Miras

Miras

Miras

Oleh: Musyrifatun Darwanto

Malam itu sekitar pukul delapan, kami berkumpul di pos ronda. Bernyanyi sembarang, tak peduli meski suara fals. Diiringi suara gitar yang dipetik asal, juga sebuah galon bekas yang dipukul mengikuti alunan lagu. Tertawa dan bercanda. Sempat ada seorang bapak yang menegur, kami diam lalu cekikikan setelah bapak itu menjauh. Kemudian melanjutkan bernyanyi seperti tak ada yang merasa terganggu.

Sebagian dari kami adalah anak-anak broken home. Korban perceraian orang tua, ada juga yang orang tuanya masih bersama, tapi tak betah di rumah karena terus-menerus mendengar teriakan dan caci maki.

Sementara aku sudah lama tinggal berdua hanya dengan Ibu. Bapak pergi saat putranya ini bahkan belum mampu mengingat gurat wajah beliau. Ibu yang selalu sibuk bekerja seringkali tak punya waktu untukku.

Masih asyik dengan tawa dan nyanyian sumbang, saat tiba-tiba salah seorang yang biasa bergabung dengan kami datang membawa satu kardus minuman beralkohol.

“Pesta kita malam ini, Coy,” celetuk Zamrud, pemuda yang datang dengan membawa beberapa botol minuman keras dalam kardus.

“Wuih … lagi kaya, Lo?” timpal Ferdy.

“Mantap, nih. Udah lama kita kagak party, Coy.” Gandi menyahut.

Sebuah motor besar berhenti tepat di depan pos ronda, Roy–salah satu teman kami–datang berboncengan dengan pacarnya yang bernama Vita.

“Woi, kalian pesta nggak ngajak-ngajak gue?” Roy setengah berteriak.

“Roy, sini Lo. Itu cewek Lo anterin pulang dulu. Bisa rusak dia kalau ikut kita.” Aku menjawab sambil melirik ke arah Vita.

“Alah, nanti aja. Kalau gue tinggal nganter Vita bisa-bisa gue nggak kebagian.”

Vita nampak gusar. Gadis itu melirik sekilas ke arah kardus yang dibawa Zamrud, lalu berbisik ke telinga Roy, sepertinya mengatakan jika ia keberatan dengan keputusan pacarnya itu.

“Tenang aja, Sayang. Ada aku. Mereka gak akan berani macam-macam sama kamu.” Roy memegang dagu pacarnya.

Meski masih terlihat ragu, Vita akhirnya mengangguk setuju.

“Vit, Lo beneran nggak papa?” tanyaku, jujur aku menghawatirkan Vita, Dia satu-satunya perempuan di sini.

“Iya, nggak pa-pa.” Vita menjawab, dengan senyum yang terlihat dipaksakan.

Kebetulan ini malam Minggu, biasanya memang setiap weekend kami menghabiskan waktu bersama, menenggak miras hanya jika diantara kami ada yang sedang berduit. Tentang Vita, sebenarnya kami tak terlalu kenal, karena gadis itu memang cukup pendiam dan jarang keluar rumah selain sekolah. Dari cerita Roy kami tahu bahwa orang tua Vita sudah bercerai sekitar satu tahun yang lalu, sejak saat itu Vita tinggal bersama ayahnya. Dia sering mendapat kekerasan fisik, bahkan beberapa kali sang ayah sempat melakukan pelecehan.

Menjelang tengah malam, kami pindah lokasi ke sebuah bekas pabrik yang sudah lama ditinggalkan. Pesta pun dimulai. Masing-masing dari kami memegang satu botol miras, kecuali Vita. Gadis itu terlihat semakin gusar, tapi ia hanya diam sambil mengamati kami.

Setengah jam berlalu, botol-botol miras sudah tandas. Hanya milik Roy yang masih tersisa separuh. Entah bagaimana dia membujuk Vita, hingga gadis itu mau menenggak miras sisa Roy.

“Roy, gila, Lo!” ucapku diantara kesadaran yang mulai hilang.

Roy tertawa.

Vita bergidik ketika minuman beralkohol itu pertama kali menyentuh lidahnya. Namun, Roy membisikkan sesuatu di telinga Vita, sambil tangannya mengelus punggung gadis itu, hingga akhirnya Vita kembali menenggak cairan memabukkan itu sampai habis tak bersisa.

Perlahan tapi pasti, semua orang dalam ruangan pengap itu mulai kehilangan kesadaran. Setan telah berhasil menguasai kami, Vita menjadi korban kebiadaban birahi secara bergiliran. Kami bertujuh bagai kesetanan menjadikan Vita objek pelampiasan.


Kepalaku terasa berat, sinar matahari yang masuk melalui bekas jendela yang sudah tak berkaca, menyilaukan mata. Membuat kepalaku semakin sakit. Sayup terdengar suara isak tangis. Mataku memicing, mencoba memindai sekitar.

Aku terlonjak kaget ketika menyadari di ruangan ini hanya tinggal aku dan Vita yang meringkuk memeluk lutut sambil menangis. Gadis itu sudah mengenakan kembali pakaiannya.

“Kemana mereka?” gumamku.

Vita menggeleng.

“Ayo. Aku antar pulang.” Aku bangkit, memakai kembali kaos oblongku yang tergeletak di lantai berdebu.

Vita masih bergeming.

Kuulurkan tangan, membantu Vita berdiri.

“Jangan nangis,” ujarku pelan.

“Aku takut, Rey.”

“Takut kenapa?”

“Aku takut … hamil,” gumamnya pelan, hampir tak terdengar.

“Semoga saja tidak,” jawabku asal. Jujur, dalam hati sebenarnya juga ada ketakutan yang sama.


Seminggu sudah berlalu sejak kejadian malam itu. Sempat terdengar kabar dari Roy bahwa Vita tidak masuk sekolah selama beberapa hari.

Roy mengatakan pada kami bahwa sejak malam itu, sikap Vita berubah menjadi lebih sering marah-marah dan mudah menangis.

“Itulah, makanya kemarin gua minta Lo anterin Vita pulang. Kalau sudah gini, nyesel, ‘kan, Lo?”

Roy menunduk, menghela napas. Terlihat sekali ia menyesali perbuatannya, tetapi percuma, semua sudah terlanjur terjadi.

“Jangan-jangan Vita hamil.” Kata-kata itu meluncur dengan pelan dari mulut Roy. Aku mendongak saat mendengarnya. Kami semua jelas menakutkan hal yang sama.

Kalau benar Vita hamil, lalu siapa yang akan bertanggung jawab?

Sebulan berlalu, kampung kami dihebohkan oleh kabar kehamilan Vita. Berawal dari salah seorang tetangga yang curiga setiap pagi mendengar suara Vita muntah di kamar mandi, kemudian melaporkan kecurigaannya pada ketua RT setempat.

Desas-desus tentang kabar kehamilan Vita semakin santer dipergunjingkan warga sekitar. Aku mencoba bersikap biasa saja, berusaha untuk tidak menimbulkan kecurigaan. Meskipun aku tahu, cepat atau lambat, berita tentang kebiadaban malam itu pasti akan terungkap.

Hingga suatu sore, ketua RT menyuruh kami bertujuh beserta orang tua untuk berkumpul di kediamannya.

Vita telah menceritakan semuanya.

Ibu Roy menjerit histeris setelah mendengar penjelasan ketua RT.

Sementara aku, menatap sedih wajah Ibu. Dia tidak menangis, tapi nampak jelas menahan kecewa sekaligus malu.

Ayah Ferdy mendaratkan tinju tepat ke arah wajah putranya.

Wajah Ferdy pias, keringat jelas membasahi wajah itu. Atau … air yang mengaliri pipinya adalah air mata? Entahlah.

Sementara Vita, dia hanya diam, tak lagi menangis. Mungkin air matanya sudah kering. Pandangannya kosong. Hanya sesekali mengangguk atau menggeleng menjawab pertanyaan ketua RT.

Kami diberi pilihan. Salah satu dari kami bertanggung jawab dengan menikahi Vita atau kami diberi denda dengan memberikan uang rutin kepada Vita setiap bulan sampai anak dalam kandungannya beranjak dewasa.

Di antara kami jelas tak ada yang menyetujui pilihan yang pertama. Bahkan Roy terang-terangan menolak. “Enak aja suruh nikahin barang bekas!”

Vita tertegun saat mendengar ucapan Roy. Jelas hatinya terluka.

Wajah Ibu pucat, kini matanya mulai dipenuhi lelehan air mata. Ia memelukku, erat sekali.

Tubuhku gemetar, membalas pelukan Ibu. Air mataku luruh tanpa bisa kutahan.


Ternyata keputusan yang diambil malam itu berdampak buruk bagi Vita. Gadis itu depresi. Beberapa kali mencoba bunuh diri, tapi selalu berhasil digagalkan oleh Ibunya. Ya, semenjak berita tentang Vita menyebar, Wanita itu membawa Vita untuk tinggal bersamanya.

Hingga suatu pagi. Dering telepon mengganggu kenyamanan tidurku. Nampak nama Ferdy dalam layar.

“Hmm … ada apa? Ganggu orang tidur aja!”

“Rey, gawat!” Suara Ferdy terdengar panik

“Kenapa?”

“Lo cepetan ke sini!”

“Kemana?”

“Rumah nyokapnya Vita! Vita, Rey ….”

“Vita kenapa?”

“Vita bunuh diri ….”

Mendengar ucapan Ferdy, aku segera bangkit dari tempat tidur, mencuci muka dan bergegas memacu kuda besi dengan kecepatan tinggi.

Sesampainya di rumah Vita, puluhan orang sudah berkumpul. Terlihat beberapa petugas sedang memasang garis polisi. Di sana juga ada Ferdy dan Roy. Wajah mereka sama-sama pias, mungkin tak jauh berbeda denganku. Ibu Vita menangis histeris bahkan beberapa kali jatuh pingsan.

Dari arah pintu depan yang terbuka, nampak beberapa polisi memasukkan jasad Vita yang sudah kaku dan membiru ke dalam kantong jenazah. (*)

Musyrifatun, Seorang ibu rumah tangga yang suka mengisi waktu luangnya dengan membaca dan menulis, karena melalui dua hal tersebut ia bisa menambah ilmu, wawasan dan juga banyak teman. FB : Musyrifatun Darwanto.

Editor: Evamuzy

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata.

Leave a Reply