Sahabatku, Mirna
Oleh : Ardhya Rahma
Sore itu, cuaca cerah. Jalanan di depanku juga ramai seperti biasa. Aku menemani Mbak Mirna, sahabatku, yang sedang berjualan. Bukan berjualan di toko, melainkan di emperan pos satpam. Mbak Mirna berjualan kacang rebus, kacang goreng, keripik singkong madura, dan rokok.
Aku memang sering menemani Mbak Mirna berjualan. Biasanya sepulang les, aku mampir ke pos satpam tersebut. Kadang, kalau ada PR yang nggak bisa kujawab, aku akan mampir, minta tolong pada Mbak Mirna. Namun, sering juga aku cuma menemani mengobrol. Aku kasihan melihat dia termenung sendirian. Seperti sore ini.
“Beneran itu arti namaku?” Mbak Mirna terlihat masih sangsi mendengar perkataanku barusan.
“Iya, Mbak, Mirna itu artinya tenang, kalem, dalam bahasa Serbia … makanya sering dipakai untuk kasih nama ke anak cewek dengan harapan anaknya jadi wanita cantik dan anggun. Itu kata bapakku loh, kalau nggak percaya bisa tanya langsung ke Bapak,” tukasku.
“Nggak usah, aku percaya kok. Kan Pak Irvan memang pernah tinggal di sana. Jadi pasti mengertilah bahasanya,” ujar Mbak Mirna dengan muka semringah.
Alhamdulillah, aku berhasil menghibur Mbak Mirna yang tadi terlihat bersedih. Entah apa sebabnya, ketika pulang les, aku melihatnya termenung. Aku yang tidak berencana singgah, akhirnya menyempatkan diri mengajaknya mengobrol.
***
Mbak Mirna adalah sahabat sekaligus tetanggaku. Aku menyebutnya tetangga karena rumah kami berdekatan, meski tidak satu kompleks. Rumahnya ada di ujung gang, di luar kompleks rumahku. Gang rumahnya yang ada di balik tembok tinggi kompleks perumahanku.
Sebenarnya, rumah Mbak Mirna tidak bisa dibilang rumah, sih, karena ukurannya cuma sepetak. Sedihnya lagi, rumah sepetak itu mesti ditinggali delapan orang. Tidak terbayang sempitnya ruangan seluas 4×5 mesti diisi delapan orang. Kalau kamu bertanya di mana dapur dan di mana kamar, aku juga tidak bisa menjawab. Rumah itu hanya terbagi dua ruangan. Ruangan pertama sempat kukira sebagai kamar, karena hanya ditutupi gorden. Sementara ruangan lainnya adalah sebuah ruangan terbuka yang diisi kompor kecil, satu meja dengan alat makan di atasnya, dan satu lemari plastik yang kutebak isinya adalah pakaian.
Mbak Mirna adalah anak ketiga dari enam bersaudara. Bapaknya, Pak Mat, adalah tukang angkut sampah di kompleks perumahanku. Dia dibantu anak keduanya. Ibunya, Bok Siti, berjualan kacang rebus, kacang goreng, dan rokok di pinggir jalan depan pos satpam dekat balai RW. Biasanya Mbak Mirna yang sering membantu jualan, apalagi kalau adiknya yang masih bayi rewel, otomatis Bok Siti menjaga adiknya di rumah.
Sebenarnya kalau tetap sekolah, Mbak Mirna saat ini sudah kelas dua SMP. Namun, karena keterbatasan biaya, Mbak Mirna putus sekolah sewaktu masih duduk di bangku kelas lima SD. Mbak Mirna memilih tidak sekolah agar dua orang adiknya yang duduk di kelas enam SD dan dua SD bisa tetap sekolah. Selain itu, sepertinya Mbak Mirna minder dengan kondisi kakinya yang cacat akibat virus polio. Jadi daripada sering di-bully karena cacat dan sering telat bayar SPP, sekalian saja keluar dari sekolah.
Sayang sekali, padahal Mbak Mirna anak yang cerdas. Dulu, ia pernah menunjukkan rapor sekolahnya padaku dan kulihat semua nilainya berada di atas delapan. Luar biasa, kan?
Sayangnya, ketika berada di kelas enam, aku mesti pindah rumah. Sekarang, nggak ada lagi acara ngobrol dengan Mbak Mirna. Dan yang lebih membuatku kehilangan sosoknya adalah … sekarang tidak ada lagi yang membantu aku mengerjakan PR kalau aku kesulitan.
Hari berganti minggu. Minggu berganti bulan dan bulan berganti tahun. Tak terasa aku kini sudah duduk dikelas tiga SMP. Sebentar lagi ada ujian kelulusan. Aku semakin rajin belajar karena ingin masuk ke SMA favorit.
Alhamdulillah … akhirnya aku lulus SMP dengan nilai memuaskan. Hal itu membuatku diterima di SMA favorit. Pada saat membaca papan nama, aku melihat ada nama Mirna disana. Tiba-tiba saja timbul rasa kangenku dengan Mbak Mirna, tetanggaku dulu.
Keesokan harinya, dengan diantar Bapak, aku berkunjung ke rumah lama. Begitu sampai, aku langsung berlari, tak kupedulikan Bapak yang asyik ngobrol dengan tetangga. Pertama yang kutuju adalah deretan petakan rumah yang ada rumah Mbak Mirna.
Dengan semangat, kuketuk pintu sambil berucap salam. Terdengar ada suara wanita menjawab dari dalam. Ternyata itu Bok Siti, ibu Mbak Mirna. Setelah basa basi sejenak langsung aku tanyakan dimana Mbak Mirna berada. Karena kios depan pos sudah nggak ada lagi.
Mendengar pertanyaanku, raut wajah Bok Siti berubah jadi sedih. Dengan terbata-bata, beliau bercerita bahwa sebulan lalu, Mbak Mirna terserang sakit panas sampai kejang, membuat nyawanya harus terenggut oleh penyakit yang belum diketahui namanya tersebut sehari kemudian.
Badanku langsung lunglai mendengar cerita tersebut. Sungguh, aku tak menyangka takdir Mbak Mirna seperti itu. Selamat jalan, sahabat masa kecilku. (*)
Surabaya, 4 Juli 2020
Ardhya Rahma. Buku adalah benda yang selalu dibawa ketika travelling. Dua hobi yang membuatnya ingin menuliskan kisah hidup manusia yang ditemuinya dalam perjalanan. Bermimpi mempunyai buku yang sarat pesan namun ringan dibaca. Tulisan lainnya bisa dijumpai di Facebook Ardhya Rahma.
Editor : Devin Elysia Dhywinanda
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata