Apa yang Berharga?
Oleh : Ning Kurniati
Lira mulai panik mendapati Nina menangis tak karuan. Ini pertama kali bagi dirinya dan ia tidak tahu mesti berbuat apa. Dipandanginya anak itu dengan iba dan pelan-pelan air matanya juga mengalir. Mereka sama-sama menangis sekarang.
Namun, mendadak Nina berhenti. Bayi mungil itu anteng menatapi ibunya. Di pipinya ada sisa bekas air mata. Seadainya ada penerjemah ekspresi bayi, maka ia akan mengatakan, Nina penasaran kenapa mamanya menangis.
Sebab mendapati mamanya diam, bayi itu kembali ke kelakukannya yang suka tersenyum dan sekali-kali menjulurkan lidah, seolah hal itu bisa menghibur bagi sang mama yang menangis. Tangan ia main-mainkan di depan wajah dengan kaki yang ia tendang-tendangkan. Melihat itu kepanikan Lira berangsur-angsur reda. Kemudian, ia mengusap jejak air di pipinya, lalu pipi anaknya, lalu menciuminya. Ia tersenyum.
Lira ingin sekali membagikan kejadian ini pada teman-teman di media sosialnya: Facebook, WhatsApp, atau Instagram. Setiap hari sudah pasti mereka nantikan bagaimana kehebohan Nina atau keimutan wajah bayi itu ketika sedang lelap. Namun, hal itu tidak bisa ia lakukan sekarang sebab ponselnya tidak lagi memiliki kemampuan untuk berbagi gambar. Setelah ditukar dengan beberapa lembar uang sekitar dua bulan yang lalu, kini ponselnya hanya bisa digunakan untuk membuat atau menerima panggilan dan pesan. Namun, Lira seorang yang sudah terlatih menerima keadaan termasuk ketika ditinggal ayah Nina. Ia pun bisa menerima. Toh, dunianya sekarang bukan tentang ponsel lagi, tetapi tentang Nina bisa tersenyum dan bagaimana mereka bisa melanjutkan hidup.
Puas bermain-main, begitu pikir Lira, bayinya terlelap. Inilah keadaan yang paling ia senangi. Anaknya bisa lelap dan ia pun bisa membebaskan pikirannya dan mengerjakan hal-hal lain. Diedarkannya pandangan yang dibatasi tembok ruangan seluas 5m x 7m. Ia tersenyum dengan mata yang dipenuhi cairan bening, tak ada yang bisa dilakukan, ia kemudian minum tiga teguk air putih.
Setelah minum, gelas itu diletakkan di sudut ruangan bersebelahan dengan galon kosong. Ia mencermati gelas itu sebentar dan mengelus-elus layaknya harta berharga. Kemudian, ditariknya napas dalam-dalam dan membuangnya dengan pelan-pelan, walaupun masih terasa sumpek. Ia memutuskan keluar kamar setelah memastikan Nina masih terlelap.
***
Berdiri di luar, ia merasa bingung mesti melakukan apa. Akhir-akhir ini ia memang selalu merasa begitu. Dia memperhatikan sinar matahari yang menerpa kaki putihnya. Kemudian, sebuah ide muncul, ia memutuskan untuk berjalan-jalan sampai ke mulut gang untuk meregangkan otot, lalu kembali. Bagaimanapun, Nina tidak mungkin ditinggal lama-lama.
Di perjalanan, dia melewati kamar kontrakan dan rumah-rumah yang besarnya tak seberapa. Setiap orang yang berpapasan dengannya diajak tersenyum. Lira menanyakan kabar mereka, kabar anggota keluarga yang ia juga kenal. Bagi orang-orang, Lira memang wanita hebat dan tangguh, masih bisa tersenyum setelah ditinggal suami yang bahkan sudah pergi sebelum melihat anaknya lahir.
“Lira!” sapa Bu Ros. Lira yang hendak masuk ke kamar kontrakannya pun berhenti.
“Bu Ros, dari mana, Bu?”
“Dari beli bakso, nih. Bakso ini enak, loh. Beda dari yang lain.”
“Masa, Bu? Penjualnya baru, ya?”
“Iya, katanya, sih. Mas itu dari Bandung.”
“Oh ya, kapan-kapan, deh, saya beli, Bu.”
“Iya, pokoknya kamu mesti beli, weeenak pollll.”
“Iya, Bu. Terima kasih.”
“Sama-sama. Aih, Ibu ndak lakuin apa-apa, loh.”
“Ibu kan barusan memberi saran ke saya.”
“Ah, kamu itu, sudah ya, Ibu mau pulang, belum masak.”
“Iya, Bu.”
Ditinggal Bu Ros, Lira masuk ke rumah, mendapati Nina yang masih terlelap. Ia kemudian duduk di sisi anaknya, memperhatikan setiap tarikan napasnya, ia pandangi wajah itu lekat-lekat. Wajah yang tak pernah membuatnya bosan.
Lira kemudian beringsut ke sisi lain, mengambil dompet dan mengecek. Sama seperti terakhir kali dibuka, dompet itu melompong. Ia menarik napas keras-keras.
Detik berikutnya, secara tak sengaja ia melirik gelas yang berdampingan dengan galon, ia hendak meraihnya, tetapi ia mendengar ketukan dari luar. Segera ia berdiri dan membuka pintu. Seorang lelaki kira-kira berusia tiga puluh sedang melepas sepatu seperti hendak masuk. Ketika melihat wajah Lira, laki-laki itu mencoba tersenyum … sebaik mungkin.(*)
13 Juni 2020
Ning Kurniati, penulis pemula.
Editor : Tri Wahyu Utami
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata