Pena

Pena

Pena
Oleh : Rinanda Tesniana

Wajah wanita berambut panjang itu sangat pucat. Ia menatap kertas-kertas di atas meja, sesekali matanya beralih pada lelaki yang duduk di hadapannya.

Bibir perempuan itu bergetar, matanya memerah seperti menahan tangis yang tak hendak ia tumpahkan.

Lelaki berwajah persegi itu melihat perempuan yang sedang gelisah di depannya dengan gusar. Tampaknya, ia sedang tak memiliki stok kesabaran yang banyak.

“Apa yang kau pikirkan?” tanyanya pada perempuan bermata cokelat itu.

“Aku takut,” jawabnya dengan suara pelan.

Lelaki itu mendengkus. Dia memijit pelipisnya, bibir tebalnya meruncing, entah karena apa.

“Apa yang kau takutkan? Kau tinggal tanda tangan, selesai semua,” tegasnya.

Wajah wanita bergaun hitam itu makin mengkerut. Bulir bening mengalir di pipinya, sedikit demi sedikit, dan tak lama kemudian menganak sungai di sana.

“Apa yang kau tangiskan?” Lelaki itu berkata kasar.

Tangannya memukul meja kayu yang menjadi pembatas antara mereka. Meja kayu yang tampak lapuk ini, langsung pecah separuh pada bagian atasnya. Perempuan itu memejamkan matanya, mungkin tak ingin melihat api kemarahan yang terpancar dari mata pria berkaus hitam itu.

“Lastri, jangan mempersulit masalah!”

Ternyata namanya Lastri, perempuan dengan beribu duka di matanya. Entah apa beban yang ada di benaknya, hingga wajah cantik itu, tampak kuyu tak bermaya?

“Bang Leo, jangan memaksaku,” lirih ia berkata, mencoba melawan arogansi lelaki bernama Leo.

“Aku bukan memaksa. Aku ingin kita keluar dari masalah. Kalau kau tanda tangani surat ini, clear, aku pastikan masalah kita pasti selesai.”

“Banyak cara lain untuk menyelesaikan masalah kita, Bang, bukan dengan surat ini!“ Lastri melemparkan surat itu ke lantai, menginjaknya hingga kusut tak berbentuk.

“Lastri!” Teriakan Leo menggelegar melihat sikap Lastri. “Kau jangan macam-macam. Kalau kau mempersulit urusan ini, aku tak segan menghabisimu!“ ancam Leo.

“Bunuh saja aku! Aku tak takut.” Lastri mulai melawan. Sikap pasrah yang tadi ia tunjukkan menguap entah ke mana.

“Jangan menantangku, Lastri! Nanti rumah ini, kubuat penuh darah,” desis Leo.

“Silakan, Bang, silakan. Apa perlu aku yang ambil parang ke belakang? Lebih baik aku mati, daripada harus menanda tangani surat ini.”

Leo beranjak dari tempatnya, melangkah untuk mengambil kertas yang sudah kusut di kaki Lastri.

“Bukan kau! Untuk apa aku membunuhmu? Tak ada gunanya bagiku, mengotori tanganku saja. Ayu dan Adit, merekalah yang akan kulenyapkan.” Leo tertawa jahat, seperti tawa setan yang baru saja berhasil menggoda manusia.

“Iblis! Mereka anak kandungmu, Bang! Pakailah akal sehatmu!” Lastri seperti kehilangan kesabarannya. Dia membantah apa pun perkataan Leo, tidak seperti di awal, bersikap takut-takut.

“Makanya, kau tanda tangani surat itu. Kelar masalah kita, Lastri.”

“Bang,” rintih Lastri. Amarah yang tadi menguasainya, seperti habis tak bersisa.

“Cepatlah, Lastri. Hani menungguku,” desak Leo.

Lastri tampak menimbang, membaca sekali lagi apa saja yang tertulis di atas kertas itu.

“Bang, lalu aku dan anak-anak tinggal di mana?“ tanya Lastri setelah menelusuri huruf demi huruf dalam lembaran berwarna putih itu.

“Rumah ini akan aku jual, kau mendapat lima puluh persen dari hasil penjualannya. Mulailah hidup baru dengan anak-anak. Anggap saja aku tak pernah ada dalam hidup kalian,” ujar Leo tenang.
Lastri meraihku, membuka penutup kepalaku. Ia mendekatkanku ke arah kertas yang telah tertempel materai di atasnya.

“Betul Abang takkan ingkar? Memberi kami sebagian hasil penjualan rumah ini?“ tanya Lastri bimbang.

“Kau bacalah perjanjian itu baik-baik. Kalau kau tanda tangani surat cerai kita, aku permudah semua urusan kau. Anak-anak pun bawalah bersamamu. Aku tak mau mengurus mereka.”

Tangan Lastri yang sedang menggenggam tubuhku bergetar. Ia kembali mendekatkanku ke arah kertas kusut itu, menorehkan tintaku beberapa kali ke lembarannya.

“S-sudah, Bang.”
Lastri meletakkanku kembali ke atas meja yang bagian atasnya sudah hancur separuh.

“Nah, tunggu kabar selanjutnya. Kau tenanglah dulu di rumah ini. Selagi belum ada pembeli, kau masih boleh tinggal di sini.”

Lastri tak lagi menjawab perkataan Leo. Isaknya semakin keras kala lelaki berambut ikal itu meninggalkan rumah dengan bibir tersenyum penuh kepuasan. (*)

 

Rinanda Tesniana, gadis asal Riau yang biasa dipanggil Nanan. Bisa dijumpai di akun FB bernama: Rinanda Tesniana dan Instragram: @tesniana

Editor : Evamuzy

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply