Tanjakan Sari Asih
Oleh : Nuke Soeprijono
Jaka, Badrun, dan tiga orang teman sesama sopir sedang istirahat di warung kopi milik Mbak Nah, dekat pangkalan taksi. Sambil menunggu penumpang, mereka asyik mendengarkan penuturan Badrun yang akhir-akhir ini sering diganggu hantu di tanjakan Sari Asih. Menurut Badrun, sekarang daerah itu tidak aman. Apalagi bagi pengemudi taksi yang sering mencari penumpang pada malam hari.
“Kalau kalian tahu penampakan wajah kunti itu, hiii … bisa-bisa kalian nggak bisa tidur dan nggak enak makan, dijamin!” ujar Badrun berapi-api. Lelaki berbadan gempal dengan rambut sedikit ikal itu tak henti-hentinya bergidik saat bercerita.
“Bayangkan! Di balik baju panjang bunga-bunga yang dia pakai, ternyata punggungnya banyak belatung gede-gede dan terus-terusan ngeluarin darah. Baunya ampuun … anyir, amis banget, njiiir!”
Sesaat Jaka terlihat menahan napas. Bukannya takut dan tercekat seperti tiga rekan lainnya, ia malah merasa mual membayangkan sosok kunti itu. Jaka, pria lajang berumur tiga puluh tahun itu memang bukan pria penakut. Setiap hari ia melewati Sari Asih, karena memang jalan itu satu-satunya akses bagi Jaka jika hendak pulang ke rumah.
Daerah yang berlokasi di pinggir kota itu memiliki pemandangan perbukitan di sebelah kanan-kirinya. Konon, di sana memang terkenal angker. Banyak kecelakaan terjadi karena kondisi jalan yang menanjak dan berkelok. Karena itulah, mungkin banyak arwah penasaran gentayangan.
Ah, dasar penakut semua! Mana mungkin orang meninggal bisa hidup lagi? batin Jaka.
“Hei, Badrun! Yakin, itu bukan halusinasi saja? Waktu itu lu capek, kali? Lagian tiap hari gue lewat sana juga, nggak pernah tuh, diganggu setan, hantu, atau demit apalah seperti yang lu ceritain barusan,” kata Jaka mematahkan penuturan sahabatnya.
“Ah, lu belum dapet rezeki aja ketemu ‘Mbak Kun’ kayak gue kemarin. Semoga aja entar malam lu bisa kencan sama dia ya, hiiii …,” ucap Badrun, lagi-lagi bergidik dengan mimik muka kesal pada Jaka.
“Eh, yang bener lu kalo ngomong! Doakan temen itu yang baik, dong.” Jaka pura-pura marah dan mengambil posisi tangan seperti hendak meninju Badrun. Badrun dan ketiga teman lainnya terkekeh melihat tanggapan Jaka yang terlihat emosi.
“Dah ah, dengerin si Badrun ngoceh bisa-bisa kehilangan penumpang kita,” ujar Jaka lagi sambil menghabiskan sisa kopinya yang tinggal separuh gelas. “Mbak Nah, catat dulu ye, kopi gue!” teriak Jaka pada Mbak Nah yang sedang melap piring di balik meja warung.
Wanita berwajah manis yang bernama lengkap Mirnah itu hanya meringis menanggapi kebiasaan Jaka dan teman-temannya. Selalu begitu, seolah-olah dia sudah maklum. Kemudian Mbak Nah segera mencatat utang sopir taksi itu di buku kecil.
“Jak, hati-hati, ya! Bismillah dulu kalo mau jalan,” kelakar Badrun dan disambut tawa teman-temannya. Dari seberang warung Jaka hanya tersenyum kecut sambil mengepalkan telapak tangannya pada mereka.
Jaka memacu taksinya menuju pusat kota. Saat itu jam digital di dasbor menunjuk angka dua puluh titik tiga puluh. Jaka masih berputar-putar di tengah kota, menikmati semarak kerlap-kerlip lampu taman kota lalu sedikit memainkan gas dan kopling saat melewati kemacetan di sana. Kemudian Jaka menyisir jalanan menuju pinggir kota. Masih sepi penumpang. Sepertinya orang-orang lebih memilih naik motor dan mobil angkutan kota daripada memesan taksi, batin Jaka tak bersemangat.
Lama Jaka melamun dalam belakang kemudi. Tanpa terasa lamunan membawanya menuju tanjakan Sari Asih. Mau tak mau jalan itu harus dilaluinya. Tidak mungkin ia memutar balik taksinya, karena jalanan itu searah. Ah, sial! Kenapa malah masuk sini, sih? Kan, gue belum mau pulang?! Ya udahlah, sekalian aja, rutuknya dalam hati.
Setelah mengurangi gigi persneling dan menancap gas lebih dalam, Jaka pasrah saja membawa taksinya mengikuti arah jalan. Tanjakan dan kelokan demi kelokan ia lewati dengan hati-hati. Sepanjang jalan, sebelah kanan dan kirinya hanya terlihat pemandangan gelap. Tiba-tiba di arah depan sisi kiri, Jaka melihat seorang perempuan sedang berdiri dengan posisi tangan menyetop taksinya.
“Alhamdulillah, rezeki sebelum pulang,” gumamnya.
Segera ia tepikan taksi bercat putih dengan nomor lambung tiga belas itu. Perempuan yang menyetop taksi ini berbaju gamis warna kuning gading, kerudungnya hitam dan berwajah … cantik! Dengan senyum mengembang, Jaka menunggu perempuan itu membuka pintu taksinya.
“Silakan, Mbak,” sapa Jaka ramah sambil melirik kaca spion di atas dahinya. Si perempuan bergeming dan tak lama kemudian terdengar suara pintu taksi ditutup keras.
“Pelan-pelan aja, Mbak. Nanti ambrol taksi saya,” kelakar Jaka cengengesan.
“Eh, iya, maaf ya, Bang. Kenceng banget ya, saya nutupnya?” Pertanyaan retoris dari perempuan itu dilontarkan sambil menutup mulut menggunakan salah satu telapak tangannya yang tampak putih pucat.
“Nggak pa-pa, Mbak. Si Mbak, kan, nggak sengaja. Mau diantar ke mana, nih?” tanya Jaka sambil tersenyum ramah. Jaka sama sekali tidak menoleh ke jok belakang. Sambil terus mengawasi dari kaca spion, kalau-kalau si perempuan berubah menjadi kunti seperti cerita Badrun tadi.
Ah, dasar Badrun penakut! Malu-maluin aja. Kek gue dong, berani! batin Jaka jumawa.
“Bang, antar saya ke Jalan Melati, ya!” perintah perempuan itu lembut sambil menepuk pelan pundak Jaka. “Kok bengong, sih, Bang? Kuy, jalanlah!”
Jaka yang melongo tersadar, dia malu dan tergagap. “E–eh iya, Mbak. Ke jalan mana kita tadi?”
“Tuh, kan, Abang nggak nyimak saya ngomong, deh. Ke Jalan Melati, Bang? Tahu, ‘kan?” ujarnya sedikit manja. Untung saja Jaka termasuk pria berpikiran lurus dan tidak neko-neko. Meskipun masih sendiri, Jaka tidak pernah berbuat kurang ajar pada setiap pelanggan taksinya. Kemudian ia segera membawa taksinya melaju dengan kecepatan sedang.
Lima belas menit perjalanan, akhirnya sampailah Jaka mengantar perempuan itu sampai tujuannya. Perempuan itu lalu turun di depan gang Jalan Melati. Sambil menyerahkan selembar uang berwarna merah dia mengucapkan terima kasih.
“Eh, Mbak, banyak amat? Saya nggak ada kembaliannya, nih!” kata Jaka kebingungan.
“Udah, kembaliannya buat Abang aja, saya ikhlas!” ujar si perempuan sambil tersenyum manis. Memang seharian tadi Jaka belum dapat penumpang dengan jarak jauh. Uang yang didapat dari hasil menarik taksinya pun belum banyak. Bisa dibilang malam ini Jaka ketiban rezeki nomplok.
“Alhamdulillah … beneran, nih, Mbak? Makasih banyak, ya!” teriak Jaka semringah. Perempuan bergamis kuning gading itu segera keluar dari taksi dan berlalu masuk ke Gang Melati sesuai tujuannya tadi. Lalu Jaka dan taksinya segera meninggalkan daerah itu. Tak ada keanehan maupun hal seram yang terjadi selama perjalanan tadi. Tak ada perempuan yang beralih wujud menjadi kunti atau uang yang berubah bentuk menjadi daun. Tak ada!
***
“Bad, kemarin gue dapat durian runtuh!” pamer Jaka kepada Badrun saat mereka bertemu di pangkalan taksi keesokan sorenya. Jaka menceritakan pengalamannya kemarin malam.
“Jadi gue tegaskan lagi, ya, Bad! Nggak ada namanya hantu atau kunti seperti yang kemarin lu ceritain dengan penuh rasa takut itu.” Jaka terbahak hingga pundaknya yang atletis ikut berguncang.
Badrun yang sedari tadi memperhatikan cerita Jaka, hanya manyun sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal. Dengan wajah kesal, lelaki yang usianya di bawah Jaka dua tahun itu berkata, “Ah, lihat saja lu! Mungkin kemarin memang hari baik lu. Coba nanti ulangi lagi lewat Sari Asih lewat jam dua belas malam. Dan rasakan sensasinya … hiiii!” ujar Badrun sambil bergidik mengekspresikan wajah takutnya di hadapan Jaka.
“Dahlah … minggir, lu. Gue mo kencing!” usir Badrun sambil berjalan menabrak dada bidang si Jaka.
“Dasar lu! Pokoknya kagak ada itu hantu-hantuan! Dasar penakut lu, emang!” Lagi-lagi Jaka tertawa keras bersama bayangan Badrun yang hilang di balik tembok toilet.
Gelap malam semakin pekat, merangkak menuju dini hari saat Jaka selesai mengantar penumpang keenam. Lumayan banyak pendapatan Jaka hari ini. Dengan rasa syukur, Jaka bermaksud untuk langsung pulang saja.
Tiba di tanjakan Sari Asih, suasana jalanan lengang. Sama sekali tak ada mobil ataupun motor yang melintas, mengingat waktu menunjuk di angka satu titik lima belas. Dari kejauhan, Jaka bisa melihat dengan jelas sosok perempuan berdiri di tepi jalan, seperti kemarin malam. Jaka langsung menginjak pedal gas lebih dalam lagi dengan maksud segera menghampiri sosok itu.
Semakin mendekat, jalanan semakin menanjak. Sosok perempuan itu tiba-tiba menghilang. Jaka seakan tak percaya pada penglihatannya. Ah, nggak mungkin!_ batinnya. Lalu ia mundurkan taksinya, bermaksud menepi. Jaka celingukan mencari perempuan itu. Akan tetapi, sosok yang dimaksud sudah hilang tak berjejak.
“Kok aneh sih, tadi jelas ada kok, Mbak yang kemarin,” gumam Jaka sambil menggaruk kepalanya. “Ah, mungkin aku dah ngantuk!” kata Jaka sambil bersiap menancap gas lagi untuk segera meninggalkan tempat itu. Tiba-tiba dari bayangan spion ….
“Aaargh … buset dah! Kamu siapa?? Eh, ini Mbak yang kemarin, ‘kan? Kok, si Mbak dah duduk di situ? Kapan masuknya?” tanya Jaka kaget setengah mati melihat sosok perempuan itu sudah duduk manis di jok belakang taksinya. Dengan wajah tertunduk, si perempuan masih bergeming. Jaka mulai takut. Dadanya berdegup kencang.
Saat perempuan itu mengangkat wajahnya, Jaka yang sedari tadi memperhatikan dari kaca spion mulai frustrasi dan takut setengah mati. Ia melihat wajah itu mirip Mbak Nah, tetapi dengan wajah yang rusak dan bola mata yang keluar penuh darah. Jaka lalu berteriak-teriak minta tolong. Percuma! Ia juga bermaksud menancap gas ingin segera pergi dari situ tetapi nihil. Taksinya seolah-olah mogok, tak dapat melaju seperti biasanya.
Tiba-tiba sosok itu menyeringai, mengeluarkan tawa khas kuntilanak dan berkata, “Jaka … cepat lunasi hutang-hutangmu, Jaka … hihihii ….”(*)
Tentang Penulis:
Nuke Soeprijono, si alter ego kelahiran 4 Nopember ini berusaha self healing dengan menulis. Berharap tulisannya bisa menghibur diri sendiri, syukur-syukur orang lain bisa ikut terhibur.
Editor : Dyah Diputri
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata