Sepatu Aira dan Kisah-Kisah di Dalamnya

Sepatu Aira dan Kisah-Kisah di Dalamnya

Sepatu Aira dan Kisah-Kisah di Dalamnya
Oleh : NurAida Zain

Itu Sabtu malam, saat Aira menangis karena kehilangan sepatunya. Berkali-kali aku membujuknya untuk tidur, besok kami akan membeli sepatu yang baru, yang warna merah jambu dan ada gambar kuda poninya. Aira selalu bilang kalau dia suka sepatu merah jambu, dia juga suka dengan kuda poni. Katanya, jika tengah malam dia akan keluar dari kamar, menuju halaman belakang, dan di sanalah dia bertemu kuda poni yang akan membawanya terbang menuju Desa Pelangi.

“Nama desa yang bagus,” pujiku atas imajinasinya. Mungkin jika sudah besar nanti dia akan jadi pengarang yang berbakat seperti papanya. Tapi semoga saja tidak.

“Desa itu tingggiii bangeeet, ada di atas awan, Ma! Kalau mau masuk ke sana, kita harus meluncur di atas pelangi dulu, sama kayak meluncur di atas perosotan di taman samping sekolah,” lanjutnya antusias.

“Gak takut jatuh?” tanyaku yang tak melepas senyum saat menangkup wajah putriku. Memangnya ada pelangi saat tengah malam?

“Enggak, dong!”

Aku manggut-manggut. Putriku ini memang agak tomboi. Mana takut dia jatuh dari perosotan. Saat kakinya baret dicakar kucing pun dia malah berdiri tegap, melepas sandal dan menyambit kucing yang telah mencakar kakinya sambil berteriak, “Awas kalau berani dekat-dekat!” Betul-betul dia itu, mirip sekali dengan papanya. Baik warna kulitnya yang kuning langsat, bibir atasnya yang membentuk huruf M, dahinya yang lebar, serta sifat dan bakat mengarangnya, semua menurun dari papanya.

Bicara tentang papanya, aku hanya bisa menghela napas. Terlebih saat tahu alasan Aira menangis kencang sekali hanya karena sepatunya yang bahkan sudah sedikit bolong itu hilang.

“Aku gak mau sepatu baru! Gak boleh ada yang gantiin Papa!” Dia menangis sambil memeluk sepatunya yang tinggal satu, menenggelamkan diri di balik selimut.

Aku menepuk-nepuk pelan tubuhnya yang masih bersembunyi di dalam selimut, dia tidak akan suka jika aku menyibak selimutnya di saat seperti ini. Dia benci terlihat cengeng, setidaknya begitulah yang aku tangkap dari tingkahnya selama ini. Aku juga tidak berani membahas tentang sepatu baru. Jika itu hati, maka kehilangan sebelah pasang sepatu sama seperti kehilangan sebelah hati untuk Aira. Sebelah hati adalah dirinya, dan sebelah lagi adalah papanya. Dan itu sama artinya dengan dia kehilangan papanya untuk kedua kalinya.

Ya, papanya pergi, tepat saat usia Aira menginjak angka tujuh, meninggalkan sepasang sepatu sebagai hadiah ulang tahun untuk putri kami satu-satunya. Dia pergi bersama khayalan-khayalan bodohnya, anggaplah begitu. Setelah melewati masa tersaruk-saruk mengirim satu per satu tulisannya ke media, ribuan kali ditolak, dan meski begitu dia tetap giat menulis saat duduk di halte sembari menunggu bus, di toilet (yang katanya itu adalah tempat terbaik untuk menemukan inspirasi, sehingga dia tidak pernah lupa untuk membawa buku kecil dan pulpen sebelum masuk toilet untuk buang air besar), di meja kasir saat sedang kosong antrean pembeli, di meja makan (baik sedang sarapan atau makan malam). Juga masa di mana tulisannya sudah dibaca banyak orang, dan dia sudah menjadi penulis yang namanya dielu-elukan.

Namun, beberapa bulan sebelum kematiannya, dia terus berada di depan laptop seperti orang kesetanan. Mengumpat, menjambak rambut, dan seringnya menegak alkohol, dan kadang memukul-mukul laptopnya. Dan dua bulan sebelum kematiannya, dia sempat mengatakan kepadaku, “Semuanya sudah hancur.”

Entah apa yang hancur. Dia tidak pernah bercerita, hanya sibuk menenggelamkan diri bersama alkohol, tak lama kemudian dia merapikan meja kerjanya. Menyimpan buku-buku, pulpen, kertas, laptop, dan hal apa pun yang bersangkutan dengan menulis. Kata-kata “aku gak bisa hidup tanpa menulis” kurasa tidak main-main diucapkannya ketika kami masih berkencan dan dia bercerita tentang hobinya. Karena setelah cukup lama tidak menulis, dia tidak lagi hidup. Memilih mengakhiri hidupnya dengan gantung diri di ruang kerjanya.

Kuakui, dia pria payah yang membuatku menyesal telah menghabiskan banyak waktu hanya untuk mencintainya, juga merindukannya. Dia ayah tak berguna yang membuat putriku menangis tiap malam sebelum tidur karena hobi berlama-lama memandangi fotonya yang disembunyikan di bawah bantal. Hanya saja, tak bisa kumungkiri kalau dia tak seburuk itu. Buktinya dia menyiapkan hadiah sebelum menggantung dirinya.

Bisa jadi hadiah itu dia dapatkan setelah memeriksa semua saku, mengorek-ngorek celengan, juga entah bagaimana cara lainnya sehingga uang itu terkumpul dan dibelikannya sepasang sepatu hitam polos ukuran 25, pas dengan ukuran kaki putri kami. Dan bisa jadi setelah meneguk beberapa botol alkohol, dia keluar rumah, membawa uang yang berhasil dikumpulkannya, berjalan sempoyongan, satu-dua kali uang yang dipegangnya jatuh ke jalanan, dua koin menggelinding dan satunya menceburkan diri ke got. Lalu dia memunggut uang-uang yang jatuh itu, dan berbaring di pinggir got saat mengambil koin yang bercampur dengan tanah basah di got, hampir tertidur di sana sampai pagi. Namun, karena ingat kalau putri kami akan berulang tahun, dia mengumpulkan kesadarannya. Bangkit setelah menemukan uang yang dicarinya, lalu mengelap-elapkan uang itu ke celana panjangnya, dan melanjutkan perjalanan ke toko sepatu yang buka saat tengah malam sambil memegang uang dalam genggamannya dengan hati-hati, takut jika uang-uang itu kabur lagi dan membuatnya kerepotan.

Dan jauh di atas sana—setelah menunggangi kuda poni dan meluncuri pelangi—Aira melihat bagaimana papanya berjuang untuk membelikannya sepasang sepatu dari Desa Pelangi, sehingga dia sangat menyukai sepatu hadiah ulang tahun dari papanya, juga menyukai papanya lebih dari rasa sakitnya dikarenakan kehilangan.

Dan kuharap Aira tak akan pernah jadi pengarang seperti papanya, atau menjadi apa pun yang dapat membuatku kehilangannya. Aku ingin waktu berhenti di sini, saat Aira keluar dari balik selimut, memelukku erat. Aku ingin dia tetap jadi putri kecilku. Selalu berada di sisiku.

 

17 Juni 2020

NurAida Zain, seorang ibu rumah tangga yang sedang belajar menulis.

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply