak hadir di pernikahan Kak Susi, kakaknya Kak Tini. Menurut Kak Vidia, dia sudah bertanya apakah kami perlu datang, dan Kak Tini menjawab “terserah”. Bagi Kak Tini, mungkin kami sebagai teman harusnya hadir tanpa harus diundang. Berbeda dengan Kak Vidia yang merasa tidak enak datang tanpa diundang. Dan kata “terserah” bukanlah kata undangan.
Aku ingat betul, saat itu aku hanya mengikuti apa yang dikatakan kedua temanku itu. Karena rasanya canggung kalau harus pergi sendiri, ragu karena tidak diundang. Dan kebetulan juga aku ada undangan di tempat lain saat itu.
Kami sudah meminta maaf, tapi Kak Tini tetap marah. Dan Kak Vidia tetap kepikiran. Jangan tanyakan Kak Rina, dia memiliki sifat yang sangat cuek, jadi ini seperti hal yang biasa baginya. Aku sendiri awalnya juga merasa kepikiran. Bagaimana tidak, biasanya kami berempat akrab tiba-tiba saja menjadi canggung.
“Ya sudahlah, Kak, jangan dipikirkan lagi. Yang penting kita kan sudah minta maaf. Nanti juga Kak Tini baikan sendiri,” ucapku kala itu menenangkan Kak Vidia. Jujur saat itu aku juga bingung harus bagaimana mengembalikan keadaan kami seperti biasa.
“Aku enggak bisa, Ci. Aku enggak akan pernah tenang sebelum masalah selesai.” Kak Vidia terlihat frustrasi.
Aku hanya bisa diam. Kubiarkan teman-temanku dengan sifat-sifatnya. Tidak ada yang bisa kulakukan. Kesalahpahaman biasa terjadi dalam setiap hubungan, termasuk persahabatan. Aku yakin semua akan kembali baik-baik saja. Dan benar, beberapa hari kemudian, entah karena Kak Vidia atau mereda dengan sendirinya, Kak Tini kembali ceria bersama kami.
***
“Oh iya, Tini udah dikabari kan, kalau kita akan berangkat besok?” tanya Kak Vidia pada aku dan Kak Rina saat berjalan menuju parkiran sepeda motor.
“Tadi malam sudah kutelepon, katanya dia enggak bisa. Sudah ada janji sebelumnya dengan temannya,” jawab Kak Rina.
“Temannya yang mana? Yakin kan itu alasannya, bukan alasan yang lain?” Kak Vidia kembali bertanya.
Kak Rina menjawab hanya dengan mengangkat bahu. Temanku yang satu ini memiliki sifat terlalu cuek, menurutku. Dia tidak pernah ambil pusing dengan segala hal yang terjadi antara kami, entah itu ada yang marah, sedih, atau ngambek, dia akan tetap biasa saja.
“Kau, Ci, sudah coba kau ajak?” tanya kak Vidia padaku.
Aku mengangguk. “Jawabannya sama. Katanya, kita mengajaknya dadakan. Dia udah ada janji sama temannya, enggak enak kalau dibatalkan karena sudah jauh-jauh hari mereka janjian,” terangku pada Kak Vidia.
“Dia juga bilang itu sama aku, tapi kurasa bukan itu alasan sebenarnya.” Insting Kak Vidia bermain. Aku yang lurus-lurus saja tidak memikirkan ada alasan lain.
“Jadi, apa?” tanyaku penasaran.
“Ini cepat kali dia pulang. Coba nanti malam kutelepon dia. Mungkinkah dia enggak ada uang? Kalau memang dia enggak ada uang kenapa dia harus malu bilang sama kita, kita kan teman-temannya.”
Hah … iya. Kenapa hal itu tidak terpikirkan olehku? Alasan lain yang disebut Kak Vidia juga masuk akal. Aku saja sempat mencemaskan uang yang akan kubawa dalam perjalanan kali ini. Bahkan kupikir, aku akan mengambil cashbon ke bendahara. Tempatku bekerja memang membolehkan para kerjanya mengambil pinjaman, dengan dibatasi hanya sebesar dua ratus ribu per bulan. Meskipun begitu, nominal sebesar itu sudah cukup membantu di akhir bulan, setidaknya untuk ongkos berangkat kerja.
Malam itu, aku mengantar Kak Vidia pulang, karena memang indekosku yang sejalur dengan rumahnya. Kak Vidia berkata akan menyelesaikan sedikit masalah dengan Kak Tini agar kami bisa pergi bersama-sama. Dan, seperti yang dapat kutebak, Kak Tini pun akhirnya luluh dan berkenan pergi bersama kami.
***
“Kak Mita dibolehin Abang ikut?” tanyaku ketika melihat Kak Mita—seorang rekan di tempat aku dan lima temanku bekerja—duduk di ruangan Kak Vidia. Kami sengaja berkumpul makan siang sebelum berangkat. Kulihat Ujek sudah membelikan nasi bungkus yang kami pesan.
“Iya, Bang Lauren kan lagi keluar kota. Aku dengar kalian mau ke Prapat. Aku pengen ikut, jadi kutelepon abangmu minta ijin, suntuk juga aku di rumah sendirian,” jelasnya.
Kak Mita sudah berumah tangga namun belum dikaruniai buah hati. Jadi wajar saja kurasa bila Kak Mita suntuk atau kesepian ketika suaminya keluar kota, hingga akhirnya memutuskan ikut aku dan kelima temanku ke Danau Toba. Dan berhubung perjalanan kali ini akan menyita waktu hingga hari Minggu, sepertinya dia dan Kak Mita akan absen pergi ke gereja.
Setelah makan dan salat Zuhur kami berangkat naik angkot ke Amplas.
“Kak, serius ongkosnya cuma dua puluh ribu?” tanyaku berbisik pada Kak Vidia yang berdiri di depanku. Kami sudah berada di dalam bus. Sepertinya sebentar lagi bus akan segera berangkat karena kulihat sang kernet sudah mulai mengutip ongkos.
“Iya, aku kan sering ke Siantar, tempat kakakku,” jawab Kak Vidia yakin.
Aku dan teman-teman yang lain menyerahkan uang dua puluh ribu padanya. Biar saja dia yang berurusan dengan kernet bus. Kadang, kernet ini sesuka hati menaikkan tarif ongkos, apalagi jika dilihatnya ini pertama kali kami naik bus.
Bus berangkat, dengan aku yang tidak bisa begitu menikmati perjalanan darat karena dilanda mual. Kulihat Kak Vidia yang duduk di sebelahku mendengarkan musik dengan headset di telinganya. Kak Tini dan Kak Mita duduk di depan kami sedang berbincang—aku tidak begitu mendengar apa yang mereka bicarakan. Kak Rina dan Bang Ridwan duduk di depan Kak Tini. Sedangkan si Ujek duduk dengan orang asing di belakang bangku Kak Vidia.
Kupilih memejamkan mata untuk meredakan rasa mual, walau aku masih mendengar keluhan Kak Vidia yang diganggu si Ujek, juga suara tawa kecil Kak Tini dan Kak Mita yang meledek si Ujek yang duduk di samping opung-opung.
“Boru, panggilkan si Ojawa.” Terdengar suara Ujek.
Aku membuka mata menoleh Kak Vidia. Boru adalah nama panggilan lain Kak Vidia, sedangkan Ojawa adalah nama panggilan lain Bang Ridwan. Ujek selalu punya panggilan tersendiri untuk semua orang, termasuk aku yang dia panggil Ucil. Dia tidak pernah memanggil kami dengan sebutan “Abang” atau “Kakak”. Tapi entah mengapa kami tidak pernah mempermasalahkan itu, padahal dia yang umurnya paling muda.
“Kenapa?” Kak Vidia balik bertanya.
“Ini, pusing kali aku si Yati bolak-balik nelepon aku.” Ujek mulai terlihat kesal. Aku hanya memperhatikan saja.
Kepala Kak Vidia yang tadinya bersandar di jendela kini sudah condong ke depan. “Tin, bisikin si Ridwan, Yati nelepon Ujek.”
Kulihat dari celah bangku Kak Tini bangkit dari duduknya dan berbisik ke Bang Ridwan. Namun Bang Ridwan tetap duduk di bangkunya, malah sepertinya dia tidur.
“Dia duduk paling depan, aku di belakang. Enggak bisa kukasihkan HP sama dia, enggak enak sama opung yang duduk di sebelahku.” Terdengar suara Ujek bicara di telepon.
“Wih, betul pening kali akulah. Udah duduk sama opung-opung, si Yati nelepon aja.” Ujek berbisik pada Kak Vidia.
“Udah, tidur aja kau,” jawab Kak Vidia singkat.
“Kenapa sih, kak? Bukannya mereka udah putus ya?” tanyaku penasaran. Yang aku tahu, Yati adalah mantannya Bang Ridwan dan sekarang Bang Ridwan sedang melakukan pendekatan dengan Kak Rina.
Kak Vidia hanya mengangkat kedua bahunya. Dan hening, kami tertidur sampai tiba di Prapat.
Hari sudah mulai gelap. Kulihat jam di pergelangan tanganku sudah menunjukkan pukul tujuh malam.
Kami semua turun dari bus. Menurut Kak Vidia, ini adalah pemberhentian terakhir bus. Kami berjalan mencari penginapan, bukan hotel, karena dana yang terbatas.
Setelah jauh berjalan, kami menuju sebuah tempat di pinggiran danau atas petunjuk orang sekitar yang ditanyai Bang Ridwan. Namun, tempat itu tampak tidak layak disebut sebagai tempat menginap. Bilik kamarnya terbuat dari papan. Kami, para cewek, hanya memandang ngeri dari jauh. Bang Ridwan memeriksanya dari dekat. Tempat ini mirip tempat esek-esek, pendapat kami, para cewek. Dan benar saja, bahkan Bang Ridwan tidak setuju jika kami menginap malam ini di tempat seperti itu.
Kami kembali berjalan menyusuri sekitar daerah Prapat. Di sebuah jembatan persimpangan jalan, aku berhenti kelelahan. Suasana jalanan pun terlihat sepi padahal ini malam Imlek. Hanya beberapa orang saja berlalu-lalang.
“Kalian tunggu disini aja, biar aku yang cari sendiri penginapannya. Ujek, kau jaga cewek-cewek, ya.” Bang Ridwan pun melanjutkan pencarian seorang diri.
Tiba-tiba, seorang wanita mengendarai sepeda motor mengahampiri kami. Kutaksir umurnya sekitar tiga puluh lima tahun. Dia membonceng seorang anak kecil usia lima tahun.
“Kalian cari penginapan ya?” tanyanya pada kami.
“Iya, Kak,” jawab kami hampir bersamaan.
“Nginap di rumah Kakak aja, yuk. Kakak ada rumah khusus buat nginap.” ajaknya.
“Rumah Kakak di mana?” tanya Kak Vidia.
“Enggak jauh dari sini. Kalian berapa orang? Biar Kakak langsir.”
Kami saling pandang, antara senang dan ragu. Senang karena akan melepas lelah di kasur. Ragu karena kakak ini mencari orang yang mau menginap di jalanan.
“Gimana, mau enggak, Dek? Kalau malam Imlek gini susahlah kalian dapat penginapan yang kosong. Kakak kasih harga murah aja, lima puluh ribu per orang, udah dapat sarapan pagi kalian. Kakak antar pun kalian ke kapal besok kalau mau nyebrang,” jelasnya penuh semangat.
Kami mulai berbisik-bisik. “Murah kali ya,” ucap Kak Mita. Maklum, kakak kami yang satu ini istri manajer perusahaan ternama di Indonesia. Pasti biasanya Bang Lauren membawa Kak Mita menginap di hotel mewah, minimal hotel bintang tiga.
“Iya, dapat sarapan lagi,” tambah Kak Tini.
“Tapi enggak meyakinkan, Kak,” ucapku kemudian.
“Iya, kita tunggu si Ridwan aja. Nih, coba kutelepon.” Kak Vidia mengambil ponsel di saku celananya dan memulai panggilan.
“Gimana, Dek? Kalau enggak mau, Kakak pergi, nih.” Kak itu setengah menggertak.
“Bentar, Kak, nunggu kawan kami,” jawabku.
“Ridwan belum dapat juga, pada penuh.” Kak Vidia menutup teleponnya setelah menyuruh Bang Ridwan kembali.
“Udah malam, kita terima aja tawaran kakak ini. Udah capek juga keliling, lapar.”
Akhirnya, kami diantar kakak itu ke rumahnya. Yang duluan berangkat adalah Kak Mita dan Kak Tini. Setelah itu aku dan Kak Vidia, Kak Rina, dan terakhir cowok-cowok. Sedang anaknya tetap duduk di depan. Dan, berbeda dengan perkataannya tadi, rumahnya ternyata lumayan jauh, sepertinya di daerah perbukitan, dan untuk pergi ke sana, kami harus melewati jalanan gelap yang menyulitkan kami mengingat tanda jalan.
Kami sempat ragu, tapi tidak bisa berbuat banyak, sebab toh kami pun tidak bisa pergi ke tempat lain karena lokasi rumah yang terbilang terpencil. Terpaksa, kami pun bermalam di rumahnya kakak itu, bukan rumah kosong, seperti perkataannya tadi. Para cewek tidur di kamar anaknya, sedangkan yang cowok tidur di depan TV.
Tiba-tiba, terdengar suara auman dari luar rumah. Kami berlima ketakutan, terlebih aku. Semua menatap ke pintu yang terbuka lebar. Tak ada orang lain di rumah ini, hanya kami berlima. Dan tak terlihat tetangga sekitar saat menuju rumah ini. Perasaan takut makin pekat menyelimuti kami.
“Huaaaa!” Ujek masuk ke dalam rumah sambil berlari dan mengaum.
Aku yang sudah panik dan ketakutan langsung marah dan memakinya, “Anjir ya, Jek! Mau copot jantungku, Setan!”
Dia tertawa melihat ekspresiku. Semua terkejut, tapi tidak ada yang marah selain aku.
“Bisanya kau ketawa, kupikir tadi harimau. Kau tau kan, kita sekarang entah ada di mana.” Aku kembali mengomel. Rasanya, sekarang ini kepalaku sudah berasap.
“Hehehehe … maaf, Ci. Aku cuma mau ngagetin kalian aja,” ucapnya menyesal.
“Jangan kau ulangilah. Kau tau kan kita sekarang di mana. Sunyi kali di sini. Kupikir tadi benar-benar suara harimau mau makan aku.” Kutahan air mata yang akan jatuh karena ketakutan.
Semua menertawakanku karena sifatku yang cengeng.
“Enggak sangka, si Uci marah kali. Rasain loh, Ujek!” ejek Kak Tini.
“Aku beneran takut, Kak, kalau enggak mana mungkin aku semarah ini sama si Ujek.”
“Ya udah, kita makan dulu, yuk. Bawaan lapar juga bisa tuh.” Kak Vidia menimpali.
Setelah makan, kami berkumpul di halaman rumah yang luas. Kakak itu pergi entah ke mana dengan anaknya. Saat tengah menikmati malam dan pemandangan dari atas, terdengar suara mobil mendekati rumah. Beberapa lelaki turun dan terlihat kakak itu juga.
“Lihat dulu ke dalam, mungkin masih muat tidur di dalam.” Terdengar suara kakak itu berbicara.
“Mereka juga nginap di sini?” tanya seorang pria menunjuk ke arah kami.
“Iya, tapi masih muat kok. Lihat dulu ke dalam,” pinta si kakak lagi.
Setelah beberapa lelaki masuk ke dalam rumah, mereka langsung pergi dengan mobilnya, sedangkan si kakak itu juga pergi, mungkin mencari orang lain untuk menginap.
“Gila memang kakak itu, dipikirnya rumahnya besar kali? Semua orang diajaknya nginap di sini,” ucap Bang Ridwan kesal.
“Iya, syukur mereka enggak jadi, ya. Takut aku banyak laki-laki kayak gitu tadi,” kataku bergidik ngeri membayangkan hal buruk.
“Kakak itu kok enggak takut ya ngajak sembarangan orang nginap di rumahnya?” tanya Kak Mita heran.
“Entah, narkoba kali kakak itu.” Kali ini si Ujek curiga.
“Iya ya, bisa juga. Ngebet kali dia dapat duit sampai nyuruh orang asing nginap di rumahnya. Anaknya baru satu lagi,” ucap Kak Vidia.
Kami memandang sekitar halaman, banyak puntung rokok dan kulit jagung serta botol-botol kecil yang aneh. Karena sudah larut malam kami memutuskan masuk rumah dan tidur.
***
Keesokan paginya, kami bangun dan mandi bergantian. Kami harus mengejar kapal pertama yang menyeberang ke Tuk-tuk.
Kakak itu sedang menyiapkan sarapan di dapur. Setelah dia dan suaminya selesai, kakak itu menyuruh kami makan. Nasi goreng dan mie instan sudah tersedia di meja. Ternyata inilah sarapan gratis kami pagi ini. Setelah sarapan, kakak itu mengantarkan kami bergantian menuju kapal.
Kapal membawa kami menuju Tuk-tuk. Saat melintasi Batu Gantung, Kak Vidia bercerita, “Batu itu ada kisahnya. Jaman dulu ada seorang gadis yang akan dinikahkan dengan pariban-nya, tapi gadis itu tidak mau karena sudah memiliki kekasih. Larilah dia ke arah tebing dengan maksud ingin terjun ke Danau Toba. Tiba-tiba dia terperosok ke dasar tebing. Dia terjepit, kemudian berteriak minta tolong dan mengucapkan ‘batu parapat, parapat’, yang artinya batunya semakin merapat ke tubuhnya. Karena yang di dengar warga kata terakhir hanyalah parapat, maka dinamakanlah tempat ini Prapat.”
Aku yang baru mendengar kisah ini spontan mulutku membentuk huruf O. Entah bisa dipercaya atau tidak, namun kisah Batu Gantung menjadi salah satu ikon di Danau Toba.
“Ah, si Ridwan ini di mana-mana kesempatan mojok sama Rina,” ucap Kak Tini.
Spontan kami menoleh mereka berdua.
“Masalah Yati belakangan, yang penting momen sama Rina dulu,” tambah Kak Mita tertawa kecil.
Tak lupa kami mengabadikan perjalanan dengan berfoto, tentu saja yang jadi korbannya si Ujek, dia jadi juru foto kami. Terkadang, dia mengeluh, “Dari tadi kalian aja yang difotoin. Fotoin aku jugalah.”
Kami sampai di Tuk-tuk. Turun dari kapal, kami berjalan jauh mencari patung Si Gale-gale, tapi tak juga menemukannya. Walaupun kaki pegal, tapi hati tetap senang. Kami selalu mengabadikan setiap momen di tempat ini, bahkan kami juga berfoto dengan pohon durian di pinggir jalan yang buahnya bisa langsung dipetik. Sesekali kami duduk karena kelelahan dan kembali berfoto. Jangan tanya Kak Rina dan Bang Ridwan, mereka terus berjalan berduaan seolah-olah kami tak pernah ada.
“Kayaknya kita salah kapal. Masa dari tadi enggak sampai-sampai,” ucap Kak Vidia saat kami duduk beristirahat.
“Coba tanya orang sini, Kak,” usulku.
“Aku keburu pipislah, woi!” Kak Mita meringis.
“Aku juga kak,” tambahku.
“Yuk, kita jalan sambil cari warung numpang kamar mandi,” ajak Kak Vidia.
Setelah jalan tidak berapa jauh, kami menemukan warung kecil. Setelah membeli beberapa minuman botol, kami menumpang ke kamar mandi.
Beginilah enaknya kalau jalan ramai-ramai seperti ini. Satu haus, semua haus, satu sesak pipis, semua ikutan pipis, hahaha.
“Hai, kalian lama kali sih jalannya.” Suara manja Kak Rina menyapa kami yang baru selesai buang hajat kecil.
“Kau tuh yang keasikan mojok sama Ridwan, sampai kami di tinggal,” balas Kak Tini.
“Mana ada. Kalian aja yang lama kali jalannya sampai kami balik jemput kalian. Lagian tadi si Ridwan kena entup tawon disana.” Kak Rina menunjuk arah sebuah tempat seperti kafe.
Kami semua tertawa mendengarnya.
“Kok bisa sih digigit tawon?” Kak Mita tertawa geli.
Setelah berkumpul kami berjalan ke tepi danau yang ditunjuk pemilik warung. Kami menunggu kapal yang menuju Patung Si Gale-gale lewat. Ternyata bukan hanya kami yang menunggu kapal lewat, terlihat beberapa muda-mudi ada di sini.
“Coba kita nginap di sini tadi malam, pasti lebih enak ya,” aku menunjuk penginapan dua lantai yang berada di sekitar kami.
“Tapi kita sampai udah malam, mana ada kapal nyebrang malam-malam,” jawab Kak Tini.
Setelah beberapa saat, kapal yang ditunggu pun menepi. Kami semua naik dan melanjutkan perjalanan ke pusat wisata. Selain Patung Si Gale-gale, di sini juga tersedia banyak penjual cinderamata khas Danau Toba. Ada juga rumah-rumah adat dan juga makam raja-raja.
Setelah capek berkeliling, kami singgah ke rumah makan yang bertuliskan “halal”. Kak Mita dan Kak Vidia berjalan berdua mencari rumah makan lain, meskipun tak berapa lama, mereka pun kembali ke rumah makan tempat kami makan dan memesan.
“Kenapa, Kak? Enggak ada B2-nya?” tanya si Ujek cengengesan.
Mereka hanya tersenyum mendengar pertanyaan si Ujek.
Kami makan bersama dengan tenang, dan kembali ke kapal untuk pulang ke Medan.
Sepanjang perjalanan pulang, aku tersenyum memperhatikan interaksi teman-temanku, menyadari bahwa perbedaan memang akan menjadi indah jika saling menghormati dan menghargai. Termasuk perjalanan ini, juga persahabatan kami … akan kukenang selamanya. (*)
Cici Ramadhani menyukai literasi sejak SMP. Namun, sempat terhenti hingga beberapa waktu. Kini, setelah menjadi IRT dan bergabung dalam grup literasi, mencoba kembali mengasah hobi lama dan mulai menyampaikan pesan melalui kata. Suatu saat berharap bisa bercerita tentang alam karena sangat menyukai warna birunya laut, suara air terjun, dan dinginnya hawa pegunungan. Semoga dalam tiap cerita dapat tersampaikan hikmah dan bermanfaat bagi pembaca.
Editor : Devin Elysia Dhywinanda
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata