Arti Kata Cinta
Oleh : Ina Agustin
Hidup sering kali dihadapkan pada sebuah pilihan. Termasuk jodoh Rania Azzahrah–putri dari kyai termasyhur Cikande, Serang, Banten. Semua akan tampak jelas jika perbedaannya terlihat nyata. Namun, kedua pemuda yang datang melamar sama-sama orang baik dan berasal dari keluarga baik-baik pula. Walau demikian, sebenarnya Kyai Salim cenderung pada Hisyam, seorang pemuda tampan lulusan pesantren, berasal dari keluarga sederhana, memiliki wawasan keagamaan yang luas. Dia hafal tiga puluh juz Al-Qur’an, mahir tafsir, takhrij hadis, kaidah fiqih dan ushul fiqih, serta pandai berbahasa Arab. Kyai Salim menaruh harapan jika dia bisa meneruskan kepemimpinan di pesantrennya kelak. Namun semua ia kembalikan pada pilihan sang putri.
“Bagaimana menurutmu, Nak?” tanya Kyai Salim.
“Jujur, Rania belum ada kecenderungan kepada siapa pun, Bah. Selama ini Rania hidup dalam lingkungan pesantren, disibukkan dengan menghafal Al-Qur’an dan mengajar santriwati. Rania belum pernah merasakan jatuh cinta pada lawan jenis. Kalau boleh, Rania mau salat istikharah dulu, Bah,” pinta Rania pada ayahnya.
Setelah seminggu melakukan salat istikharah, Haidar lah yang ada dalam mimpi Rania. Ia adalah seorang pria kaya yang minim pengetahuan agama. Wajahnya pun jauh dari kata “tampan”. Hal ini membuatnya heran.
“Haidar? Kamu serius? Kenapa tidak Hisyam? Setidaknya kita sudah mengenal Hisyam. Ia sering menjadi narasumber di pengajian rutin mingguan pesantren kita ini. Tapi Haidar? Kita baru mengenalnya dua minggu lalu waktu acara halal bihalal di pesantren ini,” tutur Kyai Salim.
“Entahlah, Bah. Tapi itulah hasil istikharah Rania selama seminggu ini,” jawabnya dengan lembut.
“Memang keduanya terlihat sama-sama baik. Mereka kalem dan sopan, tapi apakah kamu yakin itu jawaban istikharahmu, Nak?” Kyai Salim kembali menanyakan untuk memastikan.
“Iya, Bah, tetapi kalau Abah tidak setuju, Rania menurut saja apa kata Abah.”
Rania menghabiskan masa remajanya di pesantren, Ia sangat menjaga diri. Ia paham betul bahwa Islam mengatur sedemikian rupa hubungan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram. Busana muslimah yang ia kenakan mencerminkan kebaikan akhlaknya. Alis bak semut beriring, mata bulat, hidung mancung, bibir tipis, dan kulitnya yang putih, semakin menambah keindahan ciptaan Tuhan yang satu ini.
“Abah akan memberikan sebuah tantangan untuk mereka,” ucap Kyai Salim.
Sesuai waktu yang telah disepakati, Haidar dan Hisyam datang kembali ke rumah Kyai Salim. Setelah memarkirkan Alphard hitamnya, Haidar mengucap salam sembari mengetuk pintu. Beberapa menit kemudian, Hisyam pun datang dengan sepeda motor keluaran tahun delapan puluhan. Penampilan keduanya sangat berbeda. Haidar mengenakan setelan lengkap dengan jas hitamnya. Sedangkan Hisyam mengenakan baju koko putih dengan peci hitam layaknya seorang ustaz.
“Apa Nak Haidar bisa baca Qur’an?” tanya Ayah Rania.
” InsyaAllah bisa, Kyai,” jawabnya sopan.
Tentu saja Kyai Salim tidak menanyakan hal yang sama pada Hisyam karena ia sudah tahu kemampuan Hisyam.
“Begini, terus terang, putri saya belum mengenal cinta. Rania belum mengerti arti kata cinta. Bisakah kalian berdua mencari satu ayat Al-Qur’an yang menjelaskan tentang arti kata cinta?” pinta Kyai Salim.
“Insyaallah bisa, Kyai,” jawab mereka serempak.
“Baiklah, saya tunggu jawabannya Minggu depan.”
Selama satu Minggu penuh, mereka mencari, mengkaji, dan mentadaburi ayat Al-Qur’an yang mengartikan kata cinta. Hisyam merasa tertantang untuk kembali membuka kitab-kitab tafsir Al-Qur’an yang dimilikinya waktu pesantren dulu. Baginya adalah hal mudah untuk menemukan arti kata cinta karena ia sudah paham ilmu tafsir. Kemudian ia mencatat hal-hal penting terkait dengan itu, sampai waktunya ia menemukan satu ayat Al-Qur’an yang menjelaskan arti kata cinta.
Di sisi lain, Haidar melakukan hal sama, walaupun ia minim pengetahuan agama tapi ia pantang menyerah. Ia belajar sebisanya dengan membaca terjemah dan buku tafsir yang baru saja dibelinya. Baginya tidak ada kata terlambat untuk belajar. Selain membaca referensi, ia pun bertanya pada teman-teman yang sekiranya paham. Namun, sudah seminggu berlalu, ia masih belum menemukan jawabannya.
Hari yang ditentukan tiba. Mereka kembali menghadap Kyai Salim.
“Kalau kalian berdua sudah ada di sini, itu artinya kalian sudah siap menyampaikan satu ayat Al-Qur’an yang menjelaskan arti kata cinta kepada kami dan putri kami, Rania, betul?”
“Siap, Kyai,” jawab Hisyam mantap setelah melihat ke arah Haidar yang sedari tadi tampak murung.
“Baik, siapa yang mau duluan?” tanya Kyai.
“Boleh saya dulu, Kyai?” sahut Hisyam dengan nada meyakinkan.
“Silakan.”
“Setelah seminggu penuh saya mengaji ulang tafsir, akhirnya saya temukan satu ayat Al-Qur’an yang menjelaskan tentang arti kata cinta. Hal itu terdapat pada surat An-Nur ayat 26, bahwasanya perempuan-perempuan yang keji untuk laki-laki yang keji. Laki-laki yang keji untuk perempuan yang keji (pula). Sedangkan perempuan-perempuan yang baik untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik untuk perempuan yang baik-baik (pula). Ini merupakan arti kata cinta bahwa Allah akan memasangkan seorang wanita yang baik dengan lelaki yang baik pula. Begitu pun sebaliknya. Allah akan memasangkan perempuan yang buruk dengan lelaki buruk,” papar Hisyam yang membuat Haidar semakin ciut.
“Sekarang giliran Nak Haidar, silakan.”
Jantung Haidar semakin berdebar-debar. Keringat dingin membasahi tubuh. Setelah menelan saliva, Haidar menyampaikan sebisanya. “Ma … maaf, Pak Kyai. Saya belum menemukan satu ayat Al-Qur’an yang menjelaskan arti kata cinta,” tutur Haidar dengan terbata-bata lalu menunduk.
“Lho, kenapa? Apa Nak Haidar tidak berusaha mencarinya?” sahut Kyai Salim.
“Demi Allah, selama seminggu ini saya sudah berusaha. Namun, setelah saya resapi, tidak ada satu pun ayat Al-Qur’an yang tidak menjelaskan arti kata cinta. Semua firman Allah itu adalah bukti cinta Allah kepada hamba-Nya. Kalau memang yang diminta harus satu ayat Al-Qur’an yang menjelaskan arti kata cinta, saya menyerah, Kyai. Mungkin saya masih kurang ilmu sehingga saya harus belajar lebih banyak lagi,” jawab Haidar dengan nada pesimis.
“Termasuk ayat-ayat Mutasabihat?” tanya Kyai.
“Iya, termasuk itu.”
Seketika suasana menjadi hening beberapa saat.
Ayat-ayat mutasabihat adalah ayat-ayat yang tersembunyi maksudnya. Menurut Haidar, itulah bukti cinta Allah kepada makhluknya agar terus belajar lagi menggali ilmu Al-Qur’an sehingga ia bisa dekat dengan Al-Qur’an dan menemukan arti kata cinta yang sesungguhnya.
“Abah, Rania jatuh cinta,” sahut Rania tiba-tiba memecah keheningan.
Kedua pemuda itu terkejut saat mendengar keputusan Rania. Seperti mimpi, Haidar tak menyangka dirinya lah yang dipilih. Hisyam pun tak menyangka bahwa dirinya kalah. Seketika tubuh Hisyam lemas. Ia segera pamit undur diri. Ia pulang dengan rasa kecewa. Sama sekali tidak menyangka bahwa Haidar lah yang dipilih Rania.
Beberapa hari Hisyam tidak keluar rumah. Ia masih belum bisa menerima kenyataan. Dengan tatapan nanar, tiba-tiba ia mengepalkan tangan dan meninju sebuah cermin yang berada di hadapannya. Cairan merah segar keluar dari tangan kanannya.
“Istighfar, Nak! Mungkin belum jodoh. Kamu yang sabar ya …,” ujar Bu Saidah menenangkan.
Seminggu kemudian, Hisyam menerima surat undangan pernikahan Rania dan Haidar. Hatinya bagai disayat sembilu. Ada rasa yang menyesakkan dada. Butiran bening menetes dari kedua matanya.
***
Waktu berjalan begitu cepat. Hisyam mencoba move on dari keterpurukan. Ia kembali memulai aktivitas mengajar di Madrasah dan menjadi penceramah di pesantren milik Kyai Salim.
Di sela-sela aktivitasnya, Hisyam sering melihat Haidar merapikan sandal milik para jamah pengajian, memungut sampah kemudian membuang ke tempatnya. Ia pun sering melihat Haidar membantu pekerjaan tukang kebun pesantren. Haidar sangat ramah pada semua orang.
Berdasarkan informasi yang Hisyam dapat, ternyata pemuda yang bernama lengkap Haidar Hermawan itu adalah seorang donatur tetap di sebuah rumah yatim di kota Serang. Ia pun membina sebuah panti jompo dan anak-anak terlantar. Setiap hari di sela-sela kesibukannya, ia selalu menyempatkan diri untuk menghibur para lansia yang berada di panti tersebut dengan membacakan kisah-kisah inspiratif, membuat sedikit permainan sebagai hiburan, dan hal lainnya yang bersifat positif.
Hisyam sungguh terkesima. Dari Haidar ia belajar tentang arti sebuah ketulusan. Dari Haidar juga ia belajar tentang keseimbangan antara akhlak, ilmu, dan sikap tawadu–rendah hati.
“Astaghfirullah, ampuni hamba ya Robb! Hamba merasa lebih baik dari orang lain. Dengan segenap ilmu keagamaan yang hamba miliki, hamba terlalu yakin bahwa diri ini lebih pantas mendampingi Rania,” sesal Hisyam. (*)
Ina Agustin. Lahir di Pandeglang 19 Agustus 1986 ini adalah seorang ibu dari tiga anak laki-laki. Penulis berdomisili di Serang, Banten, dengan aktivitas hariannya sebagai ibu rumah tangga dan mengajar tahsin tahfiz di rumah untuk anak-anak usia SD. Hobi membaca, menulis, dan membuat kue/camilan.
FB: Ina Agustin
IG: inamujahidah1986
Email : inamujahidahhh@gmail.com
Motto: Hidup di dunia hanya sekali, hiduplah yang berarti!
Editor : Lutfi Rose
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata