Menjelajah Isi Kepala
Oleh: Rachmawati Ash
Aku berbisik-bisik sinting. Aku menggigil di tengah matahari. Gejolak aneh yang runyam dalam dada tak bisa kusebut dendam karena aku tidak tahu siapa yang akan kumusuhi. Bagong telah merebahkan tubuhnya dengan paksa, membuatnya kenyang dengan rasa trauma, yang akhirnya mengantarkan Darti ke dunia lain. Kekasih hatiku kehilangan dirinya untuk selama-lamanya: setelah dijual oleh abangnya.
Secara persis belum bisa kubayangkan ketakutan Darti, dipaksa melayani lelaki bejat yang tidak memiliki hati. Abangnya kalah berjudi, dengan mudahnya menyerahkan adik perempuannya kepada penguasa kawasan terminal. Bagong, kata yang kudengar begitu aneh. Aku terkejut saat mengetahui bahwa itu adalah sebuah nama.
Aku menduga-duga, dia adalah seorang kepala preman. Segera kubayangkan wajahnya yang seram dengan tato di lengan dan dadanya yang penuh pengalaman perkelahian. Aku dipertemukan dengannya, tanpa sadar aku kecewa. Bagong adalah seorang pemuda dengan perawakan biasa-biasa saja. Ototnya terlindung di bawah kulit hitam setengah berminyak. Tak ada tanda-tanda dia berasal dari dunia maling atau begal, kecuali matanya yang menyimpan ambisi jahat.
Pikiranku berkelok-kelok, tak bisa kuutarakan bahwa semua ini adalah salahku. Aku meninggalkan Darti setelah berhari-hari membawanya pergi ke Bandung. Melukis matanya yang jernih, mengabadikan senyumnya yang polos dan wajahnya yang oriental. Ah, bukan. Aku tidak meninggalkannya, tetapi aku memintanya menunggu di rumahnya, yang terbuat dari susunan papan di antara rumah pemulung lainnya.
Aku rebah di sampingnya, meratapi tubuhnya yang koyak tanpa busana. Ditutupi duka setebal selimut kumal di atasnya. Rasa khawatir yang kusimpan dengan hati-hati, sempurna dibakar api dendam. Kukemas tubuhnya yang membeku, menutup sempurna seluruh bagiannya, dengan selimut kumal bau darah dan air mata. Kupeluk kepalanya, begitu dalam di dadaku.
Aku mengusap matanya yang terus terbuka, membayangkan mata yang jernih itu saat pertama kali membuatku jatuh hati. Permata yang hidup di tempat sampah. Aku pernah membawanya pergi beberapa hari. Melukis indah wajahnya, teduh, tetapi selalu menunjukan kesan tertindas. Aku melukisnya bukan karena aku kasihan atau ingin menukarnya dengan nilai tertinggi dari dosen di kampusku. Demi Tuhan, bukan! Justru karena aku jatuh hati padanya, kemudian semua berjalan begitu saja.
Kuusap bekas air mata yang sudah kering di pelipisnya, aku menangisinya. Mendekapnya. Aku masuk dalam kepalanya, menyusup di antara jerit-jerit suaranya yang disumpal tangan penuh nista. Darti menjerit sebisa mungkin, memohon pertolongan kepada siapa pun. Aku berjalan melewati urat-urat lembut di dalam kepalanya, begitu lembab dan menakutkan. Warna tertindas yang begitu tegas.
Aku terus berjalan, merasakan kedinginan yang menusuk tulang-tulangku. Aku melihat ketakutan, hampir semua hanya berwarna hitam, kecuali sebuah ruang kecil yang melayang-layang, di sana ada warna-warna yang artistik. Seperti lukisan kuas yang kugoreskan pada kanvas, tentang senyumnya. Warna jingga, merah, biru, kuning yang menampakkan wajahku di tengah bagiannya. Aku lega saat melihat ruangan kecil yang melayang-layang itu. Hanya sebentar, ruangan itu terjatuh, pecah, dan terkubur oleh warna hitam yang pekat.
Seorang gadis umur delapan belas tahun, menjerit, saat seorang laki-laki bernama Bagong menerimanya dengan tangan penuh napsu. Aku masuk ke dalam kepala lelaki itu. Seperti yang pernah kukatakan sebelumnya, Bagong tak menunjukkan wajah menyeramkan, kecuali matanya yang menyimpan ambisi jahat. O, tidak, aku salah! Ternyata isi kepalanya lebih jahat dari pada sorot matanya. Dalam kepalanya terdapat kotak, ruang, dan benda-benda berbentuk aneh, semuanya berwarna hitam, tak ada warna lainnya. Ruang-ruang itu mengeluarkan cairan menjijikkan, turun, meleleh menjadi monster yang mengerikan. Isi kepala ini saling berkerja sama, merenggut kerapuhan seorang gadis. Dalam kepala ini, terdapat otot-otot yang rakus, mengambil mahkota perawan yang tidak berdaya. Kepuasaan dan kemenangan sudah berkuasa dalam kepala bodoh ini.
Ruang kepala ini sempit, hanya berisi benang-benang yang saling terlilit. Menyusahkan langkahku yang berjalan sambil meraba dinding yang gelap. Aroma busuk membuat siapa pun sulit untuk bernapas dan harus muntah. Memori di ruang ini hanya tentang kekuasaan receh. Nyali ciut yang berlindung di balik raja judi yang lebih banyak menang dari pada kekalahan. Tentu saja, kemenangan yang hanya kebetulan dan keberuntungan sesama orang tolol. Kepala itu penuh siasat busuk, melakukan segala cara agar menang dan menguasai apa saja benda yang jadi taruhan–termasuk Darti kekasihku.
Aku melihat seorang lelaki lainnya mabuk, kalah berjudi dan tidak peduli, menyerahkan sendiri adiknya kepada lelaki penguasa terminal. Aku berusaha menghindari duri-duri di kepala Bagong, melompat masuk ke dalam kepala lelaki yang sedang mabuk. Lelaki ini adalah Abang Darti, aku pernah bertemu dengannya sekali dan mendapat oleh-oleh lebam biru di daguku. Bang Kompreng mengancamku, aku tidak boleh membawa adiknya pergi meninggalkan pekerjaannya mencari botol. Aku tidak mengajak Darti pergi, aku hanya beberapa kali melukis wajahnya di bawah terik matahari.
Aku benar-benar sudah sampai di dalam kepala Bang Kompreng. Isinya berantakan, kepala ini memiliki ruangan yang luas dibandingkan kepala Bagong. Hanya saja, isi kepala ini tidak lebih dari beberapa jenis saja: uang, minuman, dan wanita-wanita telanjang yang malang. Di sudut ruang kepalanya, ada seorang gadis muda meringkuk, tubuhnya gemetar, bibirnya pucat dan rambutnya kumal. Aku mengenal gadis itu, meski penampilannya berantakan, tetapi matanya tetap bersinar. Bola mata yang jernih, sepasang mata yang telah membuatku jatuh hati.
Aku berlari menangkap tubuh yang letih itu. Menegakkan wajahnya yang layu, dia menyambutku dengan senyum yang begitu manis. Tangannya gemetar meremas berlembar-lembar uang kertas. Aku memeluknya, menciumi keningnya yang lusuh dan berbau amis, darah mengalir dari kemaluannya yang terbuka. Aku memeluk tubuhnya, mencium kelopak matanya yang bergerak-gerak hendak terbuka. Seketika sebuah samurai benar-benar menembus dada hingga punggungku. Bang Kompreng membunuhku, lalu mengambil tubuh Darti yang lunglai dari pelukanku.
“Darti, jangan pernah memaafkan aku.”
Rachmawati Ash. Wanita Scorpio yang bergolongan darah AB.
Editor: Respati
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata.