Because of Emak
Oleh : Dyah Diputri
Bab 2 – Singa Betina
Ini titik di mana–untuk pertama kalinya–aku ada di pintu masalah. Lalu, mau tidak mau harus nyemplung dan tenggelam ke dalamnya. Setinggi-tingginya nyaliku, pasti akan berpikir seribu kali untuk meminang Belvin. Namun, detik ini aku tidak ada waktu untuk berpikir dan membuat pertimbangan walau hanya satu kali.
Ya, namanya Belvina Zahra. Gadis yang Emak asal jodohkan denganku. Sungguh di luar dugaan, gadis yang semalam kubayangkan semanis mungkin di awang-awang, nyatanya mirip singa betina yang sedang memerhatikan mangsa. Ekor matanya lebih tajam dari Emak yang di-make-up pakai eyeliner dobel. Mulutnya seperti dikunci dan digembok dengan gembok istana negara, bahkan udara saja–mungkin–sukar keluar masuk dengan bebas. Tak cukup sampai di situ, kurasa bingkai bibir Belvin sudah dipaku paten atau dilem dengan lem besi kualitas super. Sama sekali sudutnya tidak tertarik ke kanan dan ke kiri.
Sekilas dia memang tampak cantik. Kulit putih bersih, wajah tirus dan hidung kecil bangir, ditambah ukuran bodi yang lumayan menggoda untuk ukuran perempuan dewasa. Sayangnya, belum ada kerudung yang menutup rambut lurus sebahu yang dicat pirang itu. Tidak masalah. Sesaat setelah melihat dia duduk di samping Bu Aini, ibunya, batinku mengucap syukur. Alhamdulillah, calon bini lumayan cantik.
Namun, jantungku mendadak disengat getaran hebat saat tahu dia mendelik ke arahku. Acara mesam-mesemku buyar! Seisi ruangan tidak ada yang tahu kalau tangan kanan Belvin yang semula tertangkup di samping paha, kini mengepal erat dan tertuju untukku. Lalu, dia melerai kepalan, beralih mengacungkan jempol ke arah bawah. Wah, penghinaan! Sialnya lagi, saat kubalas dengan pelototan ringan, dia malah menggerakkan tangan ke leher seperti isyarat menggorok leher.
“Naudzubillah ….” Setengah sadar bibirku mengucapkan itu. Otakku mulai mengajukan pertanyaan, aku akan menikahi perempuan atau preman, sih? Serem. Tidak ada anggun-anggunnya sama sekali.
Belvin melotot sekali lagi, ujung alisnya pun hampir bertautan. Kali ini dadaku semakin berdebar. Agaknya bukan sinyal-sinyal cinta yang menggetarkan, melainkan sinyal tanda bahaya. Sementara perutku mulai mulas disertai keringat dingin saat menatap Belvin, Emak malah asyik ngobrol dengan teman lamanya.
“Jadi, Jeng … sebelum ayahnya Belvin meninggal, dia sudah pesan agar aku nyariin Jeng Husna. Katanya, beliau tidak akan tenang sebelum memenuhi janjinya untuk menikahkan anak kita.” Bu Aini tersenyum lebar, lalu kembali berapi-api menjelaskan, “Alhamdulillah, hari itu kita ketemu, ya, Jeng. Jadi sekarang bisa segera merencanakan pernikahan ini.”
“Iyo, Mbakyu. Nggak nyangka Allah bukakan pintu niat baik ini. Tapi, ya gini loh, Mbakyu … masalahnya anakku Rohman ya kayak gini. Serba pas-pasan.” Emak meringis dengan begitu polosnya.
Bu Aini hanya tertawa kecil menanggapi perkataan Emak. Dia menepuk-nepuk paha Belvin sambil berujar, “Woalah, ya sama aja, Jeng. Belvin ya seperti ini. Serba pas-pasan juga. Aku malah bersyukur kalau Nak Rohman bisa membuat Belvin jadi lebih baik ke depannya.”
Mereka berdua, nyonya-nyonya gembira itu sangat rendah hati. Dengan keceriaan ala personil JKT-48 saling sodor anak yang menurut mereka pas-pasan. Ini pembanggaan apa pelecehan, ya? Berkali-kali aku mencubit pinggang lebar Emak kalau dia sudah kelewatan buka-bukaannya. Gemas. Sampai-sampai terlintas ide untuk menyuapkan kue lapis tiga potong sekaligus ke mulut Emak biar bisa diam barang sejenak. Lah, masa dia jujur amat bilang kalau aku ini kadang suka malas mandi, sering kebalik pakai baju, keseringan beli kuota sampai berakhir kas bon sebelum akhir bulan, dan kedok-kedok lainnya?
“Nih, ya, Jeng. Tak kasih tahu juga, Belvin itu anaknya pemarah, ngambekan, suka manyun tanpa alasan. Hobi nyalon, tapi gak mau keluar duit banyak. Kalau bangun tidur suka nungging terus kentut. Mana sukanya makan pete dan jengkol.” Bu Aini terkikik lagi.
“Apaan, sih, Ma. Nggak lucu tahu nggak! Umbar-umbar hal kek gitu. Lagian aku ini bukan barang dagangan. Gak perlu dipromoin. Kalo bukan karena pesan terakhir Ayah, gak mungkin aku mau nikah sama dia.” Belvin melotot lagi ke arahku.
Suasana hening seketika Belvin membuka suara. Keringat dingin yang tadi mengaliri tengkuk tidak terasa menetes lagi. Hawa gerah tiba-tiba menyergap. Seluruh tubuhku memanas. Ada rasa nyelekit di hati mendengar kalimat yang terlontar dari bibirnya. Andai dia lelaki dan kami hanya berdua, pasti gamparanku sudah mendarat ke wajahnya. Ini penghinaan secara langsung, penginjakan harga diriku, lebih-lebih di mata Emak–orang yang hingga detik ini masih merasa bertanggung jawab atasku.
“Nggak pa-pa, Mbakyu. Namanya manusia pasti ada lebih dan kurangnya masing-masing. Itu makanya satu pasangan akan saling melengkapi nantinya. Ya, ‘kan?” Tiba-tiba Emak menepis kesenyapan. Kata-katanya dingin menyejukkan hati dan suasana, tak terdengar seperti logat Emak yang biasanya meletup-letup.
“Ah, iya benar, Jeng. Ya sudah, kita lanjut ke meja makan, yuk! Jeng Husna mau bantu nyiapin makan, ya? Biar Belvin sama Rohman saling kenal dulu.”
Emak menggangguk tanpa beban. Seulas senyum kembali terbit di parasnya. Lantas, dia bangkit dan meninggalkanku. Tersisa aku dan si singa betina itu! Seseorang yang belum lagi menjadi bagian hidupku, tapi sudah berani menusuk hatiku dan Emak secara tidak langsung. Parahnya, hingga dua ibu tadi beranjak pergi, tak tampak gurat sesal di wajahnya sebab telah berbicara sekasar tadi.
“Hei, Nona! Asal kamu tahu, ya. Aku juga nggak tertarik sama kamu. Kalo bukan karena Emak, bertemu sama kamu pun aku nggak sudi. Jadi jangan sok cantik apalagi baik! Banyak ngaca sana!” Kuberanikan diri memberi gertakan. Padahal, sebenarnya nyaliku seakan-akan habis ditelan sorot tajam mata Belvin. Mau bagaimana lagi, gadis ini harus diberi sedikit pelajaran, minimal sopan santun.
“Ya udah, sama. Jadi nggak usah banyak protes juga! Nggak usah sok ngatur! Kaya kamu yang paling wah aja! Dih,” selorohnya.
Sialan! Dasar kepala batu! Perempuan tak punya otak! Tak punya hati! Tak punya akhlak! Zonk sopan santun! Egois! Sok! Musibah! Gerutuanku keluar berentetan layaknya petasan gantung walau hanya dalam hati. Rasanya percuma kalau kuladeni kesongongannya, sebab yang kutahu kodrat wanita itu memang selalu merasa paling benar! Sialan!
***
Emak membisu sepanjang perjalanan pulang. Dia anteng duduk membonceng, tidak berisik seperti di rumah calon besannya tadi. Jika kata hatiku benar, mungkin Emak sedang termenung karena memikirkan ucapan kasar Belvin.
“Mak, kenyang apa ngantuk? Diem mulu?” Kutengok ke arah kiri sekejap, lalu kembali fokus mengendarai motorku. Sekadar agar Emak tahu kalau aku sedang mengajak bicara.
“Kenyang, Man.” Emak tertawa kecil.
“Serius, nggak kenapa-kenapa? Emak nggak lagi sensi mikirin ucapan cewek itu, ‘kan?” godaku.
“Apaan, sih? Emak nggak ngerti lu ngomong apaan?”
Kuhentikan laju motor, lantas perlahan-lahan menepi ke dekat trotorar. Aku menoleh ke arah Emak dan bicara serius, “Kalo Emak nggak sreg punya mantu kek dia, ya udah batalin aja. Lagian apa Rohman bilang, ini bukan zaman Siti Nurbayah, Mak. Ini zaman now. Wajahnya aja udah mirip artis dangdut dadakan. Songong, gak ada etitut pula. Ya, ‘kan?”
Kukira Emak bakal setuju dengan pendapatku. Namun tak dinyana, satu bogem mendarat mentah-mentah di lenganku tanpa bisa kuhalau. Mode ngamuk Emak mendadak on.
“Nggak usah banyak alasan lu, Man. Bulan depan, tanggal sebelas tanggal pernikahan elu. Emak nggak mau tahu, hari itu lu gak boleh kabur ke mana-mana. Awas kalo sampe bikin masalah dan nggak jadi kawin sama Belpin. Abis riwayat lu jadi anak Emak! Ngerti?”
“I–iya, Mak. Ngerti, ngerti dah,” jawabku pasrah, sebelum terlambat dan mendapat gampratan kedua dari Emak.
“Ya udah jalan. Emak keburu ngantuk ini.”
“Elaaah, Mak. Tadi katanya kenyang, sekarang bilang ngantuk.”
“Ya bikos kenyang Emak jadi ngantuk, Rohman! Lama amat loading lu!”
What? Emak bilang loading-ku lama? Wah, penghinaan ini!
***
Tiga hari ini terasa berbeda. Pertama, karena pikiranku jadi semakin sumpek oleh penegasan Emak. Rencana pernikahan dengan Belvin akan dipersiapkan satu bulan, tiga minggu, dan sebelas jam dari sekarang. Tidak bisa diganggu gugat. Mulai dari kemarin Emak sudah menerorku dengan poin-poin penting menjelang hari H.
“Nah, lu dengerin Emak sekarang. Duit tabungan lu ambil semua, ada kurangnya nanti urusan Emak. Gampanglah! Trus, tiap pulang kerja jangan kelayapan. Langsung pulang ge pe el. Lu kudu siaga anter Emak kalo wara-wiri ke mane-mane.” Emak menjeda sebentar, kemudian bicara lagi, “Dan, gak hanya emak yang pastinya butuh lu. Suatu waktu si Belpin pasti minta anter beli keperluan peningset. Lu turutin aja apa mau dia, bla … bla … bla ….”
Otakku mengepul seketika mendengar dentuman meriam yang jedar-jeder lewat di telinga. Tak tahan lagi, akhirnya kupasang earphone sambil tetap pura-pura memerhatikan Emak. Ada hampir setengah jam si Emak buka tutup mulut sambil kipas-kipas kegerahan pakai contoh kertas undangan. Maklum, tiba-tiba PLN memutus aliran listrik saat Emak baru menyelesaikan satu paragraf cuap-cuap. Nah, aliran listrik saja minder sama suara emakku yang bertegangan tinggi! Woah!
Keriuhan juga terjadi pagi tadi, ketika aku sedang serius mengikat tali sepatu–sebelum berangkat kerja. Jadilah konsentrasiku buyar, tali sepatu jadi tersangkut masing-masing antara sepatu kanan dan sepatu kiri. Lucu? No, it’s okay. Emak selalu begitu, dan efeknya juga selalu begitu buatku. Perut yang belum terisi sarapan pun seketika penuh rasanya. Ya, penuh dengan serangan ultimatum. Rencana pernikahan dadakanku memang sukses menaikkan kuantitas kalimat ajaibnya.
Lalu, hal kedua yang membuat tiga hari ini berbeda adalah kesunyian. Sunyi karena belum ada sebuah kata pun kukeluarkan sebagai uneg-uneg untuk melepas beban hati. Sunyi karena tidak ada pantai yang biasanya ada untuk mendengarkan teriakanku akan Emak dan hal lainnya. Sunyi karena dia absen hadir di depan mata, hingga aku ingin mencarinya.
Kamila. Dia serupa pantai tempat riak selalu datang menghampiri dan berkeluh kesah. Pantai yang selalu ada saat debur ombak tengah gelisah. Namun, pantai itu kini menghilang. Ah, tidak! Dia tidak pernah menghilang. Mungkin aku yang lupa jalan dan tersesat menemukannya. Bisa jadi pula aku memang belum menghafal di mana dia seharusnya berada.
Biasanya, kami makan di kantin bersama saat jam istirahat tiba. Biasanya kami saling tahu jadwal sif masing-masing. Biasanya aku melihat dia mem-back-up kasir saat juniornya libur. Biasanya aku mengajaknya pulang bersama kalau Abah Shobur ada halangan menjemputnya. Biasanya dia segera mencari tahu kelanjutan cerita seruku tentang Emak. Biasanya dia selalu menutupi tawa dengan ujung jilbab saat mendengar kisah konyolku. Biasanya ….
Kali ini tidak seperti biasanya ….
Pada hari aku bertandang ke rumah Belvin, Kamila memang sedang off. Saat itu dia mengirim pesan Whatsapp yang isinya “Good luck, ya, Man. Semoga doa kamu sama Emak diijabah Allah. Lancar sampai hari H”. Setelah itu, dia tidak tampak duduk di meja kepala kasir hingga hari ini, baik pada sif siang maupun sif malam.
Pesan dariku tak dibaca. Panggilan telepon juga tak dijawab. Entah kenapa perasaanku jadi cemas. Selentingan kudengar dari anak kasir yang sedang magang, kalau Kamila izin karena sakit. Jadi, kuputuskan untuk menengok ke rumahnya sepulang kerja.
Rumah Kamila adalah rumah pertama di kompleks dekat kampungku. Rumah besar bercat hijau muda dan putih, dengan bagian teras yang dipenuhi susunan rapi meja dan kursi pengunjung. Ada banner bertuliskan “Bubur Sumsum H. Shobur” besar-besar, yang tali pengikatnya terpancang di sepanjang pagar besi. Meski kenal dengan Kamila dan keluarganya sejak kecil, aku terbilang tidak terlalu sering berkunjung ke rumahnya. Hanya sesekali jika ada keperluan mendesak. Rasa sungkan mendominasi, sebab keluarga mereka cukup terpandang. Haji Shobur yang akrab dipanggil Abah juga guru mengaji saat kecil. Sementara aku hanya anak Emak yang serba pas-pasan, seperti yang Emak bilang.
Ummi Arin baru selesai membereskan meja dan kursi dan hendak mengambil sapu lidi saat aku tiba di rumahnya. Seulas senyum tergambar di wajahnya demi menyambutku. Lalu, tanpa banyak basa-basi, dia menyilakan masuk. Batal menyapu halaman, wanita berpostur tinggi sedang itu ikut masuk ke rumahnya dan memanggil Kamila. Aku menunggu di ruang tamu, masih dengan perasaan gelisah. Tiga hari itu waktu yang terlalu lama untuk menyimpan banyak cerita.
“Assalamualaikum, Man.” Kamila menegur. Dia keluar dari kamar dengan lesu. Badannya terbalut baju hangat dan jilbab instan warna dusty. Dengan dibantu Ummi, dia duduk di sofa di hadapanku.
Aku agak tergemap melihat wajah Kamila yang seperti dipoles bedak putih. Dia tampak terlalu pucat untuk ukuran kulit epidermisnya yang cenderung kuning langsat. Kujawab salam lalu segera menanyakan kabarnya.
“Cuma sakit flu, meriang,” katanya.
“Merindukan kasih sayang, apa merindukan Mas Rohman tersayang?” Candaan yang spontanitas.
Kamila tersenyum simpul. Tidak terlalu menanggapi. Hanya, beberapa saat kemudian dia bertanya, “Gimana calon istri kamu, Man? Cocok? Jadi kapan nikahnya?”
Awalnya aku tersipu malu, eh … biasanya bikin malu, sih! Lama-kelamaan jadi tersentil untuk bercerita. Curahan hati yang terpendam tiga hari ini tiba-tiba meledak tanpa kontrol.
“Cantik, sih, cantik, tapi sopan santunnya … nol! Belvin si singa betina itu lebih mirip preman orkes dangdut ketimbang muslimah sejati. Bener-bener nggak ada etitut, Mil.”
“Tapi nggak nyesel, ‘kan?” Sesimpel itu tanggapan Kamila.
“Ya nyesel, eh … belum. Kan, belum tahu nanti ke depannya kek gimana. Tapi kalau seandainya mungkin, aku nggak pengen nikah sama dia. Allah tega banget jodohin aku sama dia.” Wajahku kutekuk dengan mimik sememelas mungkin, sekadar agar Kamila merasa lucu dengan tingkahku.
Anehnya, Kamila tidak merasa lucu, tersenyum, maupun tersipu seperti biasanya. Ah, ini memang tidak seperti biasanya. Paras yang masih pucat hampir tak berekspresi. Datar, sedatar detik-detik waktu yang berlarian di antara keheningan kami.
Kami saling menatap hingga akhir puncak kegelisahanku tak lagi tertahankan. Aku menyudahi sunyi, hendak mengucap pamit. Namun, suara lirih Kamila kembali mengunci lagi bibirku.
“Dan Tuhan-mu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya. Sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka.”
Aku bukan orang yang pandai, tapi aku mengerti makna potongan ayat yang sedang dibacakan Kamila. Aku cukup mengerti. Satu-dua menit berlalu, dan aku hanya manggut-manggut tidak jelas sambil tersenyum samar. Jika Allah memang telah menciptakan apa yang pantas bagiku, maka akan kupantaskan diriku baginya. Jika dia belum pantas bagiku, bukan berarti tidak! Aku akan menjadikannya pantas untukku. Jika ada yang harus diubah untuk mendapatkan kepantasan itu, maka orang itu adalah aku.
Senyumku melebar, dan lalu kulihat Kamila juga tersenyum lebar. Binar mata itu kembali menambah rona. Sayangnya, aku tak sempat mengucapkan terima kasih. Ponsel di saku celanaku bergetar intens diiiringi dering nada panggilan khusus lagu Ibu milik Iwan Fals. Nada dering spesial pertanda panggilan dari orang spesial pula. Yes, my Emak!
“Assalamualaikum wa rahma–“
“Udah emak bilang, pulang langsung pulang! Jangan keluyuran! Emak sibuk ngurusin ini-itu, lu malah nggak tahu waktu! Pulang, se–ka–rang! Anterin emak ke rumah Belpin. Nggak pake komen.”
Panggilan terputus. Dadaku kembang-kempis.
Astaghfirullah ….
Astaghfirullah ….
Astagfirullahal adzim, emakku ….
Bersambung ….
Episode Sebelumnya (Bab 1 – Emak)
Episode Selanjutnya (Bab 3 – Cincin)
Dyah Diputri. Pecinta diksi yang tak sempurna.
FB: Semutnya Al El, email: dyahdiputri@gmail.com.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata