Hati-hati dengan Rumah Murah
Oleh : Fathia Rizkiah
Srek … srek ….
“Ck, arrrgh!” geramku kala suara gesekan itu terdengar lagi. Kali ini terdengar lebih keras dari biasanya, hingga tidur nyenyakku terganggu.
Aku kesal, tugas kuliahku segudang! Hampir setiap malam aku menyesap kopi hitam pahit hanya untuk begadang menyelesaikan semua tugas. Jika bukan karena nilai, aku ogah meneguk kopi sepahit ini. Dan sekarang, baru saja mataku terpejam lima menit, suara gesekan itu kembali terdengar.
Arrrgh, rasanya ingin kubuang saja lukisan tua itu.
Srek… srek… prang!
Kali ini gesekan tangannya makin liar, sudah mengganggu waktu tidurku, menjatuhkan bingkai fotoku pula. Maunya apa, sih?
Memang aku yang salah, meletakkan foto berbingkai di dekat lukisan tua nan usang itu. Tetapi niatku bukan untuk memancing arwah jahat di dalamnya. Melainkan view di sekitar sana terlihat seribu kali lebih cantik saat aku menaruh sesuatu yang berbingkai.
Srek… srek… srek… BUK!
ARRRGH, APA LAGI YANG DIJATUHKAN? Apa tidak cukup, foto terbaikku disenggol setiap hari hingga tempatnya retak?! Tingkat kesabaranku menipis. Aku harus segera bangun untuk menghentikan aksi arwah jahat itu. Kalau kubiarkan saja, pasti ia mencari barang lain untuk dijatuhkan, dan keesokan harinya tetangga sebelah pasti melabrakku karena sangat terganggu dengan suara benda-benda berjatuhan di malam hari, yang ia pikir itu semua ulahku karena terlalu pusing mengerjakan tugas. Andai saja uangku banyak, mungkin dari dulu aku sudah angkat kaki dari kontrakan seram nan murah ini.
Aku bangun. Tanpa terselip rasa takut sedikit pun aku pergi menghampiri lukisan tua yang digantung itu, di ruang depan.
“Heh, Pak Tua, bisa diam enggak, sih? AKU MAU TIDUR!” pekikku marah. Kalau saja di kepalaku ada tanduk, mungkin dari tanduk itu sekarang mengeluarkan kepulan asap.
Kreeek …. Kepala itu menoleh perlahan ke arahku. Serpihan kulit kepala dan lehernya mengelupas seiring ia menggerakkan setiap anggota badan tertentu. Aku bergidik ngeri sambil meringis. Bagaimana tidak? Saat Pak Tua menoleh, tak hanya kulit kepala dan leher saja yang berjatuhan, melainkan beberapa percik darah segar berbau anyir, muncrat hingga ke permukaan kaca frame.
Aku melompat dan menjerit keras saking terkejutnya. Ini kali pertama aku melihat semua kejadian menyeramkan dengan mata kepalaku sendiri. Yang paling aku benci adalah, jika pria tua dalam lukisan itu sudah menatapku, ia akan mengeluarkan ilmu hebatnya. Seperti sekarang, ia tengah merapap mantra agar mataku terus memandangnya. Memandang setiap inci tubuhnya yang mengerikan.
“Kenapa memanggilku?” tanyanya dengan suara berat. Ekspresinya berubah lima puluh persen lebih menyeramkan saat ia mengeluarkan suara.
Aku mematung, keringat dingin sebesar biji jagung berangsur-angsur membanjiri tubuh. Oh, tidak, sepertinya tubuhku mulai memberi tanda kalau aku tidak kuat berhadapan dengannya. Atau … ini termasuk salah satu efek dari rapalan mantranya?
“Kenapa? Ada hal penting?” tanyanya lagi.
Ketakutan dalam diriku semakin meningkat, hingga aku tak memiliki kuasa sedikit pun untuk menjawab pertanyaannya.
Tuk. Satu benda menghantam kepalaku dengan cukup keras. Bersamaan dengan pantulan benda yang pria tua itu lempar, mantranya pada mataku terhenti. Aku lekas membuang wajah, tidak mau menatap sosoknya lagi lama-lama.
“Ada apa, Gadis Manis?” Suara Pak Tua kali ini terdengar lebih halus. Tapi, sehalus apa pun suaranya, tetap saja kalau melihatnya siapa pun pasti akan ketakutan sepertiku.
Ia menyandarkan kedua sudut sikunya di ujung frame seraya menopangkan dagu, menatapku lekat dengan tatapan menyeramkan.
“Kenapa diam saja, Alisia? Bicaralah! Kau ke sini untuk menemuiku, ‘kan?”
Aku diam saja, enggan menjawab. Aku berniat untuk masuk ke ruang tengah—kamar—dan menutup pintunya rapat-rapat. Tetapi, cairan merah pekat mencuri perhatianku. Perlahan ia mencium ujung jemari kakiku dengan hangat. Oh, no! Apa ini? Aku mengangkat kaki, berupaya menjauhkan diri dari cairan kental itu. Tapi tetap saja, darah Pak Tua seakan mengejar langkahku.
Pak Tua tertawa. “Kau takut darah, Alisia? Aku baru tahu.” Ia kembali melanjutkan tawa saat melihat aku berlari kecil menghindari darah. “Kenapa tidak bilang kalau kau tidak suka? Kalau kau bilang sejak awal, pasti kuberhentikan darah-darah manis ini.” Pak Tua mencolek darahnya sendiri kemudian dihisap dengan khidmat. Seakan darah itu adalah cairan yang paling nikmat sedunia. “Benar-benar manis,” pujinya.
Bulu kudukku meremang. Manis dari mananya? Tak perlu diberi tahu, semua orang yang datang ke ruangan ini pasti tahu, darah Pak Tua sangat bau anyir! Sama sekali tidak ada aroma manisnya!
Argh, aku lupa, dia ‘kan hantu, sedangkan aku manusia, mungkin indera penciuman kita berbeda. Mungkin.
Tuk. Pak Tua kembali melemparkan sesuatu kepadaku. Langkah cepatku terhenti, entah benda apa yang arwah jahat itu lemparkan lagi padaku, kali ini kepalaku rasanya sakit sekali.
“Aw,” rintihku.
Pak Tua tertawa, deretan gigi atasnya nyaris lepas saat gigi-gigi lancip itu tertekan lengkungan bibirnya yang tersenyum. “Sakit?”
Mataku memicing, sepertinya aku tidak bisa menahan diri lagi untuk tidak meluapkan amarah, ini sudah keterlaluan! Kutarik napas dalam-dalam hendak menggertaknya. Meski takut, aku nekad. Malam ini aku harus berani! “Apa maumu, Pak tu—.” Lidahku mendadak kelu saat melihat penampakan seram baru.
Ya, Pak Tua sedang menopang dagu dengan kedua tangan disangga ke tepi frame. Bibirnya tersenyum menanti sesuatu, sepertinya ia tahu kalau aku akan meledakkan amarah. Tak ada yang aneh memang, tapi jika kau lihat dengan teliti ke bagian atas, kau tahu apa yang membuatku ketakutan hingga suaraku tercekat di kerongkongan. Hidungnya mancung, mirip seperti hidung bule pada umumnya. Maklum saja, Pak Tua memang berasal dari sana. Masih belum ada yang aneh, tapi kalau kau melihat matanya … arrrgh … aku takut dengan matanya. Kedua mata yang seharusnya berisi bola mata indah berwarna putih dengan pupil biru cerah kini tak terlihat. Ke mana ia? Seharusnya ia berdiam diri di tempatnya. Apa mata Pak Tua selalu berkeliaran seperti ini saat malam hari?
Pak tua tertawa lagi untuk kesekian kalinya. “Kau mencari mataku, Alisia?”
Aku tersentak, bagaimana bisa ia tahu?
“Mataku ada di bawah kakimu.”
Mataku membesar. A … apa? Ba … bawah ka … ki? Mata Pak Tua di di di bawah ka … ki?
“Angkat kakimu, kemarikan mataku!” titahnya semena-mena.
Aku meneguk ludah. Gemetar kembali datang menemani suasana mencekam malam ini. Sejak kapan aku menginjak bola mata Pak Tua? Perlahan dengan kaki yang bergetar hebat kuangkat kaki sebelah kanan, lututku makin lemas saat pemandangan bawah kaki sedikit terlihat.
Aku mengintip sedikit, tak ada sesuatu di bawah kaki kananku. Telapak kakiku pun sama sekali tak memberi tanda kalau aku menginjak sesuatu. Berarti … mata itu di kaki kiri? Aku meneguk liur berat kala bola mata ini mengarah ke kaki sebelah kiri. Oh, my Gosh, rasanya jantungku mau copot.
“Cepat, Alisia!” hardik Pak Tua.
Tubuhku bergetar lagi, kali ini dapat kurasakan keringat dingin berlomba-lomba terjun dari berbagai sisi. Lututku bergetar lagi. Jujur, aku sudah tidak kuat berdiri. Tubuhku lemas, aku lelah menghadapi arwah jahat yang satu ini.
“Ambilkan mataku, Alisia!” ulang Pak Tua. Nadanya terdengar penuh penekanan.
Lagi-lagi pria tua itu menggunakan mantranya, ia menganggukkan kepalaku.
“Kau bohong, Pak Tua! Matamu tak ada di bawah kakiku,” seruku lantang. Sebenarnya kaki sebelah kiri belum kuperiksa, tapi kalau dirasakan, aku tak merasa menginjak sesuatu.
“Bohong? Apa ini bohong?” Pak tua mengulurkan kedua tangannya seperti mendorongku dari kejauhan. Seribu angin tak kasat mata menyerang tubuhku hingga terjungkal membentur dinding. Di saat itu juga, kedua bola mata Pak tua menyerangku. Aku terkejut dan sontak berteriak, “Aaa!!!”
Setelah itu duniaku gelap, aku tak tahu apa yang terjadi setelahnya padaku. Sepertinya aku pingsan.
Saat kesadaranku kembali, samar-samar terlihat Pak Tua mengulurkan tangan, kedua bola matanya terbang kembali padanya. Tak perlu susah-susah menggunakan alat ini itu untuk memasangkan mata, Pak Tua meletakkan bola matanya begitu saja di tempatnya. Semudah itu. Untuk menata letak, ia hanya perlu mengerjap beberapa kali agar matanya terpasang normal. Seulas senyum mengembang, Pak Tua menatap tubuh lemasku dengan sangat puas. “Biar kuantar kau ke surga, Alisia.”
Pria tua melepas rantai yang sudah menahan dirinya selama lima tahun. Tak perlu menggunakan kunci, dengan sendirinya rantai itu terlepas. Karena ini memang sudah perjanjian, pria tua itu akan bebas dalam lima tahun sekali saat malam purnama tiba. Dengan syarat, ia harus membawa setidaknya satu mangsa untuk diberikan kepada raja Iblis.
Sekarang aku tahu kenapa harga kontrakan yang kutempati sangat murah. Rupanya Ibu pemilik kontrakan adalah mangsa pertama dari pria tua dalam lukisan itu. Mereka bersekongkol, pria tua tidak akan membunuh Ibu pemilik kontrakan asalkan Ibu ini berhasil menyewakan rumah seramnya hingga malam purnama di tahun ke lima yang akan datang tiba. Yaitu tepat malam ini. (*)
Fathia Rizkiah, gadis yang baru kemarin sore nyemplung di dunia literasi. Masih butuh banyak bimbingan dan masukan-masukan yang membangun. Mari mampir ke lapaknya, Blog: fathiamengulas.wordpress.com.
Wattpad: @fath_vhat
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata