Mama dan Masalahnya
Oleh : Ning Kurniati
Mama sangat menyukai laki-laki gembrot itu. Entah kenapa.
Setiap pukul enam sore, dia akan duduk di depan televisi menantikan gambar laki-laki itu muncul dengan omongannya yang heboh dan makanannya yang menggoda selera. Mulanya, Mama tidak terlihat terpengaruh, dia seolah hanya fokus pada rupa laki-laki itu. Waktu berjalan. Suapan dan suapan terus bertambah. Gambar makanan diperbesar-diperkecil. Mama makin terlihat menahan diri. Ekspresinya makin tidak bisa diartikan. Akhirnya, dengan berat hati dia mengangkat kaki, menempelkan ujung jari kakinya pada salah satu tombol, dan gambar laki-laki itu berganti.
“Kapan kita bisa beli remote?”
Gelar wicara, pasangan suami-istri yang kaya tampil dengan seseorang yang mengaku sudah menjelajahi ratusan perempuan. Mama menyukai ini juga. Pasalnya, laki-laki itu bisa bikin ketawa orang dengan ketidakjelasan omongannya.
“Kapan kamu menikah?”
“Kapan-kapan saja.”
“Masa kamu kalah dengan orang yang omongannya saja tidak jelas tapi bisa menaklukan banyak hati perempuan?”
“Ya, karena perempuan yang takluk itu, ya, begitu.”
“Begitu apa?”
“Ya, mungkin tidak jauh berbeda dengan dia.”
“Eh, kamu ini tidak boleh bilang begitu.”
***
Saya ke ruang sebelah, meninggalkan Mama dengan televisinya dan orang-orang yang dinantinya itu. Seperti biasa saya membuka Facebook—satu-satunya aplikasi media sosial yang bisa muat di ponsel saya—sekadar hiburan. Berselang beberapa menit kemudian, Mama memanggil.
“Lihat!”
“Apa?”
“Ya, itu kamu lihat, terus kapan-kapan kamu buat itu.”
“Saya tidak tahu caranya, bahannya tidak ada, alatnya juga tidak ada.”
“Itu enak, ya!”
“Hmm, kalau tidak enak tidak akan ditampilkan.”
“Sayang yah, kamu tidak bisa buat.”
Saya tidak menanggapinya. Saya tidak tahu harus berkata apa. Seperti biasa ketika beliau memberikan sindirin ampuhnya dengan cara menginginkan sesuatu. Mungkin, barangkali dengan cara itu saya akan tergerak untuk melamar perempuan, tetapi sayangnya tidak. Ingin sekali saya sampaikan begitu, tetapi takut. Bukannya ada kesepahaman di antara kami, yang ada malah beliau menjadi sedih hatinya. Tidak bisa saya berlaku begitu. Dia tinggal satu-satunya jalan tengah saya menuju surga.
Kami tinggal berdua. Saya anak tunggal sejak lahir. Pernah saya bertanya, apa dahulu ketika Ayah masih hidup, Mama pernah ingin memiliki anak lagi? Dan jawabannya tidak. Kenapa? tanya saya. Bukannya dahulu, ada pepatah “banyak anak banyak rezeki”? Mama menjawab, memang betul begitu, setiap makhluk di dunia ini sudah membawa rezekinya masing-masing sejak lahir. Namun, menurut beliau, dirinya tidak akan mampu bertanggung jawab, dan yah, harus melihat keadaan. Dalam hati saya mengatakan itu cocok dengan kata “realistis”.
Itulah juga yang terjadi dengan anaknya ini. Saya realistis dengan keadaaan. Saya tidak akan mampu membuat seorang perempuan bahagia.
***
Mama sudah bangun sejak pukul empat lewat. Dia salat dua rakaat seperti biasanya. Lalu, dia mengambil periuk. Lalu, dia ke bawah ke kolong rumah. Tak lama kemudian, bunyi air ditadah terdengar. Sesubuh ini Mama menjerang air. Mungkin persediaan air minum kami sudah hampir habis.
Merasa tidak enak, saya pun bangkit dari tempat tidur. Saya melaksanakan salat. Lalu ikut membantu dengan menyiapkan bekal yang akan kami bawa ke sawah.
Pertama-tama, beras saya cuci lalu memasukkannya ke penanak nasi. Setelah itu saya memetik daun kelor yang pohonnya berderet-deret di depan rumah, meski tahu ini bukan waktu terbaik untuk memetiknya. Maka, saya mengibas-ngibaskannya agar embun tidak lagi menempel.
Setelah masuk ke dalam rumah, saya lihat Mama sedang menyiapkan pisang untuk digoreng. Saya pun mengambil baskom kecil, lalu duduk tidak jauh darinya, memisahkan daun-daun kelor dari tangkainya. Kami tidak saling bicara, kami fokus pada pekerjaan masing-masing.
Inilah waktu-waktu terbaik kami. Begitulah menurut pemahaman saya, meskipun Mama tidak pernah berkata begitu. Namun, dari gerakannya yang gesit, saya tahu beliau bersemangat. Ada pekerjaan berarti ada masa depan. Ada harapan kami akan mendapatkan sesuatu. Beliau selalu bilang, apa yang paling penting selain beras dalam kehidupan? Bila beras sudah ada, untuk temannya bisa daun kelor, bisa daun kangkung, dan daun-daunan lainnya. Ikan atau telur, itu bonus.
***
Hari yang indah untuk menyongsong masa depan, pikir saya ketika mulai menanam anakan padi yang tingginya sudah sampai setengah betis. Hujan datang rintik-rintik. Namun, matahari tetap bersinar sedikit cerah. Anomali cuaca.
Setelah sepenggalah matahari naik, Mama bergerak ke rumah-rumahan yang berdiri di antara pematang sawah. Tak lama kemudian dia memanggil. Waktunya sarapan.
“Nanti, makanan apa lagi ya yang di makan laki-laki itu?”
“Siapa?”
“Ya, itu yang di TV,” katanya sambil mengunyah pisang goreng. Lalu, dia melanjutkan tentang artis-artis lainnya yang bagi-bagi uang dan gosip receh yang ditontonnya. Saya diam. Saya memandang sejauh pandangan mata.(*)
29 Juni 2020
Ning Kurniati, penulis pemula.
Editor : Lily
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata