Pesan Singkat dari Rhue
Oleh : Vianda Alshafaq
Pernah suatu kali, ketika langit juga berwarna biru seperti saat ini, kita sedang berjalan-jalan di taman. Mengelilinginya yang sekilas seperti lingkaran dengan berjalan kaki. Melihat satu-dua bunga taman yang mekar dan layu. Ya, waktu itu bukan musim semi. Jelas saja tak banyak bunga yang merekah. Waktu itu, hari Minggu. Atau lebih sering kau sebut “hari kita”.
Hari itu, taman cukup ramai. Saking ramainya kita tidak mendapatkan bangku untuk duduk. Kau ingat, ketika kita hendak duduk di sebuah bangku yang kosong, seorang anak laki-laki kecil menghampiri kita.
“Kakak, ini tempatku dan Bunda. Kakak duduklah di tempat lain.”
Itu kalimat bocah laki-laki yang kutaksir umurnya sekitar lima tahun. Kau sedikit kesal. Bahkan wajahmu menjadi cemberut seperti anak kecil. Dan, kau tahu, saat itu kau terlihat sangat menggemaskan. Entahlah, Rhue, setiap aku melihatmu bertingkah seperti itu—seperti anak kecil, aku selalu ingin tersenyum. Kau benar-benar lucu, persis seperti sepuluh tahun lalu.
“Sudahlah, kita cari bangku lain saja, ya,” bujukku agar kau tidak cemberut lagi. Walaupun sebenarnya aku candu melihat wajahmu seperti itu, tapi tak baik juga jika dilihat orang lain.
“Ayolah, semoga masih ada yang kosong,” ujarmu mengalah.
Kau kembali berjalan sambil menarik tanganku. Seperti biasa, kau akan berceloteh ini-itu, yang terkadang hanya kutanggapi dengan senyuman karena aku tak paham apa yang kau bicarakan. Kita tetap berjalan, menikmati semua hal yang bisa kita nikmati saat itu. Atau mungkin menikmati kebersamaan kita, lebih tepatnya.
“Zan, besok kamu kuliah?” tanyamu ketika kita berhenti di dekat sebuah lampu taman yang mati.
“Iya, memangnya kenapa?”
“Tidak ada, aku hanya ingin mengajakmu ke toko buku. Sudah lama, ‘kan, kita tidak ke toko buku? Kapan terakhir kali kita ke sana?”
“Rhue, kita baru dua minggu yang lalu ke toko buku.”
“Serius? Kenapa aku merasa sudah lama, ya?” Dahimu mengerut. Kau seperti sedang berpikir. Mungkin kau memikirkan apa benar kita ke toko buku dua minggu lalu.
“Memangnya kali ini mau cari buku apa?”
Mendengar pertanyaanku itu, wajahmu langsung cerah. Senyum manis seperti bulan sabit terbit di wajahmu. Ah, benar-benar manis. Senyummu selalu membuatku rindu, Rhue.
“Banyak. Tak bisa kusebutkan. Jadi, besok ke toko buku, ya?” pintamu memelas sembari bergelayut di tanganku.
“Minggu depan saja, ya. Besok aku kuliah sampai sore. Sepertinya tidak mungkin pergi ke toko buku setelahnya.”
“Yah. Aku kira kamu bisa karena bertanya seperti tadi,” ujarmu yang terdengar sedikit kecewa.
“Jangan cemberut begitu. Kamu tidak cantik kalau cemberut. Aku janji, minggu depan. Oke?”
“Ya sudah, tapi beneran janji, ya?”
Tentu saja aku serius dengan janjiku waktu itu, Rhue.
***
Rhue, apa kau merindukanku?
Sudah sebulan saja sejak hari itu—sejak aku berjanji akan menemanimu ke toko buku. Sudah sebulan juga kita tidak bertemu. Hari-hariku terasa sangat membosankan sejak perkuliahan kita diganti dengan sistem online.
Bagaimana denganmu, apa kau juga bosan, Rhue?
Aku masih ingat betul surat edaran rektor yang keluar dua hari setelah kita jalan-jalan ke taman. Kata Pak Rektor dalam surat edarannya, perkulihan online ini diberlakukan untuk mengantisipasi Corona Virus Disease 19 (COVID-19) yang sedang mewabah hampir di seluruh dunia. Semua kegiatan kampus dialihkan menjadi sistem online. Semuanya beraktivitas dari rumah. Kevin—sahabat kita—bilang pengalihan sistem kegiatan kampus menjadi online ini sama saja dengan liburan. Tapi, Rhue, menurutku pengalihan sistem ini adalah jurang yang akan menjauhkan aku dan kau, membuat kita tak bisa bertemu dan melepas rindu.
Rhue, rindu ini mulai mencabik-cabik hatiku di dalam dada. Rasanya aku ingin pergi ke tempatmu dan menebus rindu yang sangat menyesakkan ini. Rasanya aku ingin mengurai jarak untuk sekadar melihat senyummu, Rhue. Aku benar-benar merindukanmu. Bahkan pesanmu terakhir kali, dua minggu lalu, tidak bisa mengobati rinduku. Pesanmu benar-benar tidak berguna. Pesan itu hanya membuatku murung dan mengkhawatirkanmu. Pesan itu … benar-benar pesan kejam yang menghancurkan hatiku hingga berkeping-keping.
Kau ingat apa yang kau sampaikan dalam pesanmu dua minggu lalu itu, Rhue?
Hai, Hafzan. Aku merindukanmu, sungguh. Kamu masih ingat janjimu akan menemaniku ke toko buku? Tapi, janji itu tak usah kamu penuhi. Aku … tidak yakin kita akan bertemu lagi setelah ini. Meski sebenarnya aku berharap kita akan bertemu lagi. Zan, tetaplah jaga kesehatanmu. Jangan khawatirkan aku. Aku akan baik-baik saja, pasti. Entah aku akan berhasil melawan virus ini atau tidak, aku pasti baik-baik saja setelahnya. Zan, jangan terlalu memikirkan ini, ya. Aku tidak mau kekebalan tubuhmu juga menurun. Beristirahatlah yang cukup. Jangan lupa banyak minum dan berjemur di pagi hari. Kupikir selama masa karantina ini, kegiatan itu akan cukup membuatmu merasa lebih baik. Dan, yang paling penting, jangan lupakan Tuhan, ya. Jangan mengkhawatirkan aku, Zan. Aku akan baik-baik saja, percayalah. Mulai hari ini aku akan diisolasi. Jadi, tidak ada gunanya menghubungiku. Aku … mencintaimu, Zan.
Aku tidak tahu harus berkata apa setelah membacanya, Rhue. Sejumlah pertanyaan mengerubungi benakku. Bagaimana mungkin kau terkena virus berbahaya itu, Rhue? Mungkinkah kau mendapatkannya saat di perjalanan pulang ke Medan? Atau, mungkinkah kau mendapatkannya saat kau sudah berada di Medan? Ah, aku tidak tahu ada berapa banyak lagi kemungkinannya, Rhue.
Rhue, kau bilang aku harus berjemur setiap pagi. Dan, aku melakukannya. Kau benar, memang terasa menyenangkan dan sedikit membuatku melupakanmu. Maksudku, melupakan kekhawatiranku tentang kau yang sedang menghabiskan waktu-waktu membosankan seorang diri dalam ruang isolasi. Apa kau sudah membaik, Rhue?
***
Hari ini masih sama, Rhue. Masih membosankan. Aku hanya berkutat dengan tugas-tugas yang menggunung. Menatap layar handphone selama berjam-jam, tiada hentinya. Hal paling menyebalkan dari semua ini adalah ketika aku hanya mendapatkan jobsheet dan materi pembelajaran tanpa penjelasan dari dosen, Rhue. Kau tahu, ‘kan, bagaimana rumitnya rumus-rumus fisika serta pendalamannya? Aku tidak mengerti apa yang kupelajari sebenarnya, Rhue.
Rhue, tiga hari lalu aku mendapatkan telepon dari kakakmu. Aku tidak ingin menyebutkan kalimatnya lagi, Rhue. Aku … tidak sanggup mengucapkannya. Kakakmu menghancurkan duniaku. Kalimatnya seperti pisau yang dihunuskan ke jantungku.
Apa kau sungguh baik-baik saja setelah semua yang kau lewati, Rhue? Aku ingin mengunjungimu, mengantarmu ke lubang kelam yang akan menjadi tempat peristirahatanmu. Tapi, Medan dan Padang adalah dua kota yang terpisah jauh. Aku tidak bisa keluar dari kota ini. Sekalipun aku ingin melawan, aku juga tidak akan bisa mengantarmu. Kata kakakmu, kau hanya akan diantarkan oleh petugas medis sesuai prosedur penguburan pasien yang meninggal karena COVID-19.
Kau harus tahu satu hal, Rhue. Kau membawa hatiku bersamamu. Seperti hatiku yang kau kurung di lubang hitam itu, apa hidupku juga akan terpasung dalam lautan kerinduan ini, Rhue?(*)
Agam, 22 April 2020
Tentang Penulis:
Vianda Alshafaq, mahasiswa Kimia yang sedang lelah dengan tugas-tugasnya. Bisa dihubungi melalui akun Facebook : Vianda Alshafaq.
Editor : Tri Wahyu Utami
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata