Hilangnya Keperawanan

Hilangnya Keperawanan

Hilangnya Keperawanan

Oleh : Rachmawati As

 

Aku membuka mata, untuk beberapa lama aku memandang wajah Heralius. Dadaku masih naik turun, ciuman pertamanya baru saja mendarat di bibirku. Agak lama, kubiarkan bibir itu bermain sesukanya di antara bibirku. Aku tidak ingin berkata apa-apa. Aku hanyut dalam perasaan bahagia setelah mimpiku memilikinya menjadi kenyataan.

Lampu bioskop dinyalakan, mata kami menyipit karena pantulan cahaya yang tiba-tiba berpendar. Hampir semua penonton beranjak, berbaris menuju ke pintu keluar. Heralius merangkulku, kami berjalan menunggu giliran keluar dari pintu belakang. Aku masih tidak berkata apa-apa. Hanya saja, dalam hati aku merasakan cemas. Tiba-tiba, patung Bunda Maria seperti mengamati setiap gerakanku. Bayangan patung itu menjadi keraguan yang begitu dalam di hatiku, antara melanjutkan atau berhenti. Aku berada di persimpangan, sulit menentukan arah ke mana aku harus melangkah.

Beda agama, bukan sebuah kesalahan. Tetapi suatu saat akan menjadi jurang yang siap melumatku dalam-dalam. Aku akan berada di masa sulit, akan banyak pertentangan yang terjadi antara aku dan kekasihku. Mungkin, kami akan berdebat, atau bisa terjadi banyak pertengkaran karena beda keyakinan. Tidak dapat dipungkiri, suatu hari, akan tiba di mana harus ada pilihan. Ah, ngeri aku membayangkannya.

Hari terus merangkak naik, senja segera tiba. Kami melaju di atas motor, melawati jalan raya, ditemani pohon yang berjejer rapi di kanan dan di kiri. Dua perasaan berlomba mengambil posisi di kepalaku, antara rasa senang telah menjadi kekasihnya dan kekhawatiran yang akan terjadi karena perbedaan. Heralius mencari tanganku, menarik dan mengeratkan di pinggangnya. Aku mengikuti arahannya, kudekapkan tubuhku begitu erat. Aku merasakan ketenangan yang selama ini belum pernah kudapatkan. Setelah banyak waktu kuhabiskan untuk merindukannya, menanti dan berharap menjadi miliknya. Kini, aku berada begitu dekat dengan dirinya. Aku menarik napas, mengembuskan dan memeluknya dari belakang.

***

Matahari belum turun benar di ufuk barat. Malam juga belum tiba dengan sempurna. Heralius menepati janjinya, membawaku kembali ke rumahnya. Dia berjanji akan mempertemukan kembali aku dengan Tante Marta. Tentu, dalam hati aku bahagia. Aku membayangkan, memasak dan berbincang dengan Tante Marta, menggali banyak informasi tentang masa kecil Heralius darinya. Mencari tahu makanan kesukaannya atau alergi yang bisa menyerangnya kapan saja. Pikiranku mengelana, membayangkan sesuatu yang sekilas tampak sederhana.

Tiba di rumah, pintu dan jendela tertutup rapat. Heralius mengetuk pintu, tetapi tidak ada jawaban. Dia hendak mengintip ke dalam melalui kaca jendela, tetapi matanya menemukan secarik kertas berisi pesan.

Mama dan Merry pergi ke rumah Tante Dahlia. Tantemu melahirkan Caesar, jadi Mama akan menginap dan menemaninya untuk beberapa hari. 

Aku kecewa, tidak mendapati Tante Marta dan Merry di rumahnya. Padahal jauh di lubuk hati, aku ingin lebih dekat dengan mereka. Heralius melipat kertas itu dan meletakkannya di meja teras. Merogoh saku celananya dan menarik kunci rumah. Setelah memilih anak kunci yang tepat, dia mendekati pintu, memasukkannya ke lubang kunci. Ternyata agak susah, jadi dia mengulanginya sekali lagi. Pintu terbuka.

Heralius mempersilakan aku masuk lebih dulu. Ini kedua kalinya aku memasuki rumah kekasihku. Aku langsung duduk di sofa ruang tamu. Aku mengamati sekeliling. Sebenarnya aku tidak enak masuk ke rumah seorang laki-laki tanpa seorang lain pun di dalamnya. Aku melihat-lihat suasana rumah, ada sesuatu yang luput dari penglihatanku kemarin. Aku melihat foto keluarga, tanpa ayah di sana. Hanya Tante Marta, yang diapit oleh Heralius dan Merry. Aku jadi ingat, Heralius pernah bercerita sedikit tentang papanya. Beliau meninggal saat Heralius masih duduk di kelas dua SMA.

Sementara itu, Heralius berdiri di depanku, mendekap tangannya di dada. Beberapa saat kemudian berdehem.

“Rumahmu cantik, bersih dan rapi.” Aku memuji.

“Iya, persis seperti kamu.”

Heralius berjalan, meninggalkanku di ruang tamu. Agak lama dia kembali, membawa minuman dingin untukku.

“Mana laptopmu?” Aku mengingatkan tujuan awal dia mengajakku ke rumahnya, mengambil file proposal penelitian. Selain untuk bertemu Tante Marta, aku juga hendak memindahkan materi kuliah yang kutitipkan di laptopnya.

“Di kamar.”

“Kita harus ke kamarmu?” Heralius mengangguk.

“Berdua?” Aku kembali bertanya dengan setengah keraguan.

“Tidak, bertiga, dengan setan.” Heralius tertawa menggodaku. Lalu menggandeng tanganku ke kamarnya.

Sebenarnya aku bermaksud menggelengkan kepala, tetapi aku takut menyakiti hatinya.  Sementara, ada bagian dalam hatiku yang melarangku untuk mengikuti ajakannya. Betapa tidak, aku sering membaca novel atau cerpen, juga menonton film yang bertema modus seperti ini: mula-mula mengajak ke rumahnya, mengajak masuk ke kamar, lalu terjadilah. Namun, aku mencoba menguatkan hati, agar tak perlu meragukan ketulusan Heralius. Aku tak perlu mencemaskannya. Dia telah lama menjadi temanku dan tak pernah menunjukkan tabiat tak senonoh kepadaku.

Heralius membuka pintu kamarnya, melepaskan tanganku dari genggamannya. Berjalan menuju ke meja yang berada di bawah jendela kamar. Sementara, aku duduk di tepi ranjang kamarnya. Di luar, langit senja nampak lebih indah dari sebelumnya. Matahari sudah sembunyi, berganti lampu-lampu jalan yang menyala tidak terlalu terang.

Tidak terasa sudah berjam-jam kami berada di dalam kamar. Sibuk mengedit dan memindahkan materi-materi dari laptop ke flashdisk, pun sebaliknya. Tidak ada percakapan antara aku dan Heralius. Kami begitu tenang mengerjakan proposal. Tiba-tiba di luar sunyi, aku mendengar gerimis mulai turun, suaranya gemerisik menghujani permukaan genting rumah Heralius. Tersebab sunyi yang menguasai, aku menjadi hilang akal. Aku melihat Heralius yang masih sibuk di depan laptop, entah, aku sangat ingin memeluknya. Aku merasa kerinduanku selama harus dibayar dengan sebuah ciuman atau sekadar pelukan sebentar saja darinya.

Heralius menoleh, menatapku dengan mata lelah. Setelah berjam-jam mengamati layar laptop, matanya dikedip-kedipkan, mungkin terasa perih. Aku berjalan ke arahnya, Heralius membalikkan tubuh, lalu menciumku.

***

Semua terjadi begitu saja, kami sama-sama dalam keadaan sadar. Bahkan, ketika aku menanggalkan pakaian, membiarkan tubuhku telanjang dan mengizinkan kekasihku melakukannya. Kami melakukan dosa itu dengan senang, tidak ada paksaan. Kecuali, sepercik kekhawatiran yang akan terjadi setelah semua ini selesai.

***

Heralius mengambil selimut, menariknya sampai menutup separo tubuhku yang tanpa sehelai benang. Dia duduk bersandar di dinding, kepedihan jelas membayang di wajahnya. Matanya menggambarkan kepedihan yang semakin kecut, dan membuat rasa bersalah semakin menjadi-jadi.

Aku membaca ada rasa nyeri dalam dadanya. Wajahnya menunduk dan melawan rasa bersalah yang mencekat dalam hatinya. Dia membisu, menyesali kecerobohan yang akan menyeretnya dalam masalah, yang entah akan berakhir seperti apa. Heralius tak dapat menyembunyikan ketakutannya. Sungguh, aku kasihan kepadanya, dan aku tak bisa membencinya.

Tanpa disadari, sesuatu menetes dari matanya. aku melihat penyesalan yang sangat dalam. Heralius menutup wajah dengan kedua telapak tanggannya. Sementara, aku masih berbaring dengan mata dan pikiran yang sama-sama kosong. Aku bangun, menatap langit-langit kamar, mendengar suara isak tangis yang memilukan dari kekasihku. Suara hujan, memukul-mukul kaca jendela, membuat hatiku semakin miris. Aku tidak bisa berkata apa-apa.

Tiba-tiba, aku merasa ada beban yang mengganjal. Rasa takut yang merobek hati. Aku merasakan sesuatu yang paling berharga dariku hilang, kuserahkan pada kebahagiaan yang baru saja hadir. Aku memang mencintainya, tetapi mengapa aku menyerahkannya begitu saja? Sebuah perasaan hina meledak di dadaku, menyerap begitu cepat ke kepalaku. Rasa sedih dan malu bergumul menjadi satu.

Lalu, aku menarik tangan Heralius, menatap wajahnya dengan penyesalan. Aku menangis, air mataku tumpah bersama hilangnya keperawananku. Petir dan halilintar, mengganas di langit malam. Aku dan kekasihku, hanyut dalam linangan air mata. Tubuhku gemetar, terlambat untuk menyesal. (*)

 

Rachmawati Ash. Penyuka warna merah dan biru.

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply