Korban Korona
Oleh : Tiska Yuli Setiowati
“Jadi, apa yang mau kamu lakukan?” tanya sang wanita, melirik lelaki yang ada di sebelahnya.
Seorang lelaki dan perempuan sedang duduk menikmati secangkir kopi di hadapannya. Mereka duduk menatap jalanan yang sibuk dari balik jendela.
“Aku tak bisa begini terus,” ujar si lelaki, mengeluh.
Prasta Marjaya. Biasa dipanggil Tama. Seorang petugas kebersihan di salah satu rumah sakit rujukan pasien korban pandemi yang terpaksa tinggal jauh dari keluarga. Sama seperti tim medis lainnya, ia ikut menjalani prosedur isolasi dari rumah sakit tempatnya bekerja. Ia tak diperbolehkan pulang, bahkan untuk sekadar menemui anak dan istri, dan harus tinggal di rumah isolasi yang sudah disiapkan pihak rumah sakit.
Sudah dua purnama ia lalui seorang diri. Kerinduan pada sang istri telah menggunung, bahkan ia terpaksa menahan kebutuhan biologis yang memberontak minta haknya.
“Aku mau kabur dari sini,” ucap Tama setengah berbisik.
“Kamu yakin? Situasinya masih begini. Bahaya,“ cegah wanita berseragam sama sepertinya.
“Lebih bahaya lagi kalau hasrat ini tak segera terlampiaskan, Ras,” balasnya, menatap mata sang wanita. Menunggu reaksi dari lawan bicaranya.
Muka perempuan tiga puluh tahun itu memanas. Malu, membahas hal yang seharusnya tabu.
Laras, dia serupa Tama. Sudah beberapa bulan tak bisa pulang karena tuntutan pekejaan. Sebagai office girl di rumah sakit, dia juga harus melakukan isolasi.
Sebagaimana Tama, Laras pun selama ini menahan kerinduan pada suami dan anak-anaknya.
“Kamu yakin mau kabur dari sini?“
“Mau gimana lagi. Aku kangen sama istriku. Apa kamu juga nggak kangen … sama suamimu?”
“Iya, aku juga kangen sama mereka. Tapi … di rumah ada ibu dan anak-anakku. Aku nggak boleh egois. Aku takut kalau ternyata aku membawa virus dan menulari mereka.“
“Sebenarnya, aku juga takut, Ras. Tapi nggak cuma urusan kangen. Lebih dari itu.”
Laras tertunduk. Wajahnya merah padam. Dia tahu ke mana arah pembicaraan Tama.
“Ras, kamu mau bantu aku?” Hati-hati Tama bertanya. Wajahnya mengiba.
“Bantu apa, Tam?” Laras pura-pura bingung.
“Bantu aku menuntaskan hasrat ini. Aku udah nggak sanggup menahannya.” Tama menatap nanar wanita di hadapannya.
Laras, dia bukan wanita polos. Dia sangat paham kondisi yang dialami Tama. Sejujurnya bukan dia tak ingin. Beberapa kali, Laras bahkan membayangkan Tama bersamanya. Namun, sebagai wanita, dia punya harga diri. Malu jika harus mengakui perasaannya.
“Gimana dengan suami dan istri kita di sana?” Laras balik bertanya.
“Hanya kita yang tahu. Setelah pandemi ini berakhir, kita tutup semuanya. Kita kembali kepada pasangan kita masing-masing.”
Laras bimbang. Dia memang sangat menginginkan Tama. Namun, dia takut untuk memulainya. Khawatir jika suatu saat, itu akan jadi bumerang untuknya.
Malam itu, setelah semua ruangan sepi. Tama menyelinap ke bilik tempat Laras tidur. Tekadnya sudah bulat. Hasrat dalam dirinya harus terlampiaskan malam ini juga.
“Kamu yakin, Tam?”
“Kamu nggak mau?” Tama balas menggoda.
Dua raga akhirnya menyatu dalam pergumulan panas nan memabukkan.
Sejak saat itu, mereka semakin sering berhubungan. Bak pasangan suami istri, mereka tak sungkan saling minta duluan.
Kini, Tama dan Laras tak lagi gelisah di penampungan. Sekalipun jauh dari pasangan, kebutuhan biologis mereka tetap dapat tersalurkan.
Empat bulan berlalu. Pandemi pun berakhir.
Tak terasa, sudah enam bulan lebih sejak korona memisahkan mereka dari pasangan sahnya. Laras dan Tama akhirnya bisa kembali ke rumah masing-masing.
Laras baru sampai di depan pintu rumahnya, saat tiba-tiba badannya limbung. Bruk! Dia tak sadarkan diri.
***
Laras menatap sekitarnya penuh heran. Seingatnya dia sudah kembali ke rumah. Namun, kenapa ruangan ini tampak seperti rumah sakit? Di mana dia?
“Aku di mana, Mas?” tanya Laras pada Mas Jarwo, suaminya, yang sedang berdiri menatap luar jendela.
“Perempuan laknat. Anak siapa dalam perutmu?”
Mas Jarwo berteriak melampiaskan amarahnya. Dia menghunjamkan benda tajam ke tubuh istrinya. Puluhan kali, hingga sekujur tubuh wanita itu hampir penuh dengan tusukan.
Semua memerah. Darah menyembur, membanjiri seisi ruangan.
Malaikat maut menyapa. Laras akhirnya ikut menjadi korban korona.
Tama dan istrinya datang menghadiri pemakaman Laras. Dia sangat terkejut dengan apa yang dialami wanita selingkuhannya. Selentingan kabar yang ia dengar, suami Laras mengetahui bahwa Laras telah menduakannya hingga mengandung janin hubungan terlarang mereka.
Sepulang dari pemakaman, Tama mulai ketakutan. Khawatir jika suami Laras akan mencarinya.
“Kamu kenapa, Mas? Kok kaya cemas.” istrinya mendekat.
“Nggak papa. Cuma keinget Laras. Kasian dia.” Tama masih bersandiwara, menutupi semua dari istrinya.
“Mas, kalau aku ternyata seperti Laras, apa kamu mau maafin aku?”
“Maksud, kamu?”
“Aku juga sedang hamil, Mas. Maaf, aku khilaf. Aku capek nunggu kamu nggak pulang-pulang.“
Tama kejang-kejang. (*)
Tiska Yuli Setiowati, seorang ibu yang lagi senang ngomel-ngomel. Menulis adalah salah satu cara ngomel yang tidak berisik..
Editor : Devin Elysia Dhywinanda
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata