Sang Cermin Penggerutu

Sang Cermin Penggerutu

Sang Cermin Penggerutu

Oleh : Venus

 

Detik kian beranjak menggapai menit, begitu seterusnya hingga tak terasa beberapa jam telah berlalu. Namun, kau masih saja bergeming, terpaku menatap bayangan diri sendiri sambil terus menceracau. Sesekali kau membetulkan anak rambut yang berantakan, lalu mengacak-acaknya kembali.

Aku sebenarnya ingin tertawa kencang saat umpatan-umpatan itu  kau serukan, tapi sayang, suaraku selalu tertahan kaca usang yang menjadi sekat di antara kita. Jadi percuma, kau tak akan bisa mendengarnya.

Kau menarik napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan seolah berusaha membuang beban yang mengganggu pikiran. Setelah itu, meraih benda pipih berlayar datar dari atas ranjang. 

Dan, lagi-lagi kau menggerutu tak jelas, lalu melemparkan benda itu ke ranjang, tapi kemudian kau ambil lagi. 

Setelah puas memainkan benda aneh itu, kau kembali mendekat kemari dengan raut wajah yang ditekuk. 

“Hai, gadis jelek, mengapa kau masih diam di situ!”

Aku tersentak karena ucapan barusan. Tidak mungkin kau menyadari keberadaanku, ‘kan? 

Aku memutuskan untuk beringsut mundur, bisa gawat jika kau benar-benar bisa melihatku. 

“Jika saja tulang hidungmu lebih mancung, juga terdapat lipatan di kelopak matamu, pasti kau akan sangat cantik. Ah, paling tidak wajahmu mulus, tak ada jerawat batu di pipi dan kening.”

Ah, rupanya kau berbicara sendiri lagi. Lagi pula, jika tahu aku di sini, kau pasti akan sangat terkejut.

Mendadak aku bergidik sekaligus merasa tak percaya dengan apa yang ada di depan mata. Jerawat-jerawat batu yang menyerupai benjolan tiba-tiba bermunculan, juga dengan kerutan-kerutan itu, wajahmu saat ini benar-benar mengerikan, jauh lebih buruk dari sebelumnya. Parahnya lagi, gumpalan merah keluar dari dalam dadamu secara tiba-tiba, lalu warnanya mulai berubah menghitam. 

Kau yang terkejut kemudian mengambil gumpalan tersebut, berusaha memasukkannya kembali ke dalam dada melalui sebuah lubang kecil. Namun, saat menoleh ke cermin, kau menjatuhkan kembali gumpalan tersebut, kemudian kembali menggerutu.

Sudah cukup, aku tak tahan lagi. Aku terlalu jenuh untuk mendengar keluh kesahmu yang tak berkesudahan. Segera kupukul kaca penyekat ini hingga hancur berkeping-keping, kemudian berusaha untuk melompat keluar dari sini.

Berhasil!

Ya, sekarang aku berdiri tepat di hadapanmu.

“SI-SIAPA KAU?” Kau bertanya sambil terus beringsut mundur.

Aku tersenyum, lalu memalingkan wajah ke belakang. Bayanganku dari permukaan cermin yang sudah retak masih terlihat jelas.

“Kau setiap hari berbicara padaku. Tidak mungkin kau tidak mengenaliku,” tuturku sambil terus mendekatimu.

Kau terdiam untuk beberapa saat, lalu memandangku dengan tatapan yang … entah, tak bisa kupahami artinya.

“Kupikir aku sudah gila karena melihat diriku sendiri keluar dari cermin.”

Aku tertawa, terus tertawa, sementara kau mengangkat sebelah alis layaknya orang kebingungan.

“Kurasa kau memang gila karena selama ini sering berbicara pada cermin.”

Kau tersenyum, kemudian mulai menanyakan perihal tujuan kedatanganku menemuimu. 

“Aku akan menggantikan posisimu. Aku lelah terus bersembunyi di balik kaca dan hanya bisa memperhatikanmu saat sedang menggerutu.”

Mimik wajah keheranan itu kau tunjukkan lagi. Sesaat, kau terdiam, kemudian mengalihkan pandangan ke cermin yang sudah retak itu sambil menarik napas panjang.

Satu tanganmu meraba-raba cermin, sementara yang lainnya memegangi lubang di dada yang makin lama makin melebar. 

“Bukan salahku jika aku terus menggerutu. Kau lihat wajahku, ‘kan? Ah, atau paling tidak kau bisa melihat wajahmu sendiri, ‘kan? Tidak proporsional sama sekali.”

Kau mulai menitikkan air mata. Darah kehitaman yang terus keluar dari dada kini berubah warna menjadi biru.

“Aku mau operasi plastik!” serumu tiba-tiba.

Kini, kau bersikeras ingin mengubah apa yang sudah kau miliki. Nafsumu untuk membuktikan pada dunia bahwa kau adalah gadis yang sangat cantik semakin besar. 

Entahlah, dadaku mendadak sesak saat kau mengucapkan itu. Ya, kau tak akan lagi menggerutu jika keinginanmu selama ini terwujud. Namun, jika kau benar-benar melakukan itu, maka aku akan lenyap dari ini. Aku tak mau hal itu terjadi.

Kuraih pergelangan tanganmu secara tiba-tiba hingga kau pun tersentak.

“Kau mau apa?”

“Kita bertukar posisi.”

Aku menyeringai, kemudian mendorong tubuhmu agar kau bisa masuk ke dalam kaca melalui celah-celah retakannya.

Tak butuh waktu lama, akhirnya kau sekarang sudah berada di dalam sana. Lagi pula, tanpa adanya gumpalan merah dalam dada, entah berapa lama kau akan bertahan di dunia dengan semua bisik-bisik yang selalu membuatmu pesimis. Namun, jika kau hanya berdiam diri di dalam cermin sambil terus menggerutu, kau akan bertahan meski pada akhirnya semua gerutuanmu hanyalah kesia-siaan.

“Daripada operasi plastik, harusnya kau mengoperasi hatimu saja!” desisku sinisku sambil meraih gumpalan merah kehitaman di lantai, lalu memasukkannya ke celah retakan cermin. Siapa tahu kau masih membutuhkannya, ‘kan? Atau keinginanmu itu jauh lebih penting dari gumpalan tersebut? (*)

 

Venus. Nama pena dari gadis kelahiran 20 tahun silam yang sejak sekolah dasar memiliki cita-cita menjadi seorang penulis. Jika membaca adalah kunci untuk membuka jendela dunia, maka menulis adalah cara agar kau bisa terlibat saat menjelajahi dunia. Jejak penulis bisa dijumpai di akun Facebook Venus, dan IG Veenus_31.

 

Editor : Fitri Fatimah

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

 

Leave a Reply