Because of Emak
Oleh : Dyah Diputri
Bab 4 – Cemburu kepada Pantai
Jika aku punya seribu kisah untuk kubagi, maka Kamila punya seribu wadah untuk menampung. Dia juga memiliki seribu nasihat yang dengan penuh keikhlasan dikembalikan kepadaku. Hampir setiap hari aku mericuhinya dengan pengaduan-pengaduan kecil, dan sebaliknya, tak ada hari Kamila yang terlewati tanpa memberi solusi atas masalahku.
Seperti saat ini, aku dan Kamila duduk di bangku taman dekat supermarket. Sore ceria kami lewati dengan saling bercanda dan berceloteh. Kebetulan, besok orang tuanya libur berjualan bubur sumsum. Jadi, dia punya waktu longgar sepulang kerja karena tidak disibukkan dengan tepung, kelapa parut, dan gula merah.
“Kamu keterlaluan, Man. Masa kamu biarin dia milih cincin imitasi?” Kamila menanggapi ceritaku tentang Belvin tempo hari.
“Dianya milih sendiri. Udah kutawarin buat cari di toko yang lain, ditolak. Ya udah, dapat untung.” Aku meringis.
“Tapi pasti dalam hatinya ingin sesuatu yang berharga, Man. Lebih dari cincin imitasi yang identik sama kepalsuan.” Dia berucap pelan.
“Bukankah pernikahan ini memang nantinya hanya akan berisi kepalsuan? Apa bedanya?” sergahku.
Kamila mengendikkan bahu. “Siapa yang tahu? Kepalsuan itu hanyalah bentuk luar. Dalam hati kalian, tak ada yang tahu.”
“Halaah, kan sudah kubilang Belvin itu bukan tipeku, Mil. Suer!”
“Jangan bersumpah, apalagi yang disengaja. Bahkan Allah menghukum orang yang sengaja bersumpah dengan perintah memberi makan sepuluh orang miskin atau berpuasa selama tiga hari.”
“Iya, iya, maaf. Tapi, kurasa Belvin juga nggak suka sama aku. Ada sesuatu dalam hatinya yang dia rahasiakan. Entahlah, semacam persoalan yang berat.”
“Wanita memang pandai menyimpan isi hatinya, Man. Apalagi jika tentang perasaan dan luka yang ditimbulkan oleh rasa itu sendiri. Dan lelaki bukan makhluk yang peka untuk mengetahui maupun mencari tahu.”
Seketika mulutku terkunci. Telingaku asing mendengar Kamila bicara tentang perasaan, tentang cinta. Apalagi selama ini dia tidak pernah bercerita apa-apa tentang perasaannya. Apa dia sedang jatuh cinta, apa dia memiliki kekasih, apa dia tengah terluka … aku tidak pernah tahu. Seperti ucapannya tadi, aku termasuk dalam golongan pria yang tidak peka itu. Apa ini berarti dia sedang menyindirku?
“Bagaimana dengan perasaan kamu, Mil? Apa kamu pernah jatuh cinta? Apa kamu pernah terluka? Bagaimana kalau tiba-tiba Abah menjodohkanmu dengan orang yang nggak pernah kamu kenal dan nggak kamu suka? Apa kamu bisa menerima?” Aku tertawa kecil, sadar akan pertanyaan konyol yang kuajukan. “Aneh, ya. Aku memang keterlaluan. Bertahun-tahun mengenal kamu, tapi nggak tahu apa-apa tentang kamu. Nyesel banget,” lanjutku.
Kamila tidak menjawab, juga tidak membalas dengan senyuman. Angin sore membuatnya mengeratkan cardigan hitam yang melapisi baju kerjanya. Dia menatap lurus ke depan, memandang seorang penjual bubble shot. Lalu, kepalanya bergerak naik turun mengikuti balon-balon busa yang terbang berarakan ke langit. Dia menggigit bibir sekilas ketika balon busa yang sudah melayang tinggi meletus satu demi satu. Aku pun memerhatikan, betapa anak kecil yang berdiri di sekitar penjual itu ikut menyaksikan terbangnya balon busa dengan hati riang.
Ah, siapa yang tahu? Siapa yang tahu kalau mereka sedang tertawa, sedangkan hatinya bersedih karena ibunya tidak mau membelikan mainan itu? Bisa jadi hati mereka sedang terluka, tapi mereka bisa menutupinya. Seperti Kamila, Belvin, ataupun Emak. Ketiganya wanita dengan pembawaan yang berbeda. Namun pasti mempunyai ruang kegundahan dalam hati yang tersembunyi di balik bahasa tubuh mereka.
“Terkadang, manusia nggak harus membuka mulut untuk mengungkapkan perasaan. Terkadang, perasaan juga nggak harus berbalas dengan perasaan. Dan terkadang juga, menyimpan rasa sakit itu membuatmu bisa berdiri lebih tegak nantinya.”
“Apa kamu sedang terluka?”
Kamila memandangku. Mata yang tampak olehku berembun itu meluncurkan titik-titik air hingga jatuh membasahi kerudungnya. Untuk pertama kalinya kulihat dia menangis.
***
“Man, lu telepon Belvin. Tanya, kapan ngukur baju ke penjahit.”
“Kenapa bukan Emak aja, sih? Atau Mawar gitu ….” Aku masih tengkurap di ruang tengah sambil mendongak menatap layar televisi. Padahal, aku juga tidak melihat dengan benar-benar acara televisi itu.
“Lu yang nikah, kenapa Emak yang ngukur baju, Rohman? Jangan mulai lagi, deh!”
“Ya, tapi Rohman gak punya nomernya Belvin, Maaak!” Suaraku sedikit kutekan.
“Dih, nomer hape calon istri sendiri nggak tahu! Gimana sama nomer-nomer yang lain!” Mawar yang juga sedang menonton televisi ikut nyeletuk. Minta dijewer memang!
“Diem, lu. Anak kecil nggak usah ikut-ikutan!” Kutimpuk bantal ke muka Mawar, membuatnya semakin bersemangat mengerjaiku. Sialan!
Di antara adegan saling timpuk bantal, Emang muncul lagi dari kamar dengan membawa ponselnya. Sambil mendekat ke arahku, dia mengusap-usap layar ponsel dengan wajah serius.
“Nih, lu ngomong sama Belpin. Abis itu lu simpen nomernya di hape lu.”
Eh, busyet! Sejak kapan Emak jadi calon mertua yang canggih? Cuma butuh waktu semenit, dia sudah mendapatkan nomor telepon Belvin. Dengan malas, kuterima ponsel Emak. Dari layarnya aku tahu kalau panggilan sudah tersambung.
“Assalamualaikum. Halo, Mak. Apa kabar?” Suara Belvin terdengar manja dan sopan dari seberang sana. Aneh, aku jadi merasa salah sambung!
“Emak, Emak, palamu peyang! Ini Rohman, bukan Emak!” selorohku.
Emak tampak melotot lalu menginjak kakiku. “Ngomong yang bener,” bisiknya.
“Oh, kamu. Ngapain telepon-telepon? Mau pendekatan?” Nada suara Belvin beralih kasar.
“Dih, ge-er! Emak yang nyuruh, jangan kepedean! Emak nanyain kapan waktu ngukur badan buat jahitan, Oneng!”
“Apaan panggil Oneng! Dasar rese!”
“Kamu kumat!”
“Gila!”
“Sama!”
“Monyet!”
“Lu kutu monyet!”
“Siniin hapenya.” Emak menyahut ponsel sembari menjotos lenganku. Sepertinya kuping Emak lama-lama panas mendengar perdebatanku dengan Belvin. Masa bodoh!
“Belpin sayang, ini Emak.”
Emak asyik manggut-manggut. Bibirnya tersenyum lebar sewaktu menelepon. Aku jadi heran, dua wanita ini oleng atau salah minum obat? Giliran ngobrol denganku, tanduknya keluar semua! Giliran saling bicara berdua, nadanya manis-manis disertai bibir mesam-mesem. Kenapa yang nikah bukan Emak sama Belvin saja, sih? Hadeuh.
“Mama gimana kabarnya? Oh … iya, iya. Emak paham. Haaa … boleh-boleh. Heem, iya. Nanti Emak kasih tahu. Wokey, gampanglah masalah itu. Kan, ada Emak ….”
Bikin penasaran saja! Ada lima belas menit Emak bicara dengan Belvin di telepon. Sayangnya aku tidak mengerti maksud pembicaraan mereka. Sesekali Emak tertawa, lalu mengoceh lagi. Dia begitu menikmati obrolan dengan Belvin. Padahal, sewaktu perkenalan ke rumah Belvin, mereka berdua tidak banyak kata.
“Emak nggak sabar bawa Belpin ke rumah Emak. Pengen cepet gendong cucu juga.” Emak tergelak.
Astaga, Emak! Skenario apa lagi yang sedang direncanakannya? Hawa di sekitar tubuhku tiba-tiba semriwing. Dingin. Nasi dan sambal kemangi yang sejam lalu masuk perut, meronta hendak keluar. Kepalaku kliyengan. Emak sungguh keterlaluan! Dikasih hati, minta jantung! Sudah minta mantu, lanjut minta cucu! Rohman mau perang, bukan mau kawin, Mak!
***
Selama dua hari aku dibuat bingung oleh makhluk bernama wanita. Pertama Kamila. Gadis yang biasanya punya segudang motivasi hidup itu tiba-tiba menangis sewaktu di taman kemarin lusa. Aku cukup kaget dan buru-buru meminta maaf, sebab merasa bersalah telah menyinggung perasaannya–meski aku tak tahu pasti kalimat mana yang salah terucap.
Hendak kuseka air mata yang terus menitik itu, tapi Kamila menolak. Kutanyakan apa masalahnya, dia menggeleng. Detik itu, aku merasa menjadi pecundang karena tak bisa berbuat apa-apa untuknya. Dalam jeda tangis, beberapa kali dia mengatakan kalau tak ada masalah, tak apa-apa. Namun, titik air matanya terus bergulir dan bergulir.
“Aku cuma butuh waktu untuk siap bercerita sama kamu, Man. Untuk saat ini, aku nggak bisa,” ucapnya terakhir kali, setelah puas menangis.
Kemudian setelah kejadian sore itu, Kamila menjadi dingin. Pertemuan di tempat kerja pun tak lagi sehangat biasanya. Dia menyapa sambil lalu, bicara ala kadarnya, dan lebih banyak menyibukkan diri sebelum aku mengajaknya istirahat di kantin.
Tak cukup Kamila, Emak pun lebih membikin cemas. Malam selepas menelepon Belvin, dia mengurung diri di kamar. Diamnya berteman gelisah. Kulihat dia merebah di tempat tidur, tapi pandangannya kembali menerawang ke bingkai foto Bapak.
“Mak, tadi Belvin ngomong apa?” Aku duduk di tepi ranjang dan menjentikkan jari tepat di depan wajah Emak. Sekali-kali aku yang memungkas lamunannya.
“Besok lu ke butik mamanya Belpin sepulang kerja. Ntar Emak kasih alamatnya. Atau kalo mau jemput Belpin dulu, ya terserah.” Emak kelihatan tidak bersemangat. Padahal, setengah jam yang lalu dia masih haha-hihi dengan Belvin lewat telepon. Aneh!
“Mak keliatan lesu, sih? Mikirin apa?”
Dia menggeleng. Pandangannya kembali tertuju pada bingkai foto Bapak. Lalu, tiba-tiba saja Emak terisak.
“Bagaimana pun adanya Belpin, kamu harus belajar menerima, Man. Emak tahu … kamu nggak suka, tapi emak yakin kamu cuma bisa bahagia sama dia. Itu juga pesan terakhir bapak lu.” Emak semakin terisak.
“Elaaah, Mak. Mikirin itu aja Emak sampe nangis gini. Udahlah, cup-cup-cup!” Aku mencoba menguatkan walau mataku ikut menghangat mendengar keluhan Emak.
“Ya, makanya lu jangan kasar-kasar sama dia, Man. Kalo bertengkar terus, gimana bisa sakinah nantinya?”
Aku tergugu, sementara emakku masih menangis. Serba salah jadinya! Aku bisa saja bersikap kalem kepada perempuan, tapi apa Belvin termasuk perempuan yang bisa diajak kalem-kaleman? Aku omong air, dia omong api. Aku bahas hujan, dia bahas api. Kita susah bertemu dalam satu nada yang seirama.
“Lu kenali pelan-pelan. Dekati pelan-pelan. Jangan suuzan dulu sebelum menjalani. Berprasangka baik itu lebih baik, Man. Kalau ada masalah, musyawarah baik-baik. Apalagi lu calon imam. Jangan kaku.”
“Iya, iya, Mak. Rohman juga masih belajar, ‘kan.”
“Ya udah lu keluar, gih! Emak mau sendiri.” Emak menarik napas dalam-dalam, samar terdengar sedotan ingusnya.
“Mau nangis terus sendirian, maksudnya?” gurauku.
“Lu keluar nggak, Man?!” Suara bindengnya kini bercampur nada tinggi.
Tanda-tanda …. Sebelum frekuensi amarah Emak melambung tanpa lewat garis start, lebih baik aku kabur!
Esok sorenya, berbekal wejangan Emak, aku berniat menyusul Belvin. Sengaja, sejak dari depan loker kerja, kupasang senyum selebar senyum Mr. Bean. Namun, tidak pakai muka bloon! Kuambil jaket dan tas, lalu bersiap menuju garasi.
“Man, bisa bareng nggak? Abah lagi ada kondangan, nggak bisa jemput.” Kamila menghadang jalan di depan ruang loker.
Kejadian tidak terduga ini! Setelah seharian Kamila mendiamkanku, mendadak dia minta pulang bareng. Sayangnya, waktunya tidak tepat. Permintaannya tidak langsung kujawab. Bimbang, di satu sisi aku sudah berniat untuk menjemput Belvin–walau memang belum bikin janji, di sisi lain ada kesempatan untuk memperbaiki hubungan dengan Kamila.
“Kamu mau jalan, ya? Oh, ya udah nggak pa-pa ka–“
“Bisa, bisa! Nggak ke mana-mana, kok! Ini mau pulang,” ucapku sedikit gugup. Tak apalah, ambil risiko agak terlambat karena harus putar balik setelah mengantar Kamila.
Senyum Kamila terkembang. Bikin nyess di hati. Kemudian kami berjalan bersama menuju tempat parkir. Obrolan-obrolan ringan kembali tercipta. Aku bergurau, dan Kamila menanggapi dengan senyum dan tawa kecilnya. Sesekali kami melambaikan tangan kepada teman-teman yang masuk shift siang dengan lemparan celetukan. Akhir-akhir ini santer terdengar gosip mereka yang mengatakan bahwa aku dan Kamila ada hubungan khusus. Aku tak acuh, berpikir itu hanyalah seru-seruan bagi mereka.
Sampai di tempat parkir, kukeluarkan helm dari bagasi motor dan memasangkan di kepala Kamila. Bukan sengaja mencari kesempatan, karena beberapa kali dia mengeluh kesulitan membuka kunci sabuk helm. Sialnya, saat aku tengah melakukan itu sambil bercanda, ada seseorang memerhatikan kami dari arah belakang Kamila.
Senyumku jadi kaku, lebih tepatnya terbengong. Tanganku terhenti di puncak helm yang dipakai Kamila, merasa terlanjur terciduk basah untuk turun atau mengganti dengan aksi yang lain.
Di sana, seorang gadis itu mengerutkan wajah saat melihatku. Kemudian, dia berpaling. Kembali diambilnya helm yang tersangkut di spion, dan bergegas memakainya. Cepat sekali, sebelum bibirku menyuarakan namanya, dia melajukan motor menuju pintu parkir.
“Kenapa, Man?”
Aku berlari, mengejar laju motor gadis itu. Berbelok-belok menghindari jajaran motor yang terparkir di sana-sini.
“Man, tunggu!”
Aku sampai di pintu portal, tapi motor matic berwarna putih itu sudah tak tampak lagi. Mataku memindai ke sana-kemari, tapi bahkan aroma parfumnya sudah tidak berjejak sama sekali.
“Rohman, kenapa? Man!”
Sial! Benar-benar sial! Kalau begini, mana bisa aku mempraktikkan wejangan Emak? Baru melihatku bercanda dengan Kamila saja dia sudah melaju bak pembalap lokal! Kenapa pula dia bisa ada di sini? Kenapa tidak menungguku di rumahnya, atau pergi duluan ke butik Bu Aini? Kenapa juga tadi harus memarkir motor di sini? Bukankah dia juga bisa memarkir motor di luar supermarket? Kenapa tadi harus memarkir tepat di belakang Kamila? Kenapa tidak bergegas masuk ke supermarket daripada berdiri di tempat parkir? Kan, dia jadi melihat dan berpikir yang tidak-tidak! Kenapa tidak menghampiriku dulu, paling tidak menyapa atau mencari tahu? Kenapa harus pergi jika yang didapat hanya sebuah prasangka? Kenapa tidak spontan marah dan memaki daripada menyimpan jengkel sendirian? Kenapa dia yang berlalu dengan amarah itu adalah Belvin?
Kenapa? Kenapa wanita itu susah dimengerti jalan pikirannya?
“Kamu ngejar siapa, sih?” Rupanya Kamila pun tak berhenti mengejarku.
Aku sudah putus asa, lidah kelu tak tahu harus berkata apa. Jantungku berdegup-degup resah. Seluruh dada rasanya pasak oleh dedak. Entah, apa ini karena aku takut mengecewakan Emak, ataukah perasaanku sendiri yang takut kalau Belvin sampai membatalkan pernikahan karena salah paham.
“Rohman, jawab, dong! Kamu kenapa?”
Pikiranku buyar, meloncat dari satu wajah ke wajah lain. Wajah Emak, Bapak, Bu Aini, dan berakhir di wajah Belvin. Wajah garangnya mungkin tidak kenal air mata, apalagi termakan cemburu oleh seorang Rohman yang baru dikenalnya. Namun, membayangkan dia menekuk muka karena sebal, tentu aku jadi merasa bersalah.
“Man, kalo kamu nggak mau jawab, it’s ok. Tapi, paling nggak bantuin lepas helm ini!” Kamila berteriak.
Aku gelagapan. Tanpa sadar jemariku membantu Kamila melepas helm, tapi mata masih menatap nanar ke jalanan. Pikiran, kesadaran, dan hatiku … sepertinya telah dibawa semua oleh Belvin. Bahkan, saat melihat punggung Kamila berlalu pergi, yang ada dalam benakku hanya nama Belvin.
Bersambung ….
Episode Sebelumnya (Bab 3 – Cincin)
Dyah Diputri. Pecinta diksi yang tak sempurna.
FB: Semutnya Al El, email: dyahdiputri@gmail.com.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata