Penghantar Kematian

Penghantar Kematian

Penghantar Kematian
Oleh Sinta Dewi Soebagio

“Bagaimana bisa aku berada di gudang?” tanyaku saat tiba-tiba mataku terbuka dan melihat sebuah gudang terbentang luas di hadapanku. Aku ingat betul, terakhir kali aku adalah berada di dalam kamar. Tertidur pulas dengan sebuah alunan lagu yang keluar dari dalam earphone-ku.

Remang lampu tidur menjadi pengantar tidurku menuju dimensi lain. Sejenak aku teringat, sebelum sampai di tempat ini. Ada seseorang yang menghampiriku.

Memberikan sebuah kado yang entah apa isinya, aku tidak tahu.
Aku berjalan ketika seseorang yang memberiku sebuah kado tiba-tiba saja menghilang dari pandanganku. Kado itu tetap aku genggam, sesaat sebelum aku mulai tersadar dan membuka mata, lalu menemukanku berdiri sendiri di dalam gudang.

Aku mencoba mengedarkan pandanganku yang sedikit suram akibat minimnya cahaya bulan yang masuk ke dalam gudang. Sebuah anak gembok yang telah rusak masih tergenggam erat di tanganku. Apakah aku merusak anak gembok ini agar bisa masuk ke dalam gudang? Entahlah, aku tidak ingat.

“Kado?” tanyaku sendiri ketika tidak menemukan kado yang aku pegang di dalam mimpiku. Tapi kosong, hanya anak gembok yang telah rusak yang masih setia berada di tangan.

Saat tengah memperhatikan gudang yang dipenuhi dengan barang-barang yang telah tidak terpakai, aku tertarik pada sebuah boneka berbentuk anak perempuan yang dibiarkan duduk di atas lemari hias.

Sebuah lemari kayu jati yang sudah sangat lama berdiam di sana. Dipenuhi hiasan arsitektur kuno yang menjadi ciri khas sebuah lemari kayu. Disisi-sisinya terdapat pembatas kaca. Sehingga orang lain dapat melihat apa yang ada di dalamnya.

Aku mendekat, meletakkan anak gembok itu di atas nakas di sebelah lemari. Kuperhatikan sejenak, boneka itu lusuh dan kotor. Aku membuka pelan pintu lemari yang ternyata tidak terkunci.

Kubersihkan debu yang mengendap lama di tubuhnya. Mengusap bagian wajah agar terlihat jelas. Boneka yang cantik dengan manik mata berwarna biru terang. Bibirnya yang memerah tersenyum padaku.

Aku meletakkannya di atas nakas yang berada di samping lemari hias. Lalu duduk di kursi tua yang berhadapan langsung dengan boneka cantik itu. Kupandang wajahnya lekat-lekat. Semakin aku memandangnya, wajah itu kian berubah.

Matanya seolah menatapku secara tidak langsung. Senyum yang terlihat manis berubah seperti sinis. Aku terkejut, mengerjap mata dengan cepat. Namun sepersekian detik kemudian, wajahnya berubah kembali manis dan cantik.

Aku menghela napas panjang. Bulu kudukku kian meremang. Semakin lama berada di tempat itu semakin membuat pikiranku kacau. Aku pun memalingkan wajahku dari boneka itu, berharap bisa menemukan sesuatu untuk digunakan sebagai alat penerangan.

“Aku akan membawamu pulang, tunggu,” ucapku pelan lalu berdiri mencari senter agar dapat kugunakan untuk menerangi ruangan yang suram.

Sesekali kakiku terantuk benda-benda keras yang bercecer di bawah. Aku menghampiri lemari yang berada di ujung ruangan. Mencari tahu apa yang ada di dalamnya. Sesaat setelah aku asik mencari benda panjang bercahaya itu, terdengar sebuah kalimat.

“Bawa, aku, pulang,” suara lirih terngiang jelas di telingaku. Tanganku yang sedari tadi meraba-raba isi lemari pun berhenti bergerak. Aku menajamkan kembali pendengaranku cepat-cepat.

“Bawa, aku, pulang,” sekali lagi aku mendengarnya. Mataku segera mengedar mencari asal suara itu, saat tak sadar pandanganku jatuh pada sosok boneka yang aku letakkan di atas nakas tadi, tiba-tiba saja berjalan ke arahku.

“Kau!” pekikku kaget. Tidak percaya dengan apa yang aku lihat. Sebuah boneka yang tak lain hanyalah benda mati, tiba-tiba saja bisa berjalan dan bicara.

“Bawa, aku, pulang,” ulangnya lagi. Tangan boneka iku mengayuh kearahku, seolah-olah ingin aku menggendongnya. Aku begitu ketakutan, keringat dingin mulai bercucuran di tengkuk dan leher, kakiku juga seolah memberat dan lemas tak ada tenaga. Aku ingin sekali berlari, namun, untuk sekadar berdiri pun aku rasa tidak mampu, dan ….

Samar-samar aku membuka mataku yang masih berat. Kini aku telah berada di tempat tidurku. Aku menghela napas lega, mengetahui aku baik-baik saja. Namun, tiba-tiba sebuah nyanyian lirih terdengar di telingaku. Senandung yang menggambarkan sebuah kesedihan dan penderitaan. Mataku terus berputar menengadahi langit-langit kamar yang semakin temaram.

Kuarahkan kepala ke samping, dan aku terkejut mendapati boneka itu telah berada tepat di sampingku. Anehnya, bibir merahnya yang malam itu tersenyum manis, berubah menjadi senyuman sinis. Terdengar senandung itu keluar dari bibirnya yang menyungging penuh misteri. Kututup telingaku rapat-rapat, mataku berpendar kebingungan menangkap suara-suara lirih yang menakutkan.

“Aku, tidak mau membawamu pulang!” teriakku histeris sembari melempar boneka itu ke nakas yang berada dekat dengan pintu, sehingga menjatuhkan sebuah benda pipih yang biasa aku gunakan untuk mengupas buah. Kututup telingaku rapat-rapat. Berharap nyanyian lirih itu segera berhenti terdengar.

“Aku, ingin bersamamu,” ucapnya kemudian.

Aku tercekat ketakutan. Seperti ada bola yang tertelan di tenggorokan, membuat aku sulit bersuara bahkan bernapas. Keringat tak henti-hentinya menetes di dahiku. Mata ini tak mampu terpejam barang sedetik pun.

Boneka itu kembali berdiri, berjalan pelan kearah tempat tidurku. Aku meringsut, semakin mengujung di tempat tidur. Menarik selimut agar menutupi seluruh badanku.

“Mayra, Mayra,” suaranya pelan namun tetap menakutkan. Dia memanggil namaku berulang-ulang. Semakin membuatku merinding tak keruan.

“Diam …!” teriakku histeris. Membuat boneka itu berhenti melangkah. Sekian detik aku merasa lega, dia berhenti melangkah bahkan bersuara.
Aku tak mau lama-lama membuang kesempatan, menyingkirkan selimut yang masih menutup setengah tubuhku. Berjalan pelan melewati boneka yang berdiri mematung. Satu demi satu langkah berhasil melewatinya. Sampai aku berada di ujung pintu kamar, aku memutar knop pintu, namun ternyata terkunci. Sial!

Aku berusaha mencari kunci di nakas dekat pintu, saat sebuah suara kembali mengagetkanku.

“Mayra,” panggilnya lagi.
Suara itu sontak mengagetkanku lagi, jantungku hampir melompat dibuatnya, aku berbalik, kemudian ….

Dia melempar sebuah pisau yang berada di balik punggungnya tepat di dada sebelah kiriku. Menusuk jantung yang terpompa tak beraturan akibat rasa takut yang aku alami. Seketika aku tersungkur di depan pintu kamar, dengan tangan yang masih memegang knop pintu yang sulit terbuka, aku mencoba bertahan sekuat tenaga.

Boneka itu mendekat, semakin mendekat lalu memberikanku sebuah kotak yang sangat aku ingat. Ya, kotak itu adalah … kado yang berada di dalam mimpiku.

“Serahkan jiwamu, Mayra. Akan aku tukar tempatmu dengan tempatku,” pintanya serakah.

Aku pun menggeleng lemah, darah telah mengucur lebar memenuhi ruangan. Membuatku semakin sesak bernapas. Mata ini terasa berat, ingin sekali rasanya tertidur lelap.

Dia menarik pelan pisau yang masih tertancap di dadaku, sedikit memutarnya perlahan. Membuatku merasa semakin kesakitan. Tikaman yang terkoyak menjadi derita paling memilukan. Aku … tak kuat lagi bertahan. Mata ini seolah menyerah pada keadaan, dan … akhirnya jiwaku pun melayang entah kemana. (*)

 

Sinta Dewi Soebagio. Perempuan yang lahir dan besar di kota kecil bernama Probolinggo, pada 14 April 1992. Penyuka warna pink dan ungu. Bercita-cita menjadi seorang penulis yang mampu melahirkan buku-buku hasil imajinasinya sendiri. Penasaran dengan profil lengkapnya, silakan temukan dalam akun Facebook Sinta Dewi Soebagio.

Editor : Evamuzy

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply