Angin

Angin

Angin

Oleh : Mega Yohana

 

“Apa kau dengar suara angin yang berembus di muka bumi? Bangkit, kenangan di masa lalu. Apakah yang berada di sana, di ujung awan yang berarak?” Maya mendendangkan lagu yang didengarnya dari film animasi yang pernah ditayangkan di suatu stasiun televisi sewaktu dia kanak-kanak dulu. Sudah lama sekalisejak terakhir kali dia menyanyikan lagu itu.

“Ku tahu masa depan telah menantimu di balik hutan ini ….” Maya melanjutkan. Perlahan, kakinya menyusuri jalan setapak, turun menuju sungai. Kenangan berhamburan ketika dia melangkah. Kaki-kaki yang berlari bersamaan dengan tawa renyah anak-anak—Maya menyisih sedikit agar dua anak yang tengah berlari tidak menabraknya—membuat Maya tersenyum.

“Ampun, ampun!” si anak laki-laki berteriak sambil terus berlari menuju sungai. Di belakangnya, anak perempuan yang terlihat seusia dengannya mengejar sembari tertawa.

“Kena kau!” seru si anak perempuan. Tangannya berhasil meraih kaus yang dikenakan si anak laki-laki. Meski bertubuh kecil, nyatanya anak perempuan itu memiliki tenaga yang kuat. Dia menarik kaus si anak laki-laki hingga bocah itu jatuh terjengkang ke sungai. Air menciprat, mengenai wajah si anak perempuan, sementara baju si anak laki-laki basah kuyup.

Mereka tertawa, saling menggelitiki dan saling mencipratkan air sungai. Tawa mereka begitu polos, dan mereka terlihat begitu bahagia. Tak lama, keduanya mentas dari sungai dan berlari menjauh. Kaki-kaki mungil mereka bergerak cepat. Sebentar saja, bayangan mereka sudah tak terlihat.

Maya mengalihkan pandangan pada dua remaja yang duduk di sebuah batu besar di tepi sungai. Keduanya mengenakan seragam SMP. Mereka terlihat sedang membicarakan sesuatu, lalu sama-sama tertawa.

“Coba nyanyikan lagu itu!” pinta si gadis. Kakinya berayun dengan ceria. Pemuda di sampingnya turun dari batu, melepaskan sepatu, berjalan ke tengah sungai yang berbatu, lalu berbalik menghadap si gadis. Sembari tersenyum lebar, dia mulai bernyanyi.

“Selamat jalaaan, oooh,” nyanyinya—atau lebih tepat disebut teriaknya—sembari merentangkan kedua tangan dan menggoyangkan pinggul.

Tawa si gadis yang duduk di batu pecah, begitu pula dengan Maya. Suara itu benar-benar sumbang, tetapi si remaja laki-laki tidak berhenti. Dengan percaya diri, dia melanjutkan nyanyiannya.

Si gadis terbahak-bahak melihat temannya menyanyi di tengah sungai dengan suara sumbang tetapi penuh percaya diri. Mungkin karena tidak tahan atau malu, atau sudah lelah tertawa, gadis itu menggeleng-geleng lalu turun dari batu dan mulai berjalan menjauh.

“Heh, tungguin, woi!” Si laki-laki yang melihat temannya pergi buru-buru mengejar. Di tengah jalan, dia berbalik dan cepat-cepat memakai sepatunya yang tadi diletakkan di samping batu besar sebelum kembali mengejar temannya.

Maya tengah memperhatikan punggung dua remaja itu yang perlahan menjauh ketika terdengar suara dari belakangnya. Perempuan dua puluh tiga tahun itu berbalik.

“Harus ke luar negeri, ya?” Seorang gadis yang berdiri memunggungi Maya bertanya kepada teman laki-lakinya, seorang pemuda bermata teduh yang tengah tersenyum. Wajah si pemuda mirip dengan wajah si bocah laki-laki yang bermain air dengan temannya tadi, juga dengan remaja SMP yang bernyanyi sumbang tadi. Hanya, pemuda ini tampak lebih dewasa dan lebih tinggi. Dia dan si gadis sama-sama mengenakan seragam SMA.

“Huh, mau gimana lagi? Itu mimpimu, kan?” gerutu gadis itu, lalu berjalan ke tepi sungai. Kebetulan atau tidak, dia menduduki batu yang tadi diduduki dua remaja SMP.

Si pemuda mengikutinya, tetapi alih-alih duduk di sampingnya, dia berjongkok. Dengan lembut, diraihnya tangan si gadis. “Aku pasti balik, kok,” ujarnya dengan senyuman yang tak pernah meninggalkan wajahnya. “Janji, deh!”

Dari bahu si gadis yang terangkat perlahan lalu turun, Maya tahu gadis itu tengah menghela napas dan mengembuskannya. Gadis itu turun dari batu dan berjalan ke tengah sungai tanpa melepas sepatunya, lalu berbalik menatap si pemuda. Senyum lebar terpasang di bibir gadis itu, sangat lebar hingga seolah-olah ujung bibirnya mencapai telinga. Lalu, dia mulai bernyanyi.

Pada detik ini, setetes air mata jatuh di pipi Maya. Dia mengusapnya dengan cepat, sementara bibirnya yang bergetar mengikuti nyanyian si gadis yang berdiri di tengah sungai.

“Selamat jalan, oh …. Jangan berpaling lagi dan teruslah melangkah! Percayalah, oh …. Gejolak dalam dada ‘kan jadi kekuatan. Suara langkahmu yang tengah berlari kencang, sendiri ‘kan kucari di tengah angin ini ….”

Ketika mendongak, Maya tersadar bahwa dirinya kini tengah berlutut. Dari kedua matanya, air mata tak berhenti mengalir. Tak ada lagi gadis yang bernyanyi di tengah sungai, tak ada pemuda bermata teduh yang selalu tersenyum. Maya sendiri di sini. Dengan kepalan tangan, diamenepuk-nepuk dadanya yang sesak dan terus tersedu-sedu.

“Kamu sudah janji, Yo. Kamu sudah janji!” seru Maya di tengah isak tangisnya. “Kamu janji bakal balik. Kamu janji….” Berulang-ulang, kata-kata itu seperti mantra, seperti doa. Namun, Maya tahu, Rio tidak akan pernah kembali. Temannya, laki-laki yang tumbuh bersamanya sejak kanak-kanak itu tak akan kembali lagi.

Air sungai terus mengalir, terdengar gemercik melintasi bebatuan. Angin terus berembus, sepoi-sepoi di antara pepohonan. Namun… tidak ada lagi tawa anak-anak, tidak ada suara sumbang yang bernyanyi dengan penuh percaya diri. Seolah-olah, semuanya melebur bersama embusan angin. (*)

 

Dalam Keheningan, 01072020

Mega Yohana, sesekali menulis dan sesekali menyunting naskah.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Kategori: cerpen, sastra

 

Leave a Reply