Tuyul Jadi Manten
Oleh : R. Herlina Sari
Terlihat di depanku tumpukan lembaran berwarna merah dan biru. Sungguh hatiku menginginkan semuanya, tapi tangan ini tak bisa menggapainya. Bukan, bukan karena aku tak mau, melainkan raga ini tak mampu. Perjanjianku dengan pemilikku hanya selembar berwarna biru, tidak boleh lebih.
Pekerjaan ini kulakoni sudah lama, turun-temurun mengabdi di keluarga ini. Pak Adiguna, nama junjunganku saat ini. Merupakan keturunan keenam keluarga Adiyoso Hadiningrat.
Selama sekian dekade, sudah berapa ratus juta uang masuk ke kantong mereka. Aku mengambil, selembar demi selembar uang dari keluarga kaya. Tak ketinggalan juga keluarga miskin menjadi sasaran nafsu liarku.
Malam ini, aku bertugas di rumah keluarga Marsono. Penciumanku merasakan ada selembar uang menanti genggaman. Namun, ketika tubuhku memasuki rumah, terlihat sesosok wanita cantik sedang tidur. Wajahnya ayu, seketika membuatku terjatuh dan gemetar tak karuan. Apakah ini yang dinamakan ketakutan? Baru kali ini aku mengalaminya.
Aku segera lari, meredakan debaran jantung yang bertalu-talu, sampai terlupa akan tugas utama. Menarik selembar kertas untuk diberikan kepada tuanku.
“Ucil, mana setoranmu malam ini!” Raden Adiguna menyentak saat aku pulang dengan tangan kosong.
“Di rumah Marsono tidak ada uangnya, Den,” sahutku ketakutan. Aku menatap wajah Pak Adiguna, perlahan berjalan sambil membawa cemeti[1] amangrasuli. Cemeti yang sangat menakutkan. Bentuknya hitam legam dengan ukiran naga di sepanjang gagangnya. Ah, yang paling menyeramkan, tali yang keluar dari gagang menimbulkan percikan-percikan api. Jika tersentuh, bisa dipastikan tubuh ini akan melepuh.
“Kamu bohong! Marsono baru saja jual tanah, uangnya pasti melimpah.”
Ceplas … ceplas … ceplas ….
“Ampun … ampun, Den. Sakit …!” teriakku tertahan, luka cambukan itu terasa perih.
“Kamu sudah berani melanggar aturan! Rasakan ini!” Tangan Pak Adiguna tak berhenti mencambuk. Tanpa belas kasih.
Punggungku terasa perih. Baru sekali seumur hidupku pulang tanpa membawa imbalan. Namun, apa yang terjadi, Pak Adiguna menghukum tanpa punya hati nurani.
“Aku ingin berhenti, menolong manusia laknat tak punya hati,” batinku perlahan, mengharap ada setitik bala bantuan. Namun apalah aku ini, hanya seorang tuyul yang bekerja sesuai perintah. Tubuhku bergerak sendiri tanpa pengecualian. Kontrak laknat itu menjadi sebuah aturan. Tak bisa kubantah apalagi kulawan.
“Kamu bisa berhenti. Namun … dengan satu syarat.” Terdengar suara nyaring di telingaku. Seolah mendapatkan angin segar. Aku tak menolak kesempatan.
“Syarat … syarat apa yang harus aku lakukan?”
“Kamu, hanya perlu jatuh cinta untuk pertama kali.”
Mulai saat itu, setiap malam selalu kupandangi wanita cantik di rumah Marsono. Wajahnya yang menyejukkan ketika tidur. Senyumnya yang menawan ketika terlarut dalam mimpi. Membuatku selalu berdebar. Aku sedang jatuh cinta.
Tiba-tiba petir menggelegar, menerpa tubuhku. Dalam sekejap, tubuh tanpa ragaku lenyap digantikan dengan sosok lelaki gagah perkasa.
Kupandangi wajah baru, tubuh baru, pemberian dari entah siapa namanya. Aku mengucek-ucek mata, rasa hati tak percaya dengan tampilan di depan cermin. Wajah itu, sungguh membuatku terlena dan terpana.
“Siapa kamu? Aaah ….” Suara merdu wanita itu terdengar di telingaku. Aku menoleh ke arahnya, dia sedang menutup mata dengan kedua tangan lentik. Membuatnya terlihat semakin menarik.
“Ini … ini … pakai dulu selimut ini untuk membalut tubuhmu!” katanya kemudian sambil melemparkan selimut yang dipakainya.
Aku tertegun. Kaget. Memandang tubuhku ini. Ya Tuhan … ternyata aku berdiri tanpa memakai apa-apa. Celana putih andalanku—ketika masih menjadi tuyul—berceceran di lantai, robek menjadi lembaran kecil yang sulit untuk disatukan. Mukaku memerah, segera meraih selimut dan membungkus badan ini.
“Maaf … aku tidak sengaja. Tiba-tiba saja petir menyambar tubuhku dan menjadi seperti ini,” jelasku perlahan, berharap ia pengertian.
Aku masih berusaha menjelaskan kepada wanita di depanku. Tiba-tiba saja pintu terdobrak dari belakang.
Brak!
“Ada apa, Marni?” Pintu terbuka lebar menampilkan sosok lelaki paruh baya.
“Kamu apakan anakku, eh!” gertak lelaki itu sambil melotot. Wajahnya terlihat kaget, tak percaya akan apa yang ada di depan matanya.
Anak perempuan satu-satunya, satu kamar dengan lelaki setampan bintang Korea.
“Saya … saya tidak apa-apain anak bapak. Saya hanya kesasar di kamar ini terbawa petir.” Aku menjelaskan dengan nada gemetar. Keringat dingin keluar membasahi dahi dan wajahku.
“Aku tidak mau tahu, besok kamu harus menikah dengan Marni. Tidak ada alasan dan bantahan!”
Ooo … jadi namanya Marni. Lumayan, karena salah paham aku dinikahkan dengan gadis itu. Betapa beruntungnya aku ini.
Keesokan harinya, diiringi kicau burung perkutut, aku menikahi Marni. Sejak saat itu, aku memakai nama Kenzo.
Bahagianya aku, tuyul usil yang berubah wujud menjadi pemuda ganteng. Tuyul yang berhasil menikahi gadis kembang desa Sukipli.(*)
Sub, 26 Juni 2020
Keterangan:
[1] Cambuk; pecut.
Tentang Penulis:
RHS. Cecan dari Surabaya. Sering tersesat hingga tak tahu arah jalan pulang. Menulis baginya hanya sekadar untuk menjaga kewarasan, dari ganasnya aksara buta yang nantinya membentuk sebuah cerita. Tentang kita yang masih terbilang rahasia. Iya, rahasia sesuai singkatan dari namanya. Apakah kamu percaya? Sok pantengin aja wall FB-nya dijamin akan terpesona dari seribu arah mata angin. Hingga akhirnya tergila-gila.
Editor : Tri Wahyu Utami
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata