The Girl on Paper: Pelajaran Menulis dan Romantisme yang Sering Terabaikan

The Girl on Paper: Pelajaran Menulis dan Romantisme yang Sering Terabaikan

The Girl on Paper: Pelajaran Menulis dan Romantisme yang Sering Terabaikan

Setelah membaca Prolog dan 7 bab awal pada malam sebelumnya (yang tak saya ingat kapan tepatnya), saya menghabiskan malam Minggu kala itu dengan mengkhatamkan buku setebal 447 halaman berjudul The Girl on Paper karya Guillaume Musso. Buku yang saya beli karena sampulnya didominasi warna putih, warna dasar favorit saya. Serta blurb-nya yang menjelaskan kalau kisah ini tentang seorang tokoh fiksi (Billie) yang terjatuh dari dalam buku karena kesalahan cetak, lalu mengikat perjanjian dengan penulisnya (Tom) yang selama berbulan-bulan dilanda patah hati hingga membuatnya menderita writer’s block: Jika Tom mau menulis novel agar Billie bisa kembali ke dunianya, Billie akan membantu Tom untuk mendapatkan Aurora (mantannya) kembali.

Jujur, saya lupa kapan terakhir saya membaca seperti orang kesurupan. Pertama, mungkin karena sudah lumayan lama saya memfokuskan diri membaca cerita-cerita pendek. Kedua, ada banyak faktor yang membuat saya sudah merasa lelah duluan sebelum berhasil menyentuh buku-buku tersebut. Ketiga, sebagai hamba yang tak suka menyimpan lagu apa pun di kartu memori ponsel, karena memegang kuat prinsip “ada banyak kuota yang harus dihabiskan terlebih kuota hasil nyadap WiFi tetangga, jadi sungguh tak bersyukur betul jika saya tidak menghabiskannya dengan cara memutar musik secara online—terutama di YouTube, meski tak saya tonton videonya”. Ditambah karena menonton memakan lebih sedikit waktu, saya lebih memilih menghabiskannya untuk menonton ketimbang membaca buku, terutama novel.

Kembali ke The Girl on Paper, saya tak tahu bagaimana menjelaskan kenapa tak butuh waktu lama untuk mengkhatamkan buku terbitan Penerbit Spring ini. Mungkin karena kalimat per kalimatnya yang mudah dicerna, sehingga kemenarikan kisahnya tersampaikan dengan baik—kebetulan naskah ini ditangani oleh tiga orang sebelum masuk ke proses selanjutnya.

Lagi, sebagai novel berkisah petualangan, dengan banyak tokoh, Musso membuat semua karakter tampak kuat, dan setiap tokoh memiliki kisahnya masing-masing. Selain itu kita juga diajak mengenal banyak tempat, serta banyak makanan—yang dirincikan isinya dengan detail, sebagian besar melalui catatan kaki. Dan karena berkisah tentang seorang penulis, maka ialah hal menyenangkan saat kita menemukan poin-poin tentang menulis di dalamnya.

 

Billie menjawabku dengan serius, “Kau mungkin sangat pintar menceritakan sebuah kisah, menciptakan emosi, penderitaan, rasa sakit hati, tapi kau tidak tahu cara menggambarkan asam garam dunia nyata, rasa kehidupan.”

“Wah, kau sungguh baik hati mengatakan itu kepadaku,” sahutku, menyadari bahwa kemampuanku sebagai penulis sedang diteliti di bawah mikroskop. “Rasa macam apa yang sebenarnya sedang kau bicarakan?”

….

“Dalam novelmu, kau menulis ‘Billie menyantap mangga sebagai hidangan penutup’, tapi kau tidak pernah menyempatkan diri untuk menceritakan rasa mangga secara detail.”

….

“Kau sudah paham prinsipnya,” teriaknya kepadaku. “Jadi, ingatlah itu ketika kau menulis buku berikutnya. Biarkan aku hidup di dunia yang penuh warna dan rasa, tempat buah-buahan terasa seperti buah dan bukan kardus.”

(Halaman 182-184)

 

Kemudian, dibanding mengantar pembaca dengan kutipan buatannya sendiri, Musso memilih menyajikan kutipan-kutipan dari penulis berbeda di setiap awal babnya. Kutipan yang dirasanya cocok dengan nuansa cerita pada masing-masing bab. Memberikan kita satu pelajaran lagi: mencatat kutipan-kutipan dari buku-buku atau sumber bacaan lain yang dianggap menarik bisa jadi sangat membantumu saat menyusun cerita.

 

Terkadang, seorang wanita bertemu pria yang tak punya apa-apa dan memutuskan untuk memberi pria itu segalanya.
Terkadang, wanita itu berhasil.
Terkadang, seorang wanita bertemu pria yang punya segalanya dan memutuskan untuk meninggalkannya tanpa menyisakan apa pun.
Wanita itu selalu berhasil.
~ Cesare Pavese
(Halaman 23)

 

Bermula dari perjanjian dengan kesepakatan demi keuntungan masing-masing pihak, cerita terus berlanjut dengan problematikanya sendiri. Perjalanan Billie dan Tom dari Malibu ke Meksiko demi merebut kembali cintanya—Tom yang ingin mendapatkan kembali Aurora, seorang pianis yang lebih menyukai kariernya ketimbang cinta atau mengikat diri dengan pernikahan, yang sedang menjalin hubungan dengan seorang pembalap F1, dan Billie yang ingin buku terakhir dari Trilogie des Anges menempatkan Jack, kekasihnya yang merupakan pria beristri dan anak, yang tak memperlakukannya dengan baik, berakhir menjadi miliknya—menyadarkanmu kalau cinta terkadang merupakan sebuah kesakitan, tetapi ada hal yang tak bisa kamu jelaskan kalau ternyata kamu lebih bahagia dengan menempuh jalan yang menyakitkan itu.

Cinta … saya rasa seperti perjuangan Tom untuk menyembuhkan Billie yang sekarat dikarenakan buku-buku gagal cetak itu, yang menjadi awal mula jatuhnya Billie ke dunia nyata, dihancurkan dan tersisa satu (itu pun terombang-ambing dengan keadaan yang bertambah buruk). Walau tahu menulis akan membuat Billie kembali ke dunianya (dunia fiksi), tapi Tom tetap menulis Trilogie des Anges volume 3 dibanding membiarkan Billie mati di sisinya dalam keadaan sekarat, pun menghadapi kenyataan kalau dia akan menyerahkan Billie-nya kepada Jack, sosok pria yang paling dia benci.

Pun cinta itu seperti Billie, yang mengenalkan Tom kepada rasa kehidupan kembali setelah cukup lama pria itu berkubang dalam keterpurukan dan obat-obatan juga alkohol, yang dengan caranya membuat Tom keluar dari sindrom halaman kosong untuk kembali menulis, yang berusaha menepati janjinya akan kembalinya Aurora ke pelukan Tom kendati dia mencintai pria itu, penciptanya.

Lantas, setelah perjalanan panjang itu, mereka dihadapkan pada sebuah kenyataan pahit bahwa perjuangan itu berujung penderitaan bagi keduanya: perpisahan.

Menyelami kisah ini lebih dalam, saya merasakan romantisme yang semakin kuat. Mengingat kita—terutama saya—pada sebuah pertanyaan mendasar yang begitu romantis: Sudah seberapa dalam kita jatuh cinta kepada Sang Pencipta? Atau sudahkah kita jatuh cinta kepada-Nya?

 

Jakarta, 24 Juni 2020

Halimah Banani, anggota Lokit yang paling doyan rebahan dan camilin mi rebus pedas atau nasi goreng telur saat lewat tengah malam.

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply