Laki-laki dengan Hati Berkarat
Oleh : Siti Nuraliah
Aku prihatin sekaligus miris melihat kondisi hidup Mang Sukarman. Tanpa istri tanpa anak, dan tanpa rumah yang layak sebagai tempat tinggal. Kesehariannya hanya dihabiskan di warung kopi sambil menyesap rokok kretek hasil mengutang. Tidak jarang, dia juga suka menyetel musik jaipong dari handphone keluaran zaman dulunya dengan sangat keras. Sungguh mengganggu. Sebab, bila malam hari–setelah dia kenyang mengobrol dengan siapa saja di warung kopi itu–obrolan yang tidak berfaedah, isinya hanya umpatan-umpatan kasar kepada saudaranya yang tidak lagi ingin menganggap dirinya keluarga, atau cerita-cerita fiktif buatan dirinya. Orang-orang di sana bukan tidak tahu dia sedikit ‘geser’, hanya mereka senang saja mendengar bualannya. Dia akan pulang ke gubuk dekat kuburan kampung di belakang rumah. Jalannya melewati pinggir rumahku. Suara dari handphone jadulnya memekik telinga, membangunkan siapa saja yang sedang tertidur pulas.
Perawakannya kurus, rambut gondrong sedikit gimbal, celana panjang hitam yang sudah bolong-bolong, baju compang-camping dan dengan kalung-kalung kayu yang menjuntai panjang di leher, serta cincin batu akik sebesar biji karet hampir memenuhi ke sepuluh jari tangannya selalu melekat. Disebut gila, dia bukan orang gila. Disebut waras, orang waras tidak akan pernah kepanasan setiap kali mendengar pengajian yang terdengar dari corong langgar di kampungku.
Pernah suatu malam, di langgar sedang berlangsung pengajian rutin mingguan untuk bapak-bapak. Materinya tentang manusia dan kewajibannya kepada Allah. Aku sering ikut mendengarkan isi pengajian itu di rumah. Pengajian dimulai dengan tawasul dan tahlil.
Mang Sukarman tidak suka mendengar suara dari corong langgar itu. Dia berteriak meminta pak ustaz menghentikan kegiatannya.
“Bersisik woi! Berhentiii!” teriaknya dengan sangat keras. Membuatku terlonjak kaget mendengarnya.
Padahal orang-orang di langgar tidak akan mendengar, sebab dia berteriak saat melewati rumahku hendak menuju ke warung kopi langganannya.
Aku pernah bertanya kepada Ibuku, tentang riwayat hidup Mang Sukarman sewaktu muda. Dia bukan tidak punya keluarga. Bukan tidak punya istri dan anak. Kata Ibuku, dia pernah berumah tangga di kota, berkehidupan cukup dan mewah. Namun, Mang Sukarman menjadi jemawa, dia mulai bergaya dengan berganti-ganti istri. Kawin cerai dengan banyak perempuan, dan meninggalkan banyak anak. Tanpa dinafkahi.
Dulu usahanya maju, menjadi tengkulak kelapa, pisang, gabah dan berbagai hasil kebun lainnya. Yang dibelinya dari petani kampung lalu dikirim ke kota.
Mang Sukarman juga terkenal tempramental kepada semua orang. Dia tidak pilih-pilih. Bahkan kepada istrinya sendiri. Masih kata Ibuku, setelah usahanya bangkrut, Mang Sukarman kembali ke kampung membawa istri dan dua anak-anaknya yang masih sangat kecil. Barangkali itu istri terakhir Mang Sukarman, sebab dari situ dia tidak terdengar menikah lagi. Entah memang dia habis modal atau karena sudah sangat tua.
Dengan istri terakhirnya itu, Mang Sukarman sering sekali bertengkar soal urusan ranjang. Hasratnya tidak pernah merasa kenyang. Aku merasa ngilu, saat mendengar penuturan Ibu.
“Istri Sukarman bilang sama ibu, dia dihajar habis-habisan saat tiga hari setelah melahirkan diminta melayani nafsunya. Sungguh biadab memang Sukarman.”
“Terus istrinya mau aja?” Aku meringis kasihan.
“Ya mau gimana lagi, diancam sama parang, katanya. Makanya setelah sebulan melahirkan, istrinya kabur, pulang ke Jawa sambil membawa kedua anaknya.” Tutur Ibu. Aku tidak ingin bertanya lagi. Namun Ibu masih melanjutkan ceritanya.
Waktu istrinya kabur, Mang Sukarman sedang sibuk menjual kebun peninggalan ibunya, setelah harta benda dia habis dijual satu per satu, dia mulai mengambil hak milik adiknya. Semua kakak dan adik-adiknya tidak bisa melarang. Karena tahu tabiat Mang Sukarman yang tidak bisa ditentang. keras dan selalu pasang senjata tajam. Dari pada nyawa melayang lebih baik harta yang hilang. Uangnya dia bawa ke kota. Setelah habis, Mang Sukarman akan kembali lagi ke kampung. Ibuku dan saudara Mang Sukarman tidak tahu persis uangnya habis untuk apa. Jika dipakai untuk buka usaha, barangkali ada hasilnya. Dipakai berjudi dan berfoya-foya mungkin, Ibuku menduga-duga.
Selalu begitu, pulang ke kampung menjual harta yang masih ada, dan balik lagi ke kota. Sampai tidak ada lagi yang tersisa. Gubuknya pun berdiri di atas tanah pemakaman. Mang Sukarman adalah salah satu contoh manusia yang paling miskin. Miskin harta dan miskin hati. Kualat kata Ibuku.
Waktu ibunya Mang Sukarman masih hidup, dia berkelahi dengan adiknya, Mang Sobri. Merebutkan harta warisan. Mang Sobari ditikam, tangannya dibacok dengan golok dan satu telinga Mang Sobri hampir putus. Beruntung, Mang Sobri masih bisa diselamatkan, dan sekarang kehidupan Mang Sobri lebih berkecukupan, berbanding terbalik seratus delapan puluh derajat dengan kehidupan Mang Sukarman. Sejak saat itu ibunya jatuh sakit karena ulahnya. Setelah ibunya meninggal, harta peninggalannya tidak ada yang tersisa.
Tetua di kampung kami sering menasihatinya, agar jangan menjual harta peninggalan orangtua. Apalagi untuk berfoya-foya. Lidah ibu itu bertuah.
“Hidupmu tidak akan pernah bahagia, Sukarman. Kamu telah banyak melukai hati banyak orang.” Itu kalimat terakhir yang diucapkan ibunya Mang Sukarman sebelum meninggal.
“Kamu lihat kan buktinya sekarang? Sukarman seperti hidup segan mati pun tak mau.” Aku terkekeh mendengar ucapan Ibu. Ternyata dia tahu juga istilah itu.
Mang Sukarman akhir-akhir ini memang sering terlihat batuk-batuk. Tubuhnya semakin kurus, herannya musik jaipong dari handphone miliknya itu tidak pernah berhenti diputar. Seperti sore tadi, saat seperti biasa dia lewat ke pinggir rumahku hendak balik ke gubuknya. Aku sedang menyapu di teras halaman rumah. Kuberanikan diri mengucapkan kata-kata yang sudah sejak lama bersarang.
“Sudah tua, Mang. Harusnya sudah ingat mati. Salat, mengaji, jangan bisanya berisikin kampung doang sama musik jaipongmu itu.”
Mendengar ucapanku, Mang Sukarman menghentikan kakinya, dia menoleh ke arahku. Sambil mengacungkan golok dia berteriak.
“Bicara apa kamu perawan tua!?” (*)
Banjarsari, 28 Juni 2020
Siti Nuraliah, perempuan sederhana penyuka sastra. Kadang suka menulis, kadang suka membaca. Penulis pemula yang selalu berusaha memperbaiki tulisannya. Bisa disapa melalui FB: Alya El-hamdanie Siddiq’Tc
Editor : Uzwah Anna
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata.