Tragedi Tewasnya Sang Idola
Oleh : Fathia Rizkiah
Seisi rumah besar itu panik. Nyonya kecil mereka, yang merupakan selebgram terkenal, dinyatakan menghilang secara misterius. Tak ada satu pun orang yang mengetahui di mana tempat terakhir gadis kecil itu berkunjung, bersama siapa, dan bagaimana kejadian persisnya si gadis menghilang.
Wanita berpenampilan sederhana yang diketahui adalah asisten rumah tangga si gadis, lekas melaporkan kehilangan ini ke polisi terdekat sebelum majikannya—orang tua sang gadis—pulang dan membentak-bentak seluruh pembantu yang bekerja di rumahnya. Lantaran tidak becus mengurus sekaligus menjaga anak semata wayang sang majikan.
Di saat salah satu melapor ke polisi, pembantu yang lain memberitahu sang majikan. Meski mereka semua ketakutan, menurut pembantu yang paling lama bekerja di sana, cara ini adalah cara yang paling baik daripada sang majikan mengetahui berita ini sendiri—mengetahui dari berita di TV atau media sosial. Prasangka seluruh pembantu benar, intonasi pria berusia empat puluh tahunan di seberang sana terdengar sangat menyeramkan, diiringi pertanyaan beruntun dari suara wanita. Malam itu juga keduanya pulang.
Suksesnya usaha sepasang suami istri itu membuat keduanya seolah diperbudak oleh usaha mereka sendiri. Yang mereka pikirkan setiap hari hanya bekerja, mengatur strategi agar usaha mereka semakin jaya, dan menghasilkan uang berlimpah. Keduanya tinggal di apartemen mahal berbintang lima yang jaraknya paling dekat dengan gedung usaha mereka. Mereka hanya pulang bila perlu, dan menghubungi putri semata wayang mereka jika rindu. Bagi mereka itu sudah cukup.
Setibanya di rumah, Toni lekas mengumpulkan seluruh pembantu dan membentaknya habis-habisan. Sejak di mobil Toni sudah tidak bisa menahan amarahnya, beberapa kali ia mengumpat dan merapal doa buruk untuk manusia yang sudah bertahun-tahun menjaga anak dan rumahnya.
Emosi Toni yang tak terkontrol membuat efek berbahaya malam itu, jalanan besar yang dipadati kendaraan seakan miliknya sendiri. Ia menancap gas penuh bila ada celah, dan membunyikan klakson berkali-kali kepada kendaraan yang menghalangi laju mobilnya. Suara teriakan Ayu yang ketakutan dan berkali-kali mencoba mengingatkan, diabaikan mentah-mentah. Toni seperti sedang kerasukan iblis! Kini emosinya tersampaikan dengan baik. Ada manusia yang bisa ia salahkan dan ada benda-benda yang bisa ia banting.
“Saya tanya sekali lagi, di mana Dea?!” gertak Toni.
Sebagian pembantu menggeleng takut, selebihnya menundukkan kepala dalam-dalam.
Toni menggebrak meja di hadapannya. “Bagaimana bisa kalian tidak tahu? Kerjaan kalian selama di sini ngapain saja?”
Hening, tak ada satu pun pembantu yang berani menjawab.
Kesal, Toni menarik taplak meja hingga seluruh benda yang ada di atasnya terbanting ke lantai.
“Saya mempekerjakan kalian bukan sekadar untuk membersihkan rumah, tapi juga untuk memperhatikan anak saya! Kalian pikir untuk apa saya mempekerjakan banyak pembantu kalau bukan untuk mengawasi keseharian anak saya?”
Ayu datang dari lantai atas, ia membawa segelas air putih. Diletakkannya gelas itu di atas meja kemudian ia membantu menenangkan suaminya. Toni menghela napas berat.
“Kalian saya pecat, malam ini bereskan semua pakaian kalian dan tinggalkan rumah ini,” ujar Toni sedikit melunak. Ayu membimbing suaminya duduk di sofa dan menyodorkan segelas air putih tadi.
Tak lama bel rumah berbunyi, Ayu bangkit menghampiri layar interphone. Seorang pria mengenakan masker hitam dan topi hitam berdiri tepat di depan layar kecil tersebut.
“Permisi, Bu. Kami dari kepolisian ingin memberitahukan informasi tentang perkembangan kami selama mencari anak ibu yang hilang,” ujar pria di depan.
Entah kenapa Ayu ragu, terlebih saat melihat penampilan pria di depan rumah yang kurang meyakinkan. Seperti seseorang yang sedang mengaku-ngaku, padahal sebenarnya tidak tahu-menahu. Ayu berpikir, mungkin saja pria ini sedang jahil, menekan beberapa bel rumah di kompleks tempat rumah Ayu berada, kemudian mengucapkan kalimat asal, setelah itu berlari sambil tertawa terbahak-bahak bersama teman-temannya.
Namun sepertinya tidak, mengingat kejadian ini masih sangatlah baru, tentu belum banyak orang yang tahu. Rasanya mustahil kalau orang lain tahu sebelum media sosial memberi tahu.
“Mungkin polisi sungguhan,” pikir Ayu. Ia melangkah ke pintu depan untuk menemui pria bertopi dan masker hitam.
Saat membuka pintu gerbang tidak ada siapa-siapa di sana, hanya ada sekotak kardus bekas air mineral dan … penggalan kepala putri mereka di atas kardus tersebut. Di sebelah kepala, tertempel secarik kertas bertuliskan “Mama, Papa, aku pulang”.
Sontak Ayu berteriak histeris, kemudian ia terisak. Toni datang, keningnya mengerut menahan pusing. Belum sempat menanyakan kenapa sang istri berteriak, tubuh Toni lemas, pandangannya lurus ke depan. Malam itu malam paling menyedihkan bagi keduanya, mereka menyaksikan putri semata wayang mereka yang ternyata sudah mati dimutilasi. Seluruh potongan tubuhnya dikemas rapi dalam kardus.
Di balik dinding, pria bertopi dan masker hitam tersenyum puas. “Mission completed,” lapornya melalui handy talky.
***
Di zaman yang semakin maju ini hampir seluruh manusia memiliki media sosial. Entah digunakan untuk belajar, sekadar mencari hiburan, pamer foto liburan, dan tak sedikit pula orang menggunakan media sosial untuk mencari uang. Dea salah satunya, berkat kemahirannya berpose di depan kamera, tak sedikit pengguna media sosial terpana dan tertarik untuk mengikuti media sosial Dea.
Pun dengan pedagang online, tak sedikit dari mereka meminta Dea untuk bekerja sama menjajakan barang dagangan mereka, dengan cara berfoto ria sambil memegang barang dagangan tersebut kemudian memuji kualitas barang sesuai bayaran yang diberikan. Hasilnya, tak sedikit pedagang online yang untung besar karena meng-endorse Dea.
Di balik ketenaran Dea, tanpa sepengetahuan siapa pun ia membuat akun baru dengan nama samaran. Akun keduanya itu dipergunakan untuk menyebar video hasil rekamannya sendiri tentang ketidak adilan orang-orang lemah yang ditindas.
Seperti halnya siang ini, saat melewati depan gedung sekolah swasta yang saat itu sepi, Dea memergoki dua manusia bertubuh gempal sedang memalaki pedagang kaki lima yang masih menjajakan dagangannya di sana. Keduanya terlihat mengamuk seperti orang gila, pasti pedagang itu tidak memberikan apa yang preman itu minta.
Dea pikir semua itu berlangsung hanya karena tempat itu sepi, ternyata tidak, saat ramai sekalipun tidak ada yang berani menghentikan aksi kedua preman bertubuh gempal itu. Bahkan satpam sekolah pun berlagak seperti tidak melihat, dan beranggapan hal seperti itu sudah lumrah terjadi.
Dea geram, tetapi ia tidak bisa berbuat apa-apa. Memberhentikan sama saja dengan melukai diri sendiri.
Kebetulan saat keributan berlangsung, di sana sedang ramai. Banyak sekali orang yang hendak menjemput anak-anak yang sedang bersekolah, berdiri menonton. Dea menyelip di tengah kerumunan. Di lengannya terlampir jaket hitam, yang hanya dikenakan bila sedang mengendarai motor. Di bawah jaket, tangan kirinya menggenggam sebuah kamera kecil yang sudah mulai merekam sejak ia turun dari sepeda motor. Diam-diam kamera kecil itu merekam semuanya.
Video pertama booming dalam jangka waktu dua hari saja. Banyak dari mereka yang ikut geram karena menyaksikan aksi kekerasan ini, terlebih saat tahu orang-orang di sekitar sana hanya bisa menonton tanpa berani membela.
Video ini di-posting kembali di beberapa akun penyebar fakta, dan beberapa stasiun televisi ikut menyiarkan berita ini, hingga pihak kepolisian bertindak lebih lanjut.
Merasa puas, Dea kembali mencari aksi kekerasan lain. Ia meminta bantuan orang-orang yang pernah melihat aksi serupa di sekeliling mereka, direkam secara diam-diam kemudian dikirim ke email samaran yang baru-baru ini ia buat. Respons yang didapat sangat baik, banyak sekali orang-orang mengirim video padanya.
Semakin lama video-video ketidak adilan semakin banyak, pengikut media sosial pun semakin bertambah. Semakin banyak video semakin banyak korban yang terkena imbas.
Di balik video-video trending itu, segerombol manusia-manusia murka berkumpul. Mulanya mereka melacak, mencari tahu siapa akun pertama yang menyebarkan video-video mereka. Bersamaan dengan itu mereka merancang rencana, apa yang harus mereka lakukan pada sang penyebar video?
Salah satu pria bertubuh besar berotot, memanfaatkan ototnya untuk memaksa orang-orang yang pandai meretas media sosial, agar mereka mau bekerja sama tanpa dibayar. Tak perlu terlalu menakut-nakuti, mereka menyutujui tawaran sang pria bertubuh besar.
Berkat bantuan sang peretas, media sosial dengan mudah tertebak. Penyebar video pertama adalah akun bernama Luis. Setelah digali lebih dalam lagi, nomor telepon yang digunakan akun ini bertempat tinggal di perumahan elite yang jaraknya tidak terlalu jauh dengan markas mereka. Salah seorang meminta informasi lebih akurat lagi, berapa nomor rumah sang pemilik nomor telepon, atau setidaknya di cluster apa pemilik nomor itu tinggal.
Sang peretas melacak lebih dalam, ia menyimak seluruh informasi yang masuk melalui pesan pribadi di nomor tersebut.
“Cluster Kejora blok A22 nomor tiga puluh lima,” ujar sang peretas.
“Itu rumah Dea, selebgram terkenal yang sedang naik daun,” ujar satu-satunya perempuan yang bergabung di sana. Dulu, ia adalah pembantu di rumah besar itu. Ia hanya bertahan satu bulan setelah itu dikeluarkan sambil dicaci maki. Ia dituduh mencuri perhiasan Dea, padahal, Dea sendiri yang lupa di mana ia meletakkan perhiasan tersebut. Kebenciannya yang sangat besar pada Toni dan Ayu membuat dirinya bertekad besar ingin membalas dendam.
Yang mendapatkan tugas investigasi langsung berdiri, mengambil kunci motor, dan menghampiri rumah tersebut. Mereka berpencar, sebagian menunggu dari kejauhan, beberapa yang lain menunggu di dekat rumah target. Pukul 11.00 seorang wanita paruh baya membuka pintu gerbang, seorang wanita keluar mengendarai sepeda motornya. Mereka yang sudah satu jam menunggu lekas bergegas mengikuti ke mana wanita itu pergi.
Beberapa orang menunggu di dalam markas, setelah mendapat informasi, mereka beranjak pergi. Tak lupa berbagai macam alat tempur dibawa, dikemas dalam sebuah tas tangan, siapa pun tidak akan menduga kalau isi dari tas itu adalah benda-benda tajam membahayakan. Kini saatnya, mereka siap membantai manusia pengharap perhatian.(*)
Tentang Penulis:
Fathia Rizkiah, pecinta kucing oranye yang tinggal di Kota Tangerang. Masih dalam tahap belajar, mari dukung ia dan berikan komentar yang membangun. Sapa Fathia di Instagram : @fath_vhat.
Editor: Tri Wahyu Utami
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata