Rahasia Terpendam
Oleh : Ardhya
Banyak yang menganggapku sebagai pohon keramat. Apa pun yang berkaitan denganku selalu dianggap mistik. Kemungkinan karena mereka terlalu banyak menonton cerita horor.
Kalau saja mereka tahu, aku ditanam di sini karena membawa manfaat buat pemakaman. Ya, aku tumbuh di pemakaman karena ada yang menanam, bukan tiba tiba saja tumbuh.
Aku ditanam karena mampu merontokkan bunganya sebelum layu, sehingga masih menyimpan bau wangi yang optimal. Otomatis ini membuat pemakaman sering bertabur bunga dan tetap wangi, meski tidak ada orang yang datang menaburkan bunga di pusara. Selain itu, bentuk daunku yang bergerombol bisa dimanfaatkan sebagai peneduh bagi pengunjung yang datang.
Berbagai macam karakter manusia pernah berteduh di bawah rimbunnya dedaunanku. Beragam emosi yang keluar dari keluarga yang baru ditinggalkan pernah pula kusaksikan. Termasuk juga rahasia yang mereka simpan rapat.
Seperti siang ini, ada yang baru dimakamkan tak jauh dari aku berdiri. Suara tangisan dan sedu sedan terdengar dengan jelas. Ada satu yang menarik perhatianku.
“Maafkan aku, Ayah. Selama ini aku sudah menjadi anak durhaka. Maafkan aku yang sudah menghilang begitu lama. Aku janji akan menjaga adikku satu-satunya.”
Raungan keras seorang lelaki dewasa berusia sekitar awal 30 tahun yang baru datang, benar benar membuat hati siapa pun yang mendengarnya ikut berduka. Ikut merasakan kepedihan mendalam akibat penyesalan yang selalu datang terlambat.
Terbukti mulai timbul kasak kusuk di antara pengantar jenazah.
“Bukannya itu Aryo?” tanya seorang ibu berbaju putih dan berkerudung hitam.
“Iya, betul. Akhirnya dia datang, meski terlambat,” jawab ibu berbaju hitam.
“Jangan salah. Meski tidak pernah pulang, Aryo itu perhatian, lho. Suster yang merawat Pak Ardi itu dia yang dikirim,” ucap ibu berpakaian abu abu.
“Iya, aku juga dengar tentang hal itu. Bahkan, Aryo beberapa kali mengirim dokter untuk memeriksa ayahnya,” ujar seorang Bapak berbaju koko putih.
“Kalau dipikirkan kembali sepertinya mustahil, ya, si anak pembangkang bisa berubah jadi anak berbakti. Kita memang tak pernah tahu alasannya. Namun, kenyataan menunjukkan Aryo telah berubah,” sahut Bapak berkaos hitam.
Orang yang dibicarakan itu terlihat tidak peduli. Entah karena tidak mendengar atau memang tidak peduli. Dia masih terus menangis dan meraung di atas gundukan tanah basah makam ayahnya. Sementara, di seberang lelaki tersebut tampak seorang remaja perempuan berusia sekitar 16 tahun, menangis tersedu di pelukan seorang wanita berusia kira-kira akhir 20 tahun.
Beberapa saat kemudian, satu demi satu pelayat berpamitan kepada lelaki yang tadi menangis. Rupanya dia adalah anak sulung almarhum. Lelaki bernama Aryo itu menerima uluran simpati dari setiap pelayat yang berpamitan dan kemudian berkata kepada salah seorang bapak.
“Maaf, Pak RT, apa bisa minta tolong antar adik saya dan Suster pulang ke rumah? Saya masih kepingin tinggal di sini. Kasihan kalau mereka harus nungguin saya.”
“Boleh, Nak Aryo. Biar Nak Disty dan Suster ikut mobil saya. Kebetulan saya gak kembali ke kantor, jadi bisa pulang bareng,” jawab lelaki yang dipanggil Pak RT.
Lelaki tersebut kemudian menoleh ke arah remaja perempuan di pelukan wanita sebayanya.
“Disty, Sayang, kamu pulang dulu ya sama Suster. Diantar Pak RT. Bik Romlah ada di rumah, kok. Kak Aryo mau di sini dulu temani Ayah. Kakak kan lama gak pulang, masih kangen Ayah.”
“Baiklah, Kak. Jangan lama-lama, ya. Disty sedih kalau sendirian di rumah.”
Setelah berterima kasih pada Pak RT dan menatap kepergian mereka. Lelaki itu kembali duduk di depan pusara ayahnya. Entah kenapa, sekarang dia tampak berbeda dengan ketika tadi meraung-raung.
Apakah dia sudah berhasil menguasai diri dan mengatasi kesedihannya? Entahlah, aku tak mampu meraba isi hatinya. Aku hanya bisa menunggu ….
“Apa kabar, ayahku sayang. Enakkah berada di dalam sana? Ini aku, Aryo, anakmu yang dulu pernah kau usir dari rumah. Sekarang aku sudah kembali ke rumahku. Iya, rumahku bukan rumahmu karena pemilik seluruh harta kekayaanmu sekarang adalah aku. Sementara, rumahmu sekarang ada di dalam tanah.”
Lelaki itu tertawa terbahak-bahak sebelum melanjutkan.
“Terima kasih sudah memantapkan hatiku. Dulu Ibu meninggal karena sakit hati melihat ulahmu yang selalu bermain wanita. Bahkan, sampai kehilangan dua calon adikku. Sekarang pun di saat sakit kamu masih ingin bermain wanita. Kamu tega menggoda dan mengancam suster yang merawatmu. Tak tahukah kamu? Suster itu adalah pacar yang kuminta merawat dirimu dan menjaga adikku. Tapi dasar manusia tak tahu diri, kamu tega memaksanya untuk menuruti hawa nafsumu. Untung saja dia bisa melawan dan melaporkan ancamanmu padaku.”
Lelaki itu berhenti sejenak dan mendengkus kasar.
“Akhirnya kuputuskan meminta bantuan teman. Dia menyamar sebagai dokter dan menukar obatmu dengan obat lain yang memacu kerja jantung. Tak seorang pun akan curiga. Mereka percaya kematianmu karena serangan jantung. Selamat tinggal, Ayah. Nikmatilah rumah barumu.”
Lelaki tersebut kemudian beranjak meninggalkan pusara dengan tertawa keras. Berjalan cepat dan tak peduli telah menginjak bunga-bungaku yang berguguran. Bunga yang menebarkan aroma wangi pada setiap pusara sekaligus menyimpan rahasia busuk yang entah kapan akan terungkap.
Bionarasi :
Ardhya Rahma, nama yang ingin ditorehkan dalam setiap buku yang ditulis. Berdarah campuran Jawa dan Kalimantan. Mempunyai hobi membaca dan traveling. Bermimpi mempunyai novel yang sarat makna bagi pembacanya. Tulisan yang lain bisa dijumpai di Akun FB @Ardhya Rahma
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata.