Firasat
Oleh : Musyrifatun Darwanto
Satu jam menjelang kedatangan suamiku, berbagai macam lauk-pauk sudah tersedia di meja makan. Aku sengaja masak lebih banyak hari ini, demi menyambut seorang calon penghuni rumah yang baru. Ya, sore ini Mas Haris—suamiku—akan mengajak Mbok Sumijah ke rumah.
Kami mengenal Mbok Sumijah sudah cukup lama, sekitar lima tahun lalu saat wanita tua itu menghuni kontrakan di ujung gang. Ada rasa iba kala mengetahui beliau tinggal sebatang kara dan mengandalkan berjualan jajanan pasar untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sering kali aku lihat dagangannya tidak habis dan beliau bagikan pada anak-anak di sekitar gang.
Negosiasi sudah dilakukan sejak seminggu yang lalu. Mbok Sumijah dengan senang hati menerima ajakan Mas Haris untuk tinggal di rumah ini sekaligus membantuku mengurus rumah.
Sebenarnya aku sudah melarang Mas Haris untuk mencari asisten rumah tangga. Namun, dia menolak dengan alasan tak tega melihatku mengurus rumah serta dua anak yang masih kecil dalam kondisi hamil tua seperti ini.
“Itung-itung juga kita menolong Mbok Sumijah, Dek. Kasihan dia hidup sebatang kara dan tidak punya penghasilan tetap.”
Ada rasa bangga menelusup dalam hati melihat kebaikan Mas Haris. Dengan orang lain saja ia begitu perhatian, apalagi dengan keluarganya sendiri.
Aku merasa beruntung mendapatkan suami sebaik Mas Haris, dia sosok laki-laki yang baik dan bertanggung jawab. Teringat di awal pernikahan, dia hanya bekerja berbagai seorang tukang ojek, padahal dua bulan setelah menikah aku hamil.
Mas Haris bekerja keras hampir tak kenal waktu, demi mengumpulkan pundi-pundi rupiah untuk biaya persalinanku. Pantang baginya meminta bantuan materi kepada sanak saudara bahkan kepada orang tua kami sendiri.
Siang hari dia mengojek, sedangkan malam hari berjualan nasi goreng di alun-alun kota. Seringkali aku tak tega melihat badannya yang kian hari kian kurus. “Sudah menjadi kewajibanku, Dek. Mas akan terus berusaha mencari rezeki untuk kita. Biar sedikit yang penting halal.” Itu kata-kata yang sering dia ucapkan.
Berkat kegigihan dan kerja kerasnya, saat ini kami sudah memiliki usaha kuliner yang memiliki banyak cabang di luar kota.
Dulu kami saling kenal saat tak sengaja menaiki angkot jurusan yang sama. Aku duduk di kursi kosong sebelah Mas Haris.
Dua bulan kemudian, Mas Haris datang ke rumahku menemui Ayah. Saat itu, entah mengapa firasatku mengatakan bahwa Mas Haris adalah calon imam yang baik. Meskipun kami hanya saling mengenal selama beberapa bulan saja, tak ada keraguan berarti saat aku memutuskan menerima pinangannya.
Aku bahkan meninggalkan Danu, kakak kelas yang telah lama menaruh hati padaku. Kami memang tidak pernah pacaran, karena berkali-kali aku menegaskan kepada Danu bahwa aku hanya ingin menjalin hubungan spesial dalam pernikahan. Danu menghormati prinsipku, dia berjanji akan menikahi dan memintaku untuk menunggu satu tahun setelah dia menjadi ASN di sebuah instansi pemerintah.
Danu mulai menyatakan cintanya padaku saat kami sama-sama duduk di bangku SMA. Meskipun aku tak pernah membalas ucapan cintanya tapi hubungan kami tetap baik. Dia tidak pernah terlihat dekat dengan wanita lain. Danu berkali-kali mengatakan hanya mencintaiku seorang. Entahlah, meskipun diam-diam aku juga menaruh hati tapi tak terbersit dalam benakku untuk bersanding dengannya.
***
Bayangan diriku dalam cermin sudah tampak rapi, mengenakan daster longgar berwarna hijau botol dengan jilbab warna senada bermotif bunga-bunga.
Tak lama Mas Haris dan Mbok Sumijah datang. Perempuan usia enam puluh tahun itu tampak terharu ketika aku mengajaknya untuk makan bersama-sama.
“Masya Allah, Nduk. Sebanyak ini kamu masak sendiri?”
Aku mengangguk sambil tersenyum, ada rasa bahagia melihat mata wanita tua itu berbinar bercampur haru.
Kehadiran Mbok Sumijah membawa warna baru dalam keluarga kami. Aku tidak lagi kesepian saat anak-anak bersekolah dan Mas Haris pergi bekerja. Meskipun usianya sudah menjelang senja, Mbok Sumijah masih gesit melakukan pekerjaan rumah tangga.
Ada rasa penasaran menggelayuti benakku tentang keluarga Mbok Sumijah. Apakah dia tidak memiliki anak atau saudara sehingga hidup seorang diri di usianya yang sudah tidak muda lagi? Karena memang, tidak pernah satu kali pun terlihat ada keluarganya yang datang berkunjung.
Beberapa kali aku mendapati beliau termenung memandangi sebuah foto tanpa bingkai. Kedua pipinya basah. Aku hendak mendekat dan mengusap pundaknya, tapi urung. Belum cukup keberanian untuk bertanya tentang kehidupannya lebih jauh.
Hingga suatu hari, saat hendak mencuci piring, aku mendapati selembar foto tergeletak di atas kulkas yang bersebelahan dengan wastafel. Sepertinya Mbok Sumijah lupa menyimpan foto kesayangannya itu. Baru saja tanganku hendak meraih benda itu, suara Mbok Sumijah mengagetkanku.
“Aduh, Nduk. Nggak usah nyuci piring. Biar Simbok saja.”
Mata wanita tua itu lantas memandang tanganku yang masih terulur di atas kulkas.
“Lho. Foto ini Simbok cari-cari dari tadi ternyata di sini. Alhamdulillah … akhirnya ketemu.”
Mbok Sumijah lantas menciumi lembaran yang sudah terlihat usang itu. Terlihat dia sangat menyayangi seseorang dalam foto tersebut.
Hatiku tergelitik, mungkin inilah saatnya aku bertanya tentang siapakah orang yang dia rindukan itu.
“Mbok ….”
“Eh, iya. Nduk. Ada apa?”
“Itu … foto siapa?”
“Oh, ini foto anak Simbok, Nduk.” Mata wanita tua itu memandang potret putranya penuh rasa rindu.
“Simbok punya anak? Eh, maksud saya ….”
“Iya, Nduk. Dia anak Simbok satu-satunya.”
Mbok Sumijah menangis sambil mendekap erat selembar foto itu. Aku jadi merasa bersalah. Perlahan kuusap pundaknya agar ia tenang.
“Sudah hampir satu tahun Simbok nggak ketemu dia.”
Aku lantas menggamit tangannya dan mengajak duduk di kursi dekat meja makan supaya lebih nyaman bercerita.
“Maaf, Mbok. Memang anak Simbok di mana?”
“Di balik jeruji besi, Nduk.”
“Astaghfirullah.” Refleks, aku menutup mulut. “Memangnya dia kena kasus apa, Mbok? Eh, maaf kalau saya lancang bertanya.”
“Nggak pa-pa, Nduk.” Mbok Sumijah mengusap air mata dengan punggung tangannya. “Narkoba.” Kata itu ia ucapkan sangat lirih, hampir tak terdengar.
“Ya Allah … Simbok yang sabar, ya.”
“Sudah lima tahun dia mendekam di penjara. Setahun lalu saat Simbok datang saat persidangan,” suaranya terdengar bergetar, aku bisa merasakan kesedihannya yang mendalam, “dia … divonis hukuman mati.”
Mbok Sumijah terus memeluk foto itu. “Bertahun-tahun dia tega membohongi Simbok, mengaku bekerja sebagai ASN tapi ternyata dia bandar narkoba kelas kakap. Simbok sebenarnya sudah curiga, dia selalu memberikan uang yang sangat banyak, padahal Simbok tahu gaji ASN tidak sebanyak itu tapi dia selalu bisa beralasan.”
Aku bangkit dari kursi dan mengambilkannya air minum.
“Semua harta benda kami habis disita pihak berwajib, itulah sebabnya Simbok kemudian mengontrak di ujung gang sana. Memulai hidup baru sebatang kara. Sejak dijatuhi vonis satu tahun lalu, dia melarang Simbok menjenguknya sampai ditentukan hari dia akan dieksekusi.” Air mata wanita tua itu kian berderai.
“Minum dulu, Mbok.” Aku menyodorkan segelas air putih.
“Lihatlah, Nduk.” Mbok Sumijah menyerahkan selembar foto yang sedari tadi ia dekap. “Bukankah dia terlihat tampan dan baik? Sama sekali tidak terlihat seperti bajingan.”
Mataku terbelalak ketika mendapati sosok yang sangat aku kenali dalam lembaran usang itu. Dia ….
“Si-siapa namanya, Mbok?”
“Mahendra Danuarta.”
Dadaku berdegup kencang bagaikan dihantam palu ketika mendengar nama itu. Dia … Danu yang aku kenal!
Seketika tubuhku bergetar. (*)
Indragiri Hilir, 15 Juni 2020
Musyrifatun Darwanto, seorang ibu rumah tangga yang suka mengisi waktu luangnya dengan membaca dan menulis, karena melalui dua hal tersebut ia bisa menambah ilmu, wawasan, dan juga banyak teman.
Editor : Devin Elysia Dhywinanda
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata