Segelas Air Tak Kunjung Penuh
Oleh : Imas Hanifah N.
Seseorang mengetuk pintu rumahku di malam hari. Mungkin sekitar pukul setengah dua belas dan sungguh aku sangat malas untuk membuka mata dan membukakan pintu. Siapakah gerangan?
Lantai rumah sangat dingin. Aku melangkah pelan ke arah pintu. Akan tetapi, sebelum itu, kuintip dulu dari jendela. Oh, Tuhan! Siapakah? Demi apapun, itu tidak mungkin!
Dengan cepat aku membuka pintu.
“Alex!”
Lelaki berkulit putih itu tersenyum lemah. “Maaf membuatmu harus terbangun di malam hari. Tapi aku sangat ingin datang.”
Aku melirik kanan-kiri. Ini bukan sesuatu yang bagus. Aku perempuan dan sungguh bukan gayaku mengijinkan seorang laki-laki masuk ke dalam rumah di malam hari.
“Boleh?” Alex bertanya untuk memastikan. Aku dipenuhi keraguan. Hanya saja, melihat wajahnya yang kusut, rasanya tidak tega.
“Jika tidak, aku akan kembali pulang.”
“Ah, boleh. Kamu boleh masuk.”
Alex tergesa melangkah ke dalam rumah. Aku masih melihat sekitar. Ke mana mobil mewahnya? Adakah wartawan? Atau bodyguard? Alex ini sebenarnya mau apa?
Aku tidak menutup pintu sepenuhnya. Di jaman sekarang, sekali pun Alex bukan orang yang akan melakukan kejahatan padaku, maksudku, meskipun mustahil dia akan melakukan kejahatan padaku, tetap saja aku tidak bisa merasa lega.
“Ada apa?” tanyaku.
“Aku hanya ingin bercerita.”
Aku mengangguk pelan. “Oke, kamu ke sini jalan kaki?”
“Tidak, aku naik bus.”
“Ha?”
Sungguh aneh sekali. Aku menatap Alex dari ujung rambut sampai ujung kaki. Jangan-jangan dia habis membunuh atau pulang dari tempat hiburan malam. Gawat, apa ada polisi mengikutinya?
“Maaf, Han.”
“Maaf? Ah, tidak apa-apa, Lex. Santai saja. Kamu mau cerita apa?”
Alex menggeleng. “Aku tidak tahu. Aku tidak tahu bagaimana aku harus memulai.”
“Kamu sepertinya punya banyak masalah.”
Alex mengangguk. “Maafkan aku. Aku memang datang untuk menceritakan masalah.”
“Oke, tak apa. Mau minum sesuatu?”
Alex menggeleng. “Tidak.”
“Oh, oke. Apa masalahnya?”
Aku bertanya cukup cepat. Semakin cepat Alex bercerita, maka semakin cepat dia pergi.
Alex menghela napas panjang. Sungguh ini aneh sekali. Masalah? Masalah berat sepertinya. Hanya saja, masalah berat seperti apa yang sedang dihadapi oleh Alex sang bintang? Dia adalah aktor terkenal. Rumah mewahnya ada tiga. Mobilnya juga banyak. Aku pernah diam-diam mengintip akun instagram-nya dan dia sungguh semakin bersinar.
“Sebentar lagi, aku mungkin tidak akan setenar sekarang.”
“Eh, kenapa?”
“Aku juga mungkin akan miskin.”
“Ha? Miskin?”
“Iya, Han. Aku akan diabaikan dan aku akan jadi orang miskin.”
“Benarkah? Itu mustahil.”
“Tapi itu kenyataannya.”
Alex semakin murung. Wajahnya menunduk. Ini seperti mimpi saja. Bagaimana bisa? Alex sang bintang mengatakan semua hal yang menyedihkan ini.
“Tapi apa penyebabnya?”
“Aku tidak tahu, Han. Ini seperti terjadi dengan cepat. Semuanya terasa sangat cepat.”
“Maksudnya?”
“Ya, karena penghasilanku yang besar, aku membeli barang mewah seperti kebanyakan artis lain. Aku menginvestasikan uangku pada banyak perusahaan yang ternyata palsu. Aku benar-benar jatuh, Han.”
“Kenapa itu bisa terjadi? Belum terlambat, kan?”
“Sudah berakhir, Han. Aku akan tamat. Utangku banyak.”
“Apa? Utang?”
Alex menangis. Kepalaku berdengung. Kenapa jadi aku yang ikut pusing?
“Utangku sampai miliaran, Han. Banyak sekali. Aku tidak tahu harus apa. Manajerku pasti akan segera pergi. Semua staf yang bekerja di rumah mewahku juga pasti akan segera pergi. Semuanya.”
“Lalu, apa kamu tidak punya jalan lain? Kamu tidak punya barang untuk dijual?”
“Aku … aku tidak tahu. Pajak untuk semua mobilku menunggak sampai beberapa tahun.”
“Ha? Jadi, gosip itu benar?”
“Iya.”
Aku tidak tahu harus berkata atau berbuat apa sekarang. Aku terkejut dengan apa yang Alex katakan. Bagaimana bisa? Bagaimana mungkin dia jadi seperti ini.
“Han, aku ke sini tidak ingin meminta bantuanmu, jangan salah paham.”
Aku tersenyum ragu. “Hehe, kamu pasti tahu bagaimana keadaanku sekarang, kan.”
“Iya, aku juga mau minta maaf soal ucapanku dulu.”
“Ucapan?”
“Iya, aku pernah bilang bahwa percuma saja seseorang berprestasi di sekolah, tapi tetap jadi karyawan biasa setelah lulus.”
Aku terbatuk. Bagaimana bisa dia masih mengingat kalimat itu? Luar biasa. Mungkin benar apa yang sering orang katakan, bahwa pada akhirnya seseorang akan menelan perkataan buruknya sendiri.
“Jujur, Han. Aku ingin berada di posisimu sekarang.”
Alex semakin menunduk, seakan menyembunyikan isaknya yang semakin serius saja.
“Begini, aku tidak bisa berbuat banyak. Tapi jika aku bisa melakukan sesuatu, aku pasti akan melakukannya sebisa mungkin. Soal uang, itu jelas aku tidak akan bisa.”
Alex mengangguk. “Tidak perlu, aku kan sudah bilang, aku tidak minta bantuanmu. Aku hanya ingin seseorang mendengarkan.”
Aku menarik napas. “Tapi, bukankah membicarakan ini kepada manajer atau pengacara, itu akan lebih baik? Maksudku, setelah kamu bercerita padaku.”
“Aku tidak tahu, Han. Hanya kamu yang terlihat tidak palsu.”
“Tapi manajer dan stafmu, mereka sudah bertahun-tahun bersamamu.”
“Itulah masalahnya, Han. Aku bodoh. Aku tidak sepintar dirimu dalam menilai orang lain. Mereka juga menipuku.”
“Apa? Ya ampun.”
Ini jadi semakin pelik. Permasalahan Alex ternyata sesulit itu.
Aku putuskan untuk beranjak ke dapur dan menyeduh teh.
Alex melihat secangkir teh yang baru saja kusuguhkan.
“Kamu masih mengingatnya.”
“Ha?”
“Bahwa aku tidak minum kopi.”
“Eh, hehe.”
Malam semakin larut. Saat kutengok, jam digital di ponsel menunjukkan pukul dua dini hari.
Percakapan aku dan Alex jadi campur aduk. Dia tak lagi membicarakan semua masalahnya. Melainkan membicarakan semua hal. Bahkan hal-hal yang sudah lampau, saat kami masih berseragam SMA.
***
“Begini, kamu harus mengurainya satu demi satu. Selesaikan dengan perlahan.”
Alex mengangguk. “Aku merasa lebih baik, Han. Aku akan menyelesaikannya.”
“Iya, penggemarmu banyak.”
“Mereka pasti berpikir aku ini baik-baik saja.”
“Maka dari itu, jangan hancurkan pemikiran mereka. Hubungi pengacara, kamu bisa membuat orang-orang yang menipumu masuk penjara.”
“Iya, tapi tidak dengan staf atau manajerku. Mungkin aku bisa memaafkan mereka.”
“Terserahmu. Kamu bisa melakukan apa saja yang ingin kamu lakukan. Tapi pikir baik-baik dan putuskan baik-baik pada setiap hal yang berkaitan dengan uang.”
“Terima kasih.”
“Sama-sama.”
Alex berpamitan. Hari sudah pagi saat aku membuka pintu. Aku akan mengantarnya sampai ke jalan.
“Lihat, tetanggamu sepertinya baru membeli mobil. Terlihat dari warnanya yang mengkilat.”
Alex menunjuk ke arah garasi rumah yang tak jauh dari rumahku.
“Iya, sepertinya baru. Kenapa?”
“Ehm, kamu tidak iri?”
“Haha, tidak semua orang sepertimu. Aku tidak berniat mengisi gelasku yang sudah penuh. Bahkan tanpa mobil mewah atau hal lainnya, segelas air saja bisa menghilangkan hausku.”
“Kamu masih sama, selalu bicara dalam bahasa yang kadang sulit kupahami, hehe. Label peringkat satu berturut-turut selama di SMA tidak akan hilang begitu saja, ya.”
Aku tersenyum bangga. Lagi pula, peringkat satu bukan hanya sekadar label. Itu juga merupakan tanggung jawab. Seharusnya orang-orang paham akan hal tersebut.
Tasik, 2020
Imas Hanifah Nurhasanah. Bercita-cita jadi penulis sejak kecil. Lahir di Tasikmalaya, 24 Desember 1996. Saat ini, tinggal Tasikmalaya. Penyuka jus alpukat ini, bisa dihubungi via akun facebooknya: Imas Hanifah atau akun IG: @hanifah_bidam. Baginya, menulis dan membaca adalah sebuah kebutuhan.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata