Kobar Api di Kepala Mitri
Oleh : Dhilaziya
Perempuan yang tinggal di seberang jalan depan rumahku itu, senang sekali tertawa. Setiap kali dia bicara selalu berujung tawa di akhir kalimat-kalimatnya. Terkadang keras hingga gerahamnya terlihat, tapi lebih sering adalah kekeh yang hanya menampakkan barisan gigi depannya saja. Bicara kepada siapa pun, entah itu anak-anak, orang dewasa, orang yang sudah akrab, kerabat, bahkan kepada orang yang mengajaknya berbincang sekadar untuk bertanya alamat saja, pasti ada derai tawanya meningkahi percakapan mereka. Selalu gembira dan bahagia, begitu orang sekampung menjulukinya. Sehingga aku merasa aneh sekali melihatnya menangis, ndoprok di lantai ruang tamuku, tak henti-henti menyusut air mata, dan ibuku juga tak henti-henti mengelus-elus pundaknya.
Bukan aku tak pernah melihatnya menangis. Tentu saja ini bukan kali pertama atau kedua dia berurai air mata di hadapan ibuku, atau terkadang padaku juga—satu-satunya tetangganya yang paling dekat. Dulu, saat anak perempuannya yang paling kecil dihina-hina ayah mertuanya sebab berkulit paling gelap dibanding ketiga saudaranya, dia juga menumpahkan segenap derita hatinya di sini. Atau saat sudah menjelang magrib dan tak punya sebutir beras dan sepeser pun uang, ke rumah ini pula dia mengiba. Baginya, ibuku adalah orangtuanya, sejak dia harus pindah ke sini sepuluh tahun silam. Padahal, ada mertua dan tiga keluarga iparnya yang tinggal di kampung kami.
“Sembilan tahun, Bu. Lama sekali. Bulan lalu waktu saya membesuk, berbarengan dengan wisuda si Tari, dia sudah begitu kurus. Gelambir di lehernya begitu kentara.”
Meskipun tidak mengikuti perbincangan mereka sedari awal, sebab aku memang baru pulang kerja, aku bisa meraba ke arah mana percakapan ini. Pasti soal suaminya. Mungkin yang dia maksud, vonis penjara sembilan tahun.
Telah kudengar selentingan perkara Pak Wakhid, suami dari Bude Mitri, perempuan yang tengah menangis di ruang tamuku itu. Berita bahwa dia telah memaksa seorang perempuan menuntaskan hasratnya, menjadi kasak-kusuk paling riuh malam itu. Malam ketika Bude Mitri dan beberapa perempuan lain bersibuk-sibuk di dapur rumahku, membantu menyiapkan hidangan kenduri peringatan setahun meninggalnya bapakku. Aku benar-benar kaget waktu pertama kali mendengar perihal itu. Sebab meski jarang bertemu, Pakde Wakhid, begitu aku menyapanya, setahuku adalah pria yang santun dan baik hati. Selainnya, pria bertubuh gempal dengan kulit bersih dan senyum ramah itu lebih banyak menghabiskan hidupnya di Jakarta. Dia hanya pulang ke kampung menemui istrinya dua kali dalam setahun. Dulu dia bekerja di sebuah bengkel motor. Setelah dipecat sebab harus menunggui istrinya menjalani operasi caesar saat melahirkan anaknya yang paling kecil delapan belas tahun silam, Pakde Wakhid memilih menjadi tukang ojek. Nah, menurut para ibu-ibu itu, perempuan yang diperkosa itu adalah pelanggannya.
Masalahnya aku agak merasa sangsi. Pakde Wakhid yang kukenal santun sekali. Dia selalu amat ramah menyapa terlebih dahulu saban kali kami berpapasan. Setiap kali ada di rumah, saban pagi Pakde Wakhid menyapu halaman, juga samping kanan-kiri rumahnya; merapikan tunas-tunas pisang yang tumbuh tak beraturan; memotong ranting pohon nangka yang telah lapuk dan menjadi sarang semut hitam; atau juga membakar sampah aneka plastik dan perkakas rumah tangga yang tak lagi terpakai, hingga kadang membuatku ingin mengomel sebab membuatku kesulitan bernapas. Tapi selalu kuurungkan karena mengingat jarangnya dia melakukan semua itu.
Memang laki-laki itu tak pernah lama di kampung, paling hanya dalam hitungan sepekan dia mengunjungi keluarganya. Dan selama tujuh hari itu tak pernah kudengar Pakde Wakhid bersuara keras. Baik kepada istri ataupun anaknya. Bahkan, jika berdasar pada cerita mereka, Pakde Wakhid selalu memanjakan dan menuruti keinginan keluarganya. Ayah dan suami idaman. Jadi apa mungkin dia memaksa?
Perempuan yang sedang berkasak-kusuk, mana mau mendengar pembelaan semacam itu. Katanya hidup berjauhan dengan pasangan itu berat. Tidak punya teman berbagi dan berbincang. Belum hal-hal lain yang lebih pribadi, yang saat kutanya apa itu, mereka bilang aku masih belum waktunya tahu, nanti saja kalau sudah menikah, sekarang masih tabu. Tapi aku membantah, dua-duanya kubantah. Jika pun suami-istri itu dianggap menjalani kehidupan yang berat, toh nyatanya mereka telah sanggup menjalaninya selama lebih dari 25 tahun. Semua baik-baik saja menurut Bude Mitri. Dan soal aku belum boleh tahu karena aku belum pernah menikah, aku tolak dengan dalih biar belajar sebelum menjalankan. Kuujarkan itu sebagai bantahan karena menolak hengkang dari gelanggang perbincangan.
Tentu saja semua bisik-bisik durjana itu dilakukan saat Bude Mitri tidak ada di sekeliling kami, sedang melakukan hal lain di tempat lain yang kira-kira takkan mampu menangkap pembicaraan, dan segera berganti topik atau tiba-tiba menertawakan hal entah apa jika Bude Mitri muncul mendadak di area pergunjingan. Mungkin perempuan berdada besar itu memang tidak mendengar, atau tahu sedang digosipkan tapi memilih mengabaikan. Entahlah.
Sekarang di depanku, Bude Mitri lagi-lagi menyusut air mata. Tanpa peduli perbuatannya akan membuat yang seharusnya tertutup menjadi terbuka, dia mengangkat bagian bawah kausnya untuk mencoba mengeringkan wajahnya. Berupaya menahan isak agar bisa melanjutkan ceritanya.
“Keluarga Mas Wakhid nggak ada yang mau nengokin, Bu. Nggak ada seorang pun! Padahal yang tinggal di Jakarta atau Bekasi kan banyak. Selama ini Mas Wakhid selalu jadi andalan kalau mereka butuh tenaga, tapi, gara-gara kejadian ini, diundang syukuran wisuda si Tari saja tak ada yang mau datang!”
Perempuan itu menggerung. Dia lantas berkata betapa dia merasa sendirian. Keluarga suaminya tak peduli, dan keluarganya sendiri menyuruh Bude Mitri bercerai. Perbuatan ayah keempat anaknya benar-benar telah mencoreng nama keluarga.
“Belum lagi kalo ndengerin omongan orang, Bu. Katanya nanti anak-anak saya bakal kena karma. Anak pemerkosa, nantinya akan diperkosa juga. Atau bakal sengsara hidupnya. Saya nggak rela, Bu. Apa iya begitu?”
Haish! Seketika langkahku menuju ruang tengah terhenti. Ucapan binal yang diceritakan Bude Mitri barusan benar-benar membuatku jengkel. Kejam sekali mereka yang berujar demikian.
“Rasah dirungokke! Orang nanggung dosanya sendiri-sendiri. Jangan aneh-aneh.”
Ibu sekarang mendekapnya. Aku melihat kaca-kaca di mata ibuku. Mungkin yang beliau pikirkan sama denganku. Empat gadis yang pasti juga sedang dirundung pilu.
“Rencananya, selesai kuliah ini Tari mau dilamar, Bu. Calonnya sudah nggak sabar, dia janji tetep ngebolehin Tari kerja kalo sudah nikah. Saya juga setuju. Teman sekolahnya dulu, orang kampung sebelah. Anaknya Pak Mantan Lurah. Tapi gara-gara ini, Tari mundur, Bu. Nggak kuat mbayangin omongan orang. Gimana harus njawab kalo ada yang tanya, Bapaknya ke mana kok nggak jadi wali nikah? Mau cerita saya nggak sanggup, Bu. Keluarganya Mas Wakhid bilang ini kudu dirahasiakan.”
Merahasiakan bangkai? Mustahil.
“Padahal saya sudah sering ngingetin Mas Wakhid, hati-hati. Inget anak-anak kalo berbuat. Saya kasihan anak-anak. Disebut anak pedopil, Bu.”
Hah? Kok pedofil? Adakah yang salah kupahami? Aku duduk diam di dekat mereka.
“Mbak Siska, maaf, ya.”
Kali ini Bude Mitri meraung lagi, sambil menatapku. Aku mengernyit. Apa maksudnya?
“Yang dipaksa Pak Wakhid bukan orang dewasa. Tapi anak laki-laki kelas lima SD. Makanya dia takut kalau kamu tahu. Bude Mitri ingat bagaimana marahnya kamu ketika ada muridmu yang mengalami itu tahun lalu.”
Aku nyaris muntah mendengar penjelasan Ibu. Sementara Bude Mitri terisak kian keras.
Biadab!
Seluruh siluet kenanganku akan suami Bude Mitri berputar di depanku. Lelaki sekalem dan selembut itu? Tega? Astaga! Jutaan makian bergumpal-gumpal di mulutku meminta dilontarkan. Tapi aku tak tega melihat wanita yang meratap di depanku. Sekarang dia bahkan tersungkur. Menelungkupkan tubuhnya di lantai.
“Saya hampir gila setiap kali ingat wajah ibu anak itu, wajah anak itu. Saya nggak ngerti bagaimana Mas Wakhid tegaaa!”
Tidak, aku mencegah diriku membayangkan apa yang Bude Mitri katakan. Atau aku akan tak bisa tidur hingga beberapa malam. Mendampingi seorang siswaku yang mendapat perlakuan serupa, sudah membuatku hampir hilang kewarasan.
“Bukan saya yang salah, kan, Mbak? Bukan karena saya tidak selalu tersedia jika dia butuh, kan? Dia yang mau kerja di sana, lebih gampang cari uang katanya. Di awal-awal pindah ke sini, kami sudah mencoba jadi petani, tapi dia nggak betah dan milih merantau lagi. Bukan saya yang salah kan, Mbak, Bu?”
Bude Mitri bicara tanpa jeda setelah bergegas duduk dari posisinya sebelumnya. Matanya berpindah-pindah dengan cepat dari menatapku lalu ke wajah ibuku. Tangannya menggoyang-goyangkan tanganku dan lengan Ibu, bergantian.
Ibu sibuk menggeleng dan mengangguk meladeni kata-kata Bude Mitri. Air matanya juga berhamburan.
“Mbak Siska, kalo saya nggak mau cerai, nggak papa, kan? Dia emang salah. Tapi saya nggak tega ninggalinnya. Saya kasihan. Kalo saya pergi juga, dia sama siapa? Dia sudah nggak punya siapa-siapa. Saya tahu dia salah, tapi saya nggak tega, Mbak!”
Kami bertiga tak ada yang bicara. Bude Mitri masih saja menangis, Ibu masih saja membelai tangannya, dan aku masih saja diam, tak tahu harus berkata apa. (*)
#DZ. 26.06.2020
Dhilaziya. Perempuan penyuka sunyi, bunga, buku, dan lagu.
Editor : Fitri Fatimah
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata