Bukan Rumah Impian
Oleh: Monica Silvi Arinta
Bug!!!
Punggungku terasa ngilu saat ada buah salak yang terlempar. Kulihat Ibu sudah melotot ke arahku.
“Disuruh masak nasi dari tadi nggak didengerin,” kata Ibu sambil menunjuk ke arahku.
“Iya, Buk.” Aku bergegas ke dapur, menanak nasi sebelum Ibu marah lagi. Tak terasa ada yang menghangat di ujung mata. Kuusap perlahan, tak ingin Ibu tahu. Sakit di punggungku tak sebanding dengan luka hati yang selama ini aku rasakan.
Kulihat Ibu sedang mengelus perut yang sudah membesar. Ibu tampak bahagia. Aku juga bahagia karena sebentar lagi akan mempunyai adik baru.
———
Namaku Sinar. Umurku tujuh tahun dan sekarang aku duduk di bangku SD. Aku dibesarkan oleh ibu dan bapak yang tegas, mereka mengajarkanku tentang kerasnya hidup. Sekolahku tak jauh dari rumah, dua puluh menit mungkin sudah sampai jika ditempuh dengan jalan kaki. Hanya saja jalanan yang naik dan berkerikil membuatku berkeringat saat sampai di sekolah.
————-
“Sinar, bangun udah siang. Nanti ketinggalan,” ucap Ibu dari balik pintu kamar.
Aku mengerjap sebentar. Lalu berusaha bangun.
Namun, tiba-tiba Ibu menarik kasar rambutku dan dihantamkan ke tembok beberapa kali. Aku yang setengah sadar, hanya bisa menahan perih di kepala, yang kulakukan hanya menangis. Aku takut, dengan ibuku sendiri.
“Kamu ini, susah sekali dibangunin. Bapak sama anak sama aja, gak ada yang bener!” hardik Ibu, lalu pergi.
Pusing sekali rasanya kepalaku. Aku segera bangun, dengan cekatan, lalu mandi.
Aku sudah rapi dan bersiap berangkat sekolah. Kucari Bapak untuk mengantarku.
“Bapakmu belum pulang dari kemarin, kamu jalan kaki aja. Nih, buat jajan,” Ibu seperti tahu jika aku sedang mencari Bapak.
Ternyata Bapak belum pulang. Mungkin ini yang membuat Ibu marah-marah, dan melampiaskan kekesalannya padaku.
“Iya, Bu,” jawabku, sambil mengambil uang saku, lalu berangkat.
Aku berjalan menyusuri jalanan berkerikil, keringat sudah bercucuran di pelipis. Setidaknya dengan pergi ke sekolah, aku bisa menghindari amukan Ibu.
—-
Setelah pulang sekolah, aku segera mengganti pakaian. Niat hati ingin mengisi perut yang sejak pagi belum terisi. Aku lupa belum membayar uang kas, jadi terpaksa uang jajanku untuk membayarnya.
Aku membuka tudung saji, tetapi tidak ada apa-apa. Hanya nasi tanpa lauk. Aku melangkah dengan malas masuk ke kamar. Lapar sekali rasanya perut ini. Mungkin aku bisa minta makan di rumah Nenek. Memang rumah Nenek tidak jauh, hanya terhalang jembatan.
Aku masuk ke kamar Ibu, kulihat Ibu sedang tertidur. Kugoyangkan sedikit tangannya agar bangun.
“Bu, aku mau ke rumah Nenek.”
“Ya,” jawab Ibu, tetap menutup mata.
Aku bergegas ke rumah Nenek. Kulihat ia menyapu halaman, ia menatapku sambil tersenyum. Kemudian diletakkannya gagang sapu itu di dekat pintu.
Nenek mengelus kepalaku lembut, mengusap dahiku yang merah akibat insiden tadi pagi. Nenek sangat berbeda dengan Ibu. Aku nyaman di dekatnya.
“Nek, mau makan.”
“Ibu nggak masak?” tanya Nenek beranjak ke dapur mengambilkanku makan. Aku hanya menggeleng.
“Ya sudah, makan yang banyak,” ucap Nenek sembari duduk di kursi dekat aku makan.
——–
“Sinar!!” teriak Ibu.
Aku hanya menunduk, tak tahu apa yang membuat Ibu marah. Sepertinya aku tidak melakukan apa-apa, tetapi kenapa Ibu melotot?
“Kamu ini, maiiin terus kerjaannya!” Ibu menarik telingaku dengan kasar. Aku meringis menahan sakit serta panas.
“Sakit, Bu.”
“Biarin, kamu ini persis dengan bapakmu. Keluyuran aja bisanya.”
Aku hanya menangis, sambil memegangi telingaku yang terasa seperti mau copot. Kakiku gemetar, menahan takut. Tak mampu melawan sedikit pun, aku hanyalah gadis kecil yang selalu menerima kekerasan dari ibuku sendiri. Bapak? Ia tak pernah membela sedikit pun saat tahu Ibu memaki, bahkan memukulku.
Aku lelah dengan keadaan ini. Sulit sekali mendapat kebahagiaan, layaknya keluarga kecil lainnya.
Aku melangkah ke dapur, menatap lekat botol yang berisikan cairan. Entah itu apa, yang kutahu cairan itu biasa Ibu gunakan untuk meracuni tikus yang suka berkeliaran di rumah.
Aku membuka tutup botol, perlahan kuteguk cairan di dalamnya. Aku merasa tubuhku menegang, tenggorokanku sakit, dan setelah itu aku tidak merasakan apa-apa. (*)
Malang, 04 Juli 2020
Monica Silvi Arinta, seorang ibu rumah tangga yang suka mengisi waktu luang untuk membaca dan menulis, dan masih perlu banyak bimbingan.
Editor : Fitri Fatimah
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata.