Rindu yang Alpa

Rindu yang Alpa

Rindu Yang Alpa

Oleh : Gansar Dewantara

 

“Temui aku di Taman Candika, tepatnya di bangku depan,” pintamu lewat WA call.

Pada jadwal pertemuan yang seminggu sebelumnya sudah kita sepakati. Senin waktu itu tanggal 22 April, satu hari usai ulang tahunmu, dan 22 April sepuluh tahun silam adalah awal alur asmara kita termaktub di diari biru milikmu.

Minggu, aku sudah chek in hotel di Kota Medan, kota tempat kau bermukim kini. Sesampainya di kasur yang menandai sebuah kamar lux, kukirim leyeh-leyehku di kaca ponselmu. Feeling-ku, kau bakal menemuiku di kamar lux, ternyata salah. Kau tetap memutuskan pertemuan kita di taman sesuai inginmu yang akhirnya menjadi kesepakatan.

Selain aku suka keindahan aneka bunga bersemi di Taman Candika, sepasang mata kita bisa bermanja ria dengan air danaunya yang begitu jernih dan tenang, pun udara bersih nan sejuk sanggup merileksasi sekujur tubuh kita. Begitu jabarmu di android milikku.

Senin pagi, kuminta sopir taksi percepat laju menuju taman itu. Tak butuh ribuan detik netraku cerah menangkap keayuan ronamu, mencair sudah gundukan gelisah. Senyum pikatmu meresap penuh kekuatan, menyekap melebihi topan. Aku tak bisa melanjutkan langkah, kedua kakiku melemas, dan seakan terasa seluruh balung di sekujur wadakku rontok meluruh, lalu ….

“Sayaaaang!” teriak dan larimu samar-samar tertangkap olehku. Sekejap saja.

Sambutmu melebarkan senyum sembari tingkah manjamu yang masih sama persis seperti kali pertama aku persembahkan Anything Special for You di milad-mu yang ke-17, sepulang sekolah di Taman Bumi Serpong Damai (BSD) Tangerang, sepuluh tahun yang lalu, dan terulang jelas di memoriku. Kau sungguh tetap cantik, menarik.

Kala itu, gelora di jiwaku takut akan kehilanganmu, terucap janji untuk selalu setia mencinta hanya kepadamu, lalu sorot mata kita beradu sendu, lama sekali, sampai wajah beningmu berubah semu merah ketika awal kecupanku menjejak kasih di keningmu.

Banyak perempuan yang postur tubuhnya jenjang. Namun, gadis dengan rona kemerahan tanpa polesan bedak serta lesung pipi melengkapi keayuan yang ada pada dirimu sulit tersamai dan tak pernah kutemui. Hanya ada satu. Ya, satu perempuan yang mirip sekali denganmu. Jika diperkenankan kutebak, kau saudara kembarnya Katrina Kaif, tetapi sejak dulu kau enggan menoleh jika kusapa nama itu, bahkan marah.

Entah … daya dari mana? Tiba-tiba kau tarik tubuhku dalam dekap erat. Sungguh, begitu nyaman terasa sampai ke dasar jiwa saat kau perdengarkan teraan kata sakti. Bahwa dirimu juga sedikit pun tak terlintas di benak untuk jauh dariku, meski sedetak nada jarum jam meniti waktu.

Betapa bahagianya aku saat itu. Aku pun yakin, kau juga sama. Namun, saat pertemuan di Taman Candika–Medan Johor, tepatnya di bangku samping pohon ringin pinggir danau. Seluruh keperkasaanku lumpuh–berbalik seketika sebelum bertemu menggebu dan gagah–kini nyiut, tetapi ruang gaibku terus bertalu-talu.

Aku hanya pura-pura bertahan ketika frekuensi rindu dalam tekanan yang jauh lebih dari sekadar bertemu. Padahal. Sejujurnya, aku ingin tenggelamkan gunungan es kerinduan ini di birunya samudra asmaramu, mendekap seluruh rasa yang terdalam. Seperti dulu, yang pernah terlaksana. Atau setidaknya kau wajib tahu alasanku tetap bertahan dalam status lajang?

“Sayang, malah mematung!”

Napas balitamu menyeberangi alam mayaku. Membuatku geragapan seketika.

“Eng … enggak, siapa yang melamun?” kelitku, sejurus aku tarik-tarik sulur akaran ringin yang juntai menggantung, demikian improvisasiku menutupi geliat malu.

***

Ada kecanggungan yang memborgol kelu lidah ini saat kuposisikan duduk lebih mepet di sebelah kananmu. Diam dan menunggu bibirmu bergerak pelan terlebih dulu adalah strategi paling aman untuk sedikit meredam seteru dalam dada. Tulus rindu ataukah birahi yang mulai menguasai? Dan … jurusku berhasil, kau lebih dulu mengucap.

“Aku sudah lama tak pernah rileks di taman, tidak seperti waktu dulu. Waktu kita sepulang sekolah sering mampir dan nyantai di Taman BSD. Kita duduk di bok semen, di bawah pohon trembesi. Bercanda, mengulas ulang pelajaran. Sebagai adik kelas, aku sering minta pitutur Matematika. Selanjutnya, kau bercerita, kadang ceritamu membuat aku terpingkal-pingkal, kadang sedih. Bahkan aku hengkang dari bok semen itu saat kau mulai bertutur kisah horor. Lalu, kau kejar lari kecilku dan berjanji tidak mengulangi bercerita menyeramkan lagi. Hmmm … begitu mengasyikkan kalau mengingat waktu silam. Ya, kan, Sayang …?” paparmu timbul-tenggelam di telingaku. “Sayang,” panggilmu menjawil lengan kiriku. Seperti memastikan aku mendengar atau tidak.

“Ya,” jawabku sambil kugapai telapak tanganmu.

“Sampai sekarang barisan kalimat yang paling aku ingat dari sekian banyak cerita di bok semen waktu itu. Kau bertutur bahwa cinta itu ibarat pohon. Menjalin cinta berarti menanam pohon, butuh kesabaran dan pengertian dalam merawatnya, semakin lama pohon itu semakin tumbuh besar, rindang dan akarnya semakin kuat, kokoh tak tergoyah. Begitu juga cinta, semakin lama rasa itu bersemayam, maka ia bersenyawa. Sebab cinta adalah ruh, dan ruh adalah kehidupan, dan kau adalah kehidupanku. Begitu kalimatmu kala itu. Sayang, masih ingat semua, ‘kan?” tanyamu tak menoleh ke arahku.

“Ya, Ingat! Tapi kenapa kau malah memupuk cinta dengan yang lain! Kenapa?” Aku berdiri dan melepas genggaman manja jemarimu.

“Sayang, kau kenapa? Tiba-tiba kok, marah begitu, tolong jangan bentak aku, ya?” ucapmu iba mendongak ke arahku.

Jujur aku emosi, mendongak ke atas, lalu duduk kembali menuruti pintamu.

“Siapa yang memupuk cinta dengan yang lain? Aku memang sudah menjadi istri dari suami pilihan orang tuaku, tapi aku belum sepenuhnya sanggup mengubur cintamu dengan cintanya di hatiku!” sanggahmu.

“Hadirnya seorang anak dalam mahligai rumah tangga adalah anugerah teristimewa dari jalinan pernikahan.”

“Kamu tidak tahu! Kamu tidak tahu perasaanku!” sanggahmu meronta, menarik-narik lengan bajuku. Tangismu tumpah. Tapi, jeritnya sengaja kau sembunyikan, menyesak di dalam dada.

“Selama ini aku telah mendustai suamiku, mungkin lebih tepatnya berkhianat. Sejak aku menjadi istrinya, tak pernah aku temukan kenyamanan meladeni seorang suami: membuatkan minum, menyajikan sarapan, menyiapkan sepatu, baju untuk berangkat kerja. Juga tak pernah aku merasakan kenikmatan dalam hubungan mesra suami-istri, aku mati rasa, hanya pasif, kecuali jika kamu seutuhnya hadir di raga suamiku. Sumpah! Bahkan namamu lengkap kujadikan untuk nama anakku. Smith Birendra,” ungkapmu lanjut, teriringi basah di kedua mata sayumu. Batinku hareg.

Aku bangkit, melangkah beberapa tapak ke depan membiarkanmu terisak di bangku samping pohon ringin. Menyulut sebatang sigaret filter adalah cara mengalihkan emosi muntap di kepalaku.

“Sayang, bisakah dipertemuan ini kau tak jauh dari sisiku?”

Tiba-tiba rengkuh sepasang tanganmu melingkar dari punggung ke dadaku.

“A-aku ….”

Jemarimu memaksa bibirku tak bersuara, secepat kilat kau sudah di hadapanku, mendekap menguliti rindu. Kurasakan itu, seluruh tubuhmu mengeras, gemetaran, serta intonasi suaramu sendat-sendat. Begitu pun ritme jantungku, kencang tak teratur.

“Bukan hanya kamu yang mengharapkan pertemuan ini, Sayang? Aku sudah terlalu perih memikul kerinduan di hati. Aku ingin, sua kita tak sebatas di ujung tepuk sayonara, tapi lebih. Ya, lebih dari sekadar dekap dan kecupanmu yang selalu tertinggal di keningku pada akhir perjumpaan, seperti kebiasaanmu waktu masih SMA dulu.” Suaramu mendesis. Sambil terus kau jelajahi wajahku dengan bibir mungilmu.

Kita telah menafsirkan kerinduan yang alpa, Cin. Aku dan kau punya selaut rindu yang terus-menerus bergemuruh deru. Akalku menafsirkan.

“Sayang?”

“Ya.”

“Kok, kamu tak merespons, kenapa?” Heranmu saat hangat lidahmu menerobos dinding-dinding birahiku.

“Ti-tidak, tidak apa-apa. Kita sedang di tempat umum!” Aku melepas jeratmu, lalu kembali duduk.

“Jangan ucap, sudah ada pengganti diriku!” selidikmu memvonis.

Kemudian kau menjatuhkan pantatmu tepat di sela pangkuanku dan menyandarkan punggungmu di dada langsingku. Aku sempat menghindar, dan terus menghindar.

“Tidak ada yang lain, Cin. Setiap waktu, terlarut pahit yang tersaji dalam meneguk secangkir sepi atas dahaganya rindu membiru kepadamu, Cin. Entah, sejak kapan rinduku padamu tergilas segulung ombak nafsu. Sampai aku tersungkur atau kehilangan keseimbangan dalam samarnya realita. Saban malam tiba, aku mulai mencarimu. Ya, mencarimu, Cin? Mencari dirimu pada perempuan-perempuan malam, aku terus mencari perempuan yang mirip denganmu, satu, dua, tiga sampai perempuan yang tak terhitung dengan dua puluh jari yang kupunya. Dan perempuan-perempuan yang berselancar mengarungi syahwatku membayang mesra denganmu, tak satu perempuan pun yang sanggup melegakan rinduku akan dirimu. Tak satu pun! Di malam yang lain, aku pernah berteriak. Apakah ada seorang lelaki lain yang merindu kekasihnya seperti diriku ini, rindu yang menggila! Rindu yang alpa! Apakah dia juga punya rindu untukku, rindu yang ….”

Tiba-tiba kau sahut entakan kalimat di dalam dadaku yang belum tuntas.

“Ya, Sayang! Aku punya rindu yang sedikit pun tak beda rasa denganmu. Biar orang mengatakan ini rindu yang salah. Yang aku inginkan sekarang seharian bersamamu melukis rasa, meluberkan kerinduan yang jauh lebih dari sekadar cerita cinta.”

Kau kembali mendekapku, serta memintaku membalas, aku menuruti. Begitu lama dan dalam kita saling bertautan juga merasakan denyut-denyut birahi yang menggila. Namun, saat bisikmu mendesah, ingin ciptakan sebuah risalah paling rahasia, aku sontak—jenggirat—melepasmu–bangkit.

“Hotel! Ke kamarku … maaf, Cin!”

“Kenapa? Aku menunggu pertemuan ini bertahun-tahun!”

“Sama, Cin, aku juga begitu.”

“Bohong!” protesmu murka.

Aku hanya diam, sementara rayuanmu menggebu. Aku masih tetap tenang, seperti air di danau itu, tenang walau sesekali bergoyang karena lemparan batu krikil, sementara kau begitu deras menguliti hasrat tabu.

“Apa arti pertemuan ini? Apa, Sayang?” dalihmu.

“Cin, ak-aku, aku pernah benar-benar di bawah titik rapuh, terduduk beku dengan sepasang lutut yang merapat ke dada. Lalu ….” Kalimatku sengaja terhenti, ragu untuk menyampaikannya, tetapi kau terus mengejarku untuk mengungkap.

“Lalu … apa, Sayang?”

“Sudahlah, Cin, kita nikmati pertemuan kali ini di pinggir danau saja,” kilahku mengalihkan perhatian. Namun, magnetku tak mampu menarik tumpukan besi di dirimu, kau malah mengancam.

“Tidak! Jika kau tak terbuka denganku, lebih baik aku pulang! Aku menyesal menemuimu!” sentakmu saraya bangkit.

Gapaiku mendahului langkah dan ayunan tanganmu.

“Cin …! Aku sangat mencintaimu. Sangat merindukanmu.”

Melirik pun tidak kau lakukan, apalagi membalas ungkapku. Kau tetap mematung membelakangiku.

Tepat di tengkukmu kalimatku meluncur gemetaran, “Cin, ada yang wajib kau ketahui sebelum semuanya berakhir … a-aku, aku telah memotong kelaminku setelah Dokter memvonis aku terjangkit HIV dan positif masuk ke AIDS!”

Seketika itu, kau berbalik badan, mata pikatmu terbelalak menatap nanar sekujur tubuhku, sempat pula kau meraba untuk membuktikannya. Spontan jeritmu melengking membahana dalam rengkuh peluk kasih.

“Maafkan aku Cinta, aku telah gagal melesapkan rindu ini ke mayapada.”

Itu derai kata tulusku yang terakhir kususupkan di penjuru jiwamu.[*]

Pesona Khayangan – Depok, Februari 2019

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata.

 

Bagi yang ingin menerbitkan karyanya di Lokit, silakan posting cerpen kalian ke grup ini dengan #Cerpen_Lokit, admin akan menyeleksi jika ada yang dianggap layak oleh kami.

 

Leave a Reply