Kupinjam Sukmamu
Oleh : Sinta Dewi Soebagio
Namanya Risa. Dua puluh tahun lalu orangtuanya mengalami sebuah kecelakaan hebat saat mereka menempuh perjalanan pulang dari Jakarta menuju Surabaya. Mobil yang mereka tumpangi remnya blong, sehingga membuat mobil itu tidak bisa dikendalikan dan akhirnya menabrak tiang pembatas jalan lalu terjun bebas ke jurang. Mobil mereka meledak saat menyentuh dasar jurang. Mereka tewas seketika.
Sejak saat itu Risa hidup dan diasuh oleh neneknya di Panarukan. Kejadian itu membuatnya kehilangan kedua orangtuanya. Usia Risa saat itu masih empat tahun, dia sama sekali belum mengerti tentang apa itu kematian, mengapa orangtuanya tidak pernah ada ketika dia membutuhkan. Sampai lambat laun, ketika dia mulai beranjak dewasa, barulah dia mengerti jika sebenarnya kedua orangtuanya telah meninggal.
Kini, usia Risa telah genap dua puluh empat tahun. Dia memutuskan kembali ke Surabaya setelah neneknya meninggal dua bulan yang lalu akibat penyakit strok.
Kini, Risa benar-benar hidup seorang diri. Dia ingin mengisi hari-harinya di rumah yang telah dua puluh tahun dia tinggalkan.
Untuk pertama kali dia menginjakkan kaki di rumah itu lagi. Tubuh Risa seolah bisa langsung merasakan hawa kenangan yang tiba-tiba saja muncul. Membuat slide tentang kenangan serta memorinya di masa lalu berputar. Ketika kedua orangtuanya masih hidup, mereka bercengkerama di teras rumah yang memiliki postur bangunan Belanda. Tertawa, berlari, lalu menggelitiki Risa kecil yang sontak tertawa geli akibat ulah ayahnya.
Kenangan itu tak ubahnya sebuah video yang tiba-tiba berputar di depan matanya. Membuat matanya kini berkaca-kaca. Menahan lelehan bening yang tertahan di pelupuk matanya. Beberapa menit terpaku menikmati film masa lalunya, Risa pun terkesiap. Dia memantapkan hati masuk kembali ke dalam rumah itu, rumah kenangan masa kecilnya. Menyeret beberapa koper yang dibawanya.
Dibukanya pintu yang telah dua puluh tahun terkunci itu. Foto dan perabot rumah masih tetap sama, seperti terakhir kali dia tinggalkan. Bahkan, sepeda roda tiga yang dulu pernah dia miliki masih berada tepat di ruang tamu. Boneka serta piano mainannya juga tersusun rapi di meja hias. Beberapa kursi yang sudah tua dihinggapi rumah rayap, serta atap rumah yang sebagian juga telihat bolong. Entah akibat hujan deras yang mengguyur Kota Surabaya terlalu lebat, ataukah ada seekor kucing yang berkelahi dan akhirnya jatuh karena kayu penyangga genteng sudah lapuk dimakan usia.
Risa menghela napas panjang, dia menyadari harus bersiap untuk membersihkan seluruh bagian rumah, termasuk halaman yang sudah ditumbuhi ilalang setinggi lutut. Dia kembali keluar, menengok, berharap ada seseorang yang bersedia membantunya.
“Mas,” panggil Risa kepada seseorang yang tanpa sengaja lewat di depan rumahnya.
“Iya, Mbak, ada apa?” tanya pemuda itu setelah sampai di depan rumah Risa.
“Mas, bisa bantu saya membersihkan halaman rumah?” tanya Risa.
“Mbak ini siapa, ya?” tanya pemuda itu lagi.
“Oh, iya, saya Risa. Anak almarhum Pak Abdi dan Ibu Vanty,” sahut Risa sembari mengulurkan tangan untuk berjabat tangan.
“Risa?” Sejenak pemuda itu terdiam. Dia mencoba mengingat-ingat. “Ya ampun, Risa. Aku Satya, mungkin kamu nggak ingat. Tapi, aku ingat betul kamu, karena sewaktu kecil kita sering main bersama. Kamu selalu memanggilku Babang, karena usiaku tiga tahun lebih tua dari kamu.” Satya bercerita panjang lebar.
“Satya?” Risa bingung. Dia sama sekali tidak ingat bahwa pernah mempunyai teman bernama Satya.
“Iya, ya sudahlah kamu mungkin sudah lupa. Tapi, kenapa kamu kembali ke sini? Bukankah kamu selama ini tinggal dengan nenekmu?” tanya Satya.
“Oma sudah meninggal dua bulan yang lalu, untuk itu aku kembali. Karena rumah Oma bukan hakku sepenuhnya,” jawab Risa.
“Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun, aku turut berduka, Ris,” ujar Satya.
“Iya terima kasih,” balas Risa.
Lalu mereka menghabiskan waktu sehari untuk membersihkan rumah. Satya dengan telaten membantu Risa. Dia senang bisa melihat Risa kembali setelah dua puluh tahun berpisah.
***
Malam harinya, entah karena terlalu lelah beberes rumah seharian, Risa tertidur di kamarnya. Listrik di kamarnya kebetulan mati, baru besok Satya akan membantu memperbaikinya. Terpaksa, dia harus tidur hanya menggunakan penerangan dari lampu dinding yang telah diisi minyak gas.
Cekreeekkk!
Suara decitan pintu yang terbuka tiba-tiba saja mengagetkan Risa, seketika dia membuka matanya namun tetap mematung di atas ranjang, serta menajamkan pendengarannya. Tubuh Risa masih tertutup selimut saat sesuatu menarik selimut itu dari tubuhnya. Dia bisa merasakan gesekan selimut yang tertarik di atas tubuhnya. Risa melirik selimut yang berada di jangkauan matanya, dia gelisah ketika tahu selimut itu benar-benar bergerak mundur menjauhi tubuhnya.
Keringat dingin mulai memenuhi dahinya, matanya menyipit ketakutan, hawa dingin juga tiba-tiba saja menyergap ke seluruh tubuhnya. Risa terlalu takut untuk sekadar mengetahui apa yang membuat selimutnya tertarik turun. Guling yang dipeluknya pun, tiba-tiba juga ikut tertarik menjauh dari tubuhnya.
Membuat Risa kaget, dan tak sengaja menjatuhkan gelas yang berada tepat di atas meja samping tempat tidurnya. Risa bangun, dia masih tetap duduk mematung di atas ranjang. Tubuhnya gemetar, keringat dingin tetap saja mengucur deras memenuhi dahi dan tengkuk lehernya.
Anehnya, selimut yang tadinya dirasa telah ditarik, kini seolah diam, dibiarkan tetap menutup separuh tubuhnya.
Keadaan kamar yang suram, yang hanya diterangi oleh lampu dinding kecil, membuat Risa ketakutan dan tidak berani menengok ke bawah ranjang, sekadar melihat siapa yang telah menarik selimutnya. Sampai tiba-tiba alarm di ponsel berbunyi, dan suara azan Subuh membuat hati Risa sedikit lebih tenang, setidaknya sejauh yang dia tahu, makhluk halus takut dengan suara azan.
***
Pagi harinya, Risa kembali menyapu halaman, saat itu pula Satya tiba-tiba datang menghampirinya. Dia mengendap-endap bermaksud ingin mengagetkan Risa.
“Duaaarrr!” seru Satya yang langsung mengagetkan Risa.
“Satya … huh, kamu ini bikin orang kaget aja,” ucap Risa lalu memukulnya dengan gagang sapu. Satya pun berlari, lalu dia berhenti ketika melihat Risa terdiam, memandang ke sebuah pohon beringin di samping rumahnya.
“Kenapa, Ris?” tanya Satya yang juga ikut-ikutan memandang aneh pohon beringin itu.
“Sat, kamu percaya nggak kalau tadi malam saat aku tidur, ada yang menggangguku?” tanya Risa ragu.
“Mengganggu, maksudnya? Hantu?”
Risa mengangguk cepat, mengiyakan pertanyaan Satya.
“Aku merasa tadi malam ada yang sengaja menarik selimutku. Tapi aku tidak tahu siapa yang melakukannya,” ucap Risa.
Dia menceritakan panjang lebar kejadian yang dia alami semalam.
“Untuk itu, Sat, segera perbaiki ya lampu kamarku. Aku takut kegelapan,” imbuh Risa memohon, membuat Satya semakin prihatin dengan keadaannya.
Satya pun segera memperbaiki lampu kamar Risa yang sudah mati, dia merakit kembali sambungan kabel yang putus akibat dimakan tikus. Beberapa jam Satya memperbaiki lampu kamar serta lampu-lampu yang lain yang juga ikut mati di rumah Risa, hingga akhirnya selesai.
***
Malam ini, keadaan rumah Risa sudah lebih terang, tidak ada lagi ruang gelap yang membuatnya takut. Risa pun bergegas tidur, dia tidak ingin mematikan lampu kamar, trauma dengan kejadian malam kemarin yang membuatnya ketakutan hingga tidak berani berada di ruang gelap.
Denting jam semakin jelas terdengar di telinga, membuatnya susah untuk memejamkan mata. Sesekali dia merapatkan matanya, tapi lagi-lagi ada sesuatu yang memaksanya membuka mata. Rasanya perih dan nyilu saat Risa memaksakan diri untuk tertidur.
Masih dengan posisi tidur telentang, ketika dirasa matanya sangat-sangat sakit, Risa membuka matanya. Dan, gelap. Kamar tidurnya benar-benar gelap. Bulu kuduknya meremang, seperti ada angin yang berembus menyentuh lehernya, dingin. Dia terkejut karena tidak terdapat cahaya sama sekali, sekian detik lalu lampu itu masih menyala. Tapi sekarang gelap, tanpa seberkas cahaya pun.
Risa pun memberanikan diri menoleh ke samping, saat tiba-tiba sesosok kuntilanak menyeringai tepat di hadapan wajahnya. Risa berteriak, namun kuntilanak itu menarik rambut panjang Risa yang tergerai. Dia merasa kesakitan, rambutnya seakan terkoyak hebat, perih dan nyilu. Raut ketakutan terpancar jelas.
“Siapa kamu?!” teriak Risa, tangannya masih tetap menahan rambutnya yang terus saja ditarik oleh sang kuntilanak.
“Aku bakal ngajak kowe karo aku,” bisiknya seram. Membuat Risa merasa semakin ketakutan. Kuntilanak itu tertawa, melengking.
“Jangan. Jangan ganggu saya,” Risa mulai menangis, menahan takut dan sakit di kepalanya yang seolah terus ditekan kuat.
“Kowe iku anakku. Aku bakal nggawa jiwamu melu aku,” lagi-lagi dia berucap pelan namun tetap menakutkan.
Wajahnya yang terlihat rusak, seperti bekas terbakar. Bola matanya putih melotot tajam, di sekelilingnya terdapat corak hitam yang pekat. Kuku tangannya panjang, mencakar tubuh dan kepala Risa. Membuat bekas luka di sekujur tubuh Risa.
Aroma amis seperti darah, menyeruak dari tubuhnya yang kotor, bau bangkai. Rambutnya tergerai panjang hingga mendekati ujung lutut.
Dia mendudukkan Risa di kursi yang terletak di sudut ruangan. Dengan payah, Risa tergeletak. Niat hati ingin pergi dari ruangan itu, namun tiba-tiba saja lututnya terasa lemas, dia tidak kuat menopang tubuhnya untuk bangkit. Hanya matanya saja yang terus berputar, mengisyaratkan kebingungan.
Keringat terus saja mengalir di tengkuknya, hawa dingin dan seram menambah kengerian di sekitarnya.
Kuntilanak itu mendekat, dia memaksa melepaskan jiwa Risa dari tubuhnya.
Seperti tersayat ribuan pisau, tubuh Risa menggelinjang. Sekuat tenaga menahan jiwanya agar tidak lepas.
“Lepaskan saya, apa maumu?” tanya Risa, dia terus saja menangis.
Tubuh Risa pun bergetar hebat, mata gadis itu melotot tajam, mengeluarkan lenguhan berat dari dalam bibirnya, dan … Risa pun melayang entah ke mana. (*)
Sinta Dewi Soebagio. Perempuan yang lahir dan besar di kota kecil bernama Probolinggo, pada 14 April 1992. Penyuka warna pink dan ungu. Bercita-cita menjadi seorang penulis yang mampu melahirkan buku-buku hasil imajinasinya sendiri. Penasaran dengan profil lengkapnya? Silakan temukan dalam akun Facebook Sinta Dewi Soebagio.
Editor : Fitri Fatimah
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker KataK