Asa yang Tersisa

Asa yang Tersisa

Asa yang Tersisa
Oleh : Ika Mulyani

Fitri menghela napas panjang dan mencoba bangkit dari tempat tidur. Tamunya sudah keluar dari kamar sejak belasan menit lalu, meninggalkan dirinya yang tergolek lemas dengan sekujur tubuh terasa remuk redam. Bahkan di beberapa bagian terlihat biru lebam.

Fitri meraih selimut untuk menutupi auratnya yang terbuka. Wanita cantik itu lalu beranjak ke arah kamar mandi dengan langkah tertatih. Sambil memandangi pantulan wajah pada cermin di kamar mandi, dia meringis saat melihat ada setitik darah di sudut bibir bawahnya yang tampak sedikit bengkak.

Fiuh!
Kalau bukan karena banyaknya imbalan yang biasa diberikan, ingin rasanya Fitri menolak setiap kali ada ajakan special lunch time dari Bima–purchasing manager baru di sebuah perusahaan bonafide di kota ini. Saking lelah dan tersiksanya, Fitri sampai harus meliburkan diri selama satu-dua hari, untuk memulihkan kondisi tubuhnya
Andai bisa berhenti selamanya, tidak cuma satu-dua hari, batin Fitri seraya mulai membersihkan diri.
Wanita itu menghela napas panjang, dadanya terasa sesak dan air mata mengalir membasahi pipi. Pikirannya melayang ke masa lima belas tahun silam.

***
Guntur, pria yang baru dikenal Fitri dua bulan lalu, tiba-tiba melamarnya. Dia mengenal laki-laki itu saat mengajukan surat lamaran pekerjaan di sebuah perusahaan agribisnis di ibukota provinsi. Fitri yang belum lama lulus SMK, bermaksud melamar untuk posisi staf administrasi, sesuai yang diiklankan di surat kabar.

Guntur yang menerima berkas dari Fitri, mengaku sebagai asisten manager HRD. Gadis muda belia itu diminta untuk pulang dan menunggu kabar dari pria itu lewat telepon.

Dua minggu berlalu, belum juga ada kabar dari Guntur. Fitri pun nekat untuk menghubungi perusahaan tersebut dan mencari si asisten manager HRD.
Sungguh kebetulan, Guntur yang mengangkat telepon.

“Oh, Neng Fitri. Baru saja saya mau telepon. Belum ada kabar, nih, dari bos. Si Eneng lagi di mana?”

Fitri yang berniat mendatangi kantor Guntur bila tidak berhasil mendapat kabar, menelepon saat sudah ada di depan bangunan kantor tersebut. Mengetahui hal itu, Guntur lalu menghampiri Fitri dan mengajak gadis cantik berkulit putih itu untuk makan siang di sebuah rumah makan Padang.

Sejak itu, keduanya lalu menjadi dekat dan sering bertemu. Sikap dan pembawaan laki-laki itu yang ramah, terkesan baik dan lembut hati, membuat Fitri yang polos dan sedikit lugu menjadi terpikat.
Tanpa berpikir panjang, gadis yatim piatu itu–di kota ini Fitri tinggal bersama paman dan bibinya–menerima lamaran dari Guntur.

“Nanti, meski sudah menikah, Fitri masih boleh bekerja, kok, Bi. Fitri tetap bisa ngasih uang sama Paman dan Bibi.” Guntur berucap dengan nada manis.

Paman dan bibi Fitri yang semula menentang, akhirnya menyetujui pernikahan tersebut. Apalagi kemudian Fitri memberikan semua uang seserahan dari Guntur pada bibinya. Saat itu, uang sejumlah sepuluh juta besar nilainya bagi keluarga paman Fitri yang hanya bekerja sebagai buruh di sebuah pabrik.

Acara pernikahan sederhana pun disiapkan dan digelar.

“Selesai acara, kita langsung ke hotel aja, ya, Neng.” Guntur berkata sambil tersenyum menggoda. “Kita bulan madu di sana aja,” bisik laki-laki itu, membuat pipi Fitri bersemu merah.

Setiba di sebuah hotel berbintang lima, Guntur meminta Fitri masuk ke kamar, dan laki-laki itu berkata, “Saya tinggal dulu sebentar, ya. Ada yang harus diurusin.” Lalu dia pergi meninggalkan Fitri sendiri di dalam kamar yang harum aroma bunga mawar.

Suara ketukan di pintu membuat Fitri–yang sudah menunggu hampir satu jam–lega. Akan tetapi, betapa terkejutnya dia saat membuka pintu. Tampak seorang pria tak dikenal tersenyum, matanya menelusuri sekujur tubuh Fitri dengan tatapan liar dan berkesan lapar.

“Pinter si Guntur! Kamu bener-bener cantik. Jauh lebih cantik dari foto yang dia tunjukkan. Si Satya ini sungguh beruntung!” ucap lelaki itu sambil terkekeh.

Pria itu lantas memaksa masuk, mengunci pintu, dan mendesak Fitri hingga jatuh telentang di tempat tidur yang dipenuhi taburan kelopak bunga mawar.

***
Ternyata, pernikahan itu hanya kedok bagi Guntur untuk menutupi kejahatannya. Laki-laki asing tadi telah membayar sebesar dua ratus juta rupiah pada Guntur untuk membeli kegadisan Fitri.

Setelah peristiwa itu, Guntur tidak pernah lagi menghubungi Fitri. Gadis itu benar-benar ditinggalkan. Panggilan kerja dari perusahaan pun tidak kunjung datang.

Justru malah Satya yang sering datang pada jam makan siang. Dia memaksa wanita muda belia itu untuk melayani nafsu kelelakiannya, hingga kemudian Fitri hamil. Mengetahui kehamilan Fitri, Satya tak pernah lagi menghubungi wanita itu. Kecil sekali kemungkinannya bagi Fitri untuk dapat menemukan laki-laki pengecut itu di kota sebesar ini, jika ingin menuntut pertanggungjawaban.

Fitri merasa tidak ada lagi kesempatan bagi dia untuk hidup lurus. Maka ketika kemudian datang “panggilan” dari banyak laki-laki bejat lain yang ingin menikmati kemolekan tubuhnya, Fitri pun mengamini. Semua dilakukan demi menyambung hidup dan persiapan kelahiran janin dalam kandungan. Fitri menyerah untuk tidak lagi mencoba menyingkirkan bayi di dalam perutnya, setelah berkali-kali gagal.

Kehamilan justru membuat kecantikan Fitri semakin terpancar dan membuat wanita itu semakin terkenal di kalangan pria penikmat special lunch time.

***

Demikianlah, hingga kemudian bayi perempuan Fitri lahir, dan kini anaknya sudah berusia empat belas tahun, Fitri masih menekuni profesinya. Fitri menyematkan nama Suci pada putrinya. Dalam keyakinan Fitri, anak yang dilahirkannya tetap suci murni, tanpa terpengaruh kotoran ibunya. Suci tak pernah mengetahui pekerjaan ibunya yang sebenarnya. Jika Suci bertanya siapa ayahnya, maka Fitri akan menunjukkan foto pernikahannya dengan Guntur.

“Mama diceraikan oleh papamu waktu kamu masih ada di perut Mama. Udahlah, enggak usah lagi kita pikirin dia, Sayang. Yang penting Mama punya kerjaan, dan kita bisa hidup layak.”

Fitri selalu berkata pada Suci, dia bekerja di hotel, dan tak pernah menjelaskan lebih lanjut.

***
Siang ini, ada yang lain dari Bima. Laki-laki tinggi besar yang tetap gagah di usianya yang sudah hampir mencapai lima puluh tahun itu, tak segera pergi setelah menuntaskan nafsunya. Permainannya pun tak sekasar dan sekeras biasanya. Pelanggan setia itu duduk di sofa yang tersedia di kamar hotel dengan hanya mengenakan celana pendek. Tubuhnya sudah bersih dan wangi bodyfoam yang tersedia di kamar mandi hotel.

“Cepet mandi, Fit! Terus duduk di sini. Saya mau ngomong sesuatu,”
Fitri pun menurut. Lima belas kemudian, dia sudah selesai membersihkan diri. Dihempaskannya tubuh mungilnya di samping Bima.

“Ada apa, Pak? Enggak balik lagi ke kantor?”

“Saya belum lunch. Kita pesen aja, ya. Makan di kamar aja. Kamu mau makan apa?” Bima berucap sambil menyentuhkan telunjuknya pada bibir penuh milik Fitri. “Ini kenapa?” tanyanya menunjuk setitik bekas luka di sudut bibir Fitri.

“Gigi Bapak, tuh! Kayaknya lagi pingin makan daging,” jawab Fitri sambil tersipu.

“Oh.” Bima menyahut pendek.

Laki-laki itu lalu meraih gagang telepon dan memesan menu makan siang pada resepsionis.

Setelah selesai makan, Bima belum juga beranjak pergi.

“Fit, umur kamu berapa?’ tanyanya sambil mulai menyalakan sebatang rokok.

“Ih, kok, nanya umur segala, sih, Pak? Aku masih muda, kok!” Fitri menyahut dengan nada genit. Nada profesional dan standar di depan pelanggan.

“Iya, percaya. Berapa?”

“Baru 33 bulan Juni nanti. Bapak mau ngasih kado?” Fitri mengedipkan sebelah matanya.

“Saya kasih kadonya sekarang, ya.” Bima tersenyum dan melanjutkan kata-katanya, “Kamu mau, ya, jadi istri saya?”

Fitri terdiam. Senyumnya hilang.

“Kamu mau, ‘kan? Saya baru 48, kok. Saya maunya, kamu enggak usah terima tamu yang lain. Sama saya aja.”

“Istri Bapak mana?”

Bima tak menjawab. Pandangannya menerawang. Asap rokok berputar-putar di depan mereka.

“Dia kabur sama pacarnya!” desis Bima dengan nada pahit.

Fitri menghela napas. Bima memang cukup sering menceritakan sekilas demi sekilas kehidupan rumah tangganya. Sepasang suami istri yang sama-sama penyeleweng.

“Nanti kita beli rumah agak jauh dari sini. Biar kamu tenang. Saya juga mau pindah kerja aja. Udah ada perusahaan yang nawarin kerjaan baru.”
Selama ini, Bima bekerja di perusahaan milik mertuanya. Fitri belum berani memberikan jawaban.

“Aku harus ngomong sama anakku dulu, Pak. Udah gede dia sekarang. Udah empat belas.”

“Oh, ya. Cerita aja dulu. Saya tunggu jawabannya, ya. Secepatnya.”
Fitri hanya bisa mengangguk. Bima lalu menyodorkan segepok uang–lebih banyak dari biasanya–dan berkata, “Ini sepuluh juta. Jangan terima tamu lain sampai saya telepon lagi, ya.”

Laki-laki itu lalu mengenakan kemeja dan setelan jasnya, lalu meninggalkan kamar hotel setelah mengecup kening Fitri. Fitri melepas kepergian Bima dengan air mata berlinang. Mungkinkah ini jawaban dari doa-doanya selama ini? Inikah kesempatannya untuk bisa bangkit dari kubangan nista?
Semoga.

***

Ika Mulyani, seorang ibu dua anak kelahiran kota Bogor, 44 tahun lalu, yang juga menjadi tenaga pengajar freelance di sebuah bimbel. Hobi membaca membuatnya mencoba untuk menulis, dengan harapan bisa berbagi sedikit ilmu dan memberi inspirasi.

Editor: Erlyna

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata.

Leave a Reply