Déjà vu
Oleh : Rachmawati Ash
Sekian tahun yang lalu, aku pernah menyusuri padang ilalang ini. Dengan suasana yang sama, aroma yang sama. Aku mendengar angin sore yang menggerak-gerakkan setiap rerumputan yang tinggi. Di kanan-kiri menjulang pohon-pohon yang berdaun lebat. Aku berjalan pelan, sambil memperhatikan suasana yang teramat hening. Suara kicau burung nyaring memekik di telinga. Mataku menangkap panorama yang serba hijau. Ditemani batang-batang pohon yang berjejer rapi.
Di sini, tempat yang hening. Tetapi di sini tidak ada gelap yang membuat tubuh gemetar, atau binatang-binatang buas yang menakutkan. Aku mendengus, berjalan semakin pelan. Aku masih terus mengikuti arah jalan kecil, yang rapi dengan batu-batu kali yang tidak beraturan. Lalu, Aku menemukan sebuah sumur.
Aku melihat seorang wanita paruh baya, menimba dan mengumpulkan air yang bening pada ember besar-besar. Wanita itu tersenyum dan melambaikan tangan kepadaku, seperti memanggil untuk membantunya dengan urusan air itu. Tidak peduli apa maksudnya, aku berjalan ke arah wanita yang menimba air di sumur.
“Boleh saya minta tolong?” Wanita itu bertanya sebelum aku sempat memberinya senyum.
Terpaksa aku melepar senyuman, berusaha menghapus tanda tanya di wajahku.
“Tentu, Ibu boleh saya bantu sampai embernya penuh semua.” Aku mengambil tali pengait, melemparnya ke bawah. Setelah timba terisi penuh, aku menariknya perlahan tetapi penuh dengan tenaga. Wanita itu tidak beranjak dari tempatnya semula, matanya bergerak mengikuti jalannya pengait dari bawah sampai aku menuangkannya ke ember. Aku merasa pernah melihat wanita ini. aku merasa pernah dekat sekali.
“Apakah kita pernah bertemu?” Aku bertanya pada wanita yang mengikat cempol rambutnya. Wanita itu tersenyum dan menggeleng.
“Masa? Mungkin kamu salah orang?” jawabnya sambil menggeser ember yang masih kosong, agar mendekat ke arahku.
Aku masih menarik tali ke atas dan ke bawah. Sesekali, melemparkan timba ke dasar sumur, lalu menariknya kembali ke bibir sumur. Menuangkan air ke ember. Mendadak ada pikiran buruk sangka dalam benakku. Aku mengamati wanita di belakangku, menyelidik dengan saksama. Aku mencoba mengingat-ngingat di mana aku pernah bertemu dengannya.
“Kenapa Ibu mengambil air di sumur ini? Bukankah di desa banyak sumur?” Aku mulai menyelidik, sedang pikiranku penuh pertanyaan.
“Huft, itulah. Sejak orang-orang kota yang menggunakan mobil itu datang ke desa, kami menjadi sulit mendapatkan air bersih.” Wanita itu menghela napas.
Wanita itu duduk di atas penampung air berwarna biru, menyeka keringat di dahinya. Seorang anak kecil datang bersama beberapa remaja usia belasan tahun. Anak laki-laki berambut keriting itu berlari girang, lalu jatuh di pelukan ibunya. Aku mengernyit, aku seperti pernah melihatnya, entah kapan, entah di mana. Kepalaku agak pening, berusaha keras mencari jawaban yang seolah hilang dari otakku. Anak-anak usia belasan tahun, ada yang laki-laki ada juga perempuan, mengisi penampung air dengan gayung.
Tiba-tiba aku mengingat sesuatu, seolah bisa melihat apa yang akan terjadi setelah ini. Anak kecil berambut keriting itu akan kehilangan ibunya untuk selama-lamanya. Aku seolah tahu, setelah ini akan datang gerombolan orang-orang berbadan besar, berbicara kasar, meminta wanita dan anak-anak itu pergi. Aku seperti merasakan kejadian yang lalu, saat orang-orang kota berusaha menguasai desa dan hutan sekitarnya. Mereka datang dan bernegosiasi dengan warga, untuk membeli tanah mereka, lalu berencana menjadikannya peternakan sapi dan pabrik susu.
Aku mencoba mengingatkan mereka agar tidak terjadi sesuatu seperti yang kulihat sebelumnya.
“Bu, apakah pernah ada orang yang datang kemari untuk mendirikan pabrik susu?” Aku memancingnya, siapa tahu aku mendapat jawaban dari rasa penasaranku.
“Apa yang kamu katakan? Aku tidak paham.” Dia sama sekali tidak peduli dengan pertanyaanku.
Wanita itu beranjak, mengambil penampung air dan menggendongnya di punggung. Anak laki-laki berjalan membuntutinya, sedang anak-anak lain berebut jalan saling mendahului. Mereka pulang ke desa dengan menggendong penampung airnya masing-masing.
Tinggal aku sendirian di tempat ini, ingatanku justru semakin mengembara. Aku melihat ke sekitar, pohon-pohon yang besar, lalu sejauh mata memandang terhampar padang ilalang. Agak jauh dari padang ilalang mataku menangkap bangunan-bangunan yang terlihat seperti rumah penduduk. Astaga, aku ingat! Iya, aku mengingat kejadian itu. Saat orang-orang kota datang dan membakar hutan di sekitar. Lalu meracuni sumur warga desa agar terjebak dalam wabah penyakit. Lalu, siapakah aku? Apakah anak kecil itu adalah aku? Wujud dari ketakutanku yang selama ini hidup dalam benakku. Ah, kepalaku pening. Aku ingin minum air yang segar dalam sumur itu, tapi, aku takut. Ya, aku memang selalu terbiasa dengan rasa takut. (*)
Rachmawati Ash. Hobi travelling dan mencoba kuliner yang unik.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata