Pria yang Menjahit Hati Wanita
Oleh : Vianda Alshafaq
Tadinya saya pikir kampung ini adalah kampung yang ramai. Padat penduduk. Banyak anak-anak yang bermain kelereng, bermain tali karet atau hanya sekadar bermain petak umpet—sebagaimana di kampung saya. Setelah melewati perjalanan panjang, sekitar tiga jam, saya sampai di Kampung Layat ini. Saya ingin melayat. Ada seorang kenalan saya yang meninggal kemarin. Kabar-kabarnya dia meninggal setelah hatinya dijahit oleh seorang pria yang pandai menjahit hati.
Saya tidak tahu di mana rumah kenalan saya itu. Dari tadi saya menoleh ke kiri dan kanan, mencari seseorang yang bisa dijadikan sebagai tempat bertanya. Tapi, nihil. Tak ada satu pun orang yang lewat. Bahkan rumah-rumah yang ada di sekitar saya tertutup rapat, seperti tidak ada penghuninya.
Saya semakin linglung setelah menunggu hampir satu jam tapi masih juga tidak ada yang lewat. Kampung macam apa ini! Tidak ada manusianya sama sekali! Saya mengetuk-ngetukkan kaki ke trotoar. Barangkali dengan demikian saya bisa membunuh kebosanan yang sudah dari tadi menggerogoti. Sial! Saya sudah tidak tahan dengan keadaan seperti ini!
Saya kembali menoleh ke kanan. Barangkali ada satu saja manusia yang lewat. Dan, kali ini keberuntungan berpihak kepada saya. Di sana, sekitar 100 meter dari tempat saya berdiri, saya melihat seorang pria. Dengan langkah cepat, saya mendekati pria itu.
Pria itu terlihat menyampirkan benang merah jambu di bahunya. Sementara tangannya memegang sebuah jarum jahit yang tampaknya sangat tajam. Sebentar! Sepertinya saya pernah mendengar cerita tentang pria yang seperti ini.
Saya berpikir lagi. Saya lihat pria itu seteliti mungkin. Gotca! Saya ingat. Waktu itu, kenalan saya—yang meninggal kemarin—pernah menceritakan pria ini. Pria yang pandai menjahit hati wanita, begitu katanya.
“Maaf, Mas. Saya mau nanya, apa Mas tahu di mana rumah Layang, yang meninggal setelah hatinya dijahit?”
“Ah, tentu saja. Mbak lurus saja, nanti di depan ada gang kecil, masuklah ke dalam, lalu belok kiri, kemudian sekitar lima meter ada belokan lagi. Beloklah ke kanan. Mbak bisa melihat bendera putih nanti di sana. Itu rumahnya.” Pria itu melenggang pergi. Dia masih memainkan ujung benang yang sudah masuk ke dalam lubang jarumnya.
Takut-takut nanti saya lupa arahnya, saya memilih untuk berjalan seperti yang dijelaskan pria tadi. Saya mengabaikan pria itu yang masih berjalan, entah akan ke mana.
***
“Apa maksudmu? Kamu akan meninggalkan aku setelah lima tahun kita menjalani hubungan ini. Tidak! Kamu tidak bisa begini. Aku sangat mencintaimu! Kamu tidak boleh begini.”
Saya tidak bisa lagi menahan semua ini. Saya sangat mencintainya. Entah apa yang ada pada gadis itu sehingga dia memilih meninggalkan saya untuk gadis itu. Saya akui, gadis itu lebih muda dari saya. Kulitnya juga lebih halus. Dia benar-benar gadis yang manis. Tapi bukan berarti dia bisa meninggalkan saya begitu saja, ‘kan? Apa menurut dia hubungan kami yang sudah mencapai angka lima ini tidak ada artinya?
“Aku tidak peduli. Aku tidak lagi mencintaimu. Pergilah! Aku sudah tidak ingin melihatmu!”
Saya sudah tidak tahan lagi. Tangan saya melayang begitu saja dan tepat mengenai pipi laki-laki berengsek itu. Air sudah menggenang di mata saya, sudah seperti Danau Toba. Saya merasakan sakit yang luar biasa di dada saya. Tidak bisa saya gambarkan. Rasanya saya ingin mati saja daripada merasakan sakit ini.
Saya mengambil sebuah pisau. Saya sayat kulit di bagian dada saya dengan perlahan, hati-hati. Saya tidak ingin melukai jantung saya. Tangan saya sudah mulai memerah, dibanjiri darah.
Hati saya sudah hancur berkeping-keping. Seratus, dua ratus, atau entahlah, saya tidak bisa menghitungnya. Saya ambil sebuah mangkuk dan meletakkan hati saya di sana. Hati saya … tidak lagi terlihat seperti hati. Keadaannya benar-benar memprihatinkan. Hati saya sudah seperti kerikil-kerikil yang akan diaduk bersama semen.
Saya harus menemui pria yang menjahit hati itu. Hanya itu yang bisa saya pikirkan!
Saya memasukkan serpihan hati saya itu ke dalam sebuah botol. Dan, dengan segera saya pergi ke kampung itu.
Ah, dada saya masih terbuka! Bagaimana saya akan keluar rumah jika begini. Tak ada pilihan lain selain menjahit dada saya terlebih dahulu.
Setelah menjahit dada saya—dengan jahitan ala kadarnya—saya berangkat menuju Kampung Layat.
***
Seperti ketika saya ke Kampung Layat waktu itu, kampung ini masih sepi. Tak berpenghuni. Tapi, bedanya, kali ini saya melihat sebuah toko dengan pintu terbuka. Entah toko apa, saya tidak tahu.
Saya pergi ke toko itu. Niat saya jelas ingin bertanya ke mana saya harus pergi agar saya bisa bertemu dengan Pria Penjahit. Saya masuk saja ke toko itu dan menghampiri seorang pria yang duduk di sebuah kursi di pojok ruangan. Lelaki itu melihat ke pada saya—sebelumnya dia menunduk, membaca sebuah buku.
Saya tidak menyangka bahwa pria ini adalah pria yang saya temui waktu itu. Itu artinya pria ini adalah Pria Penjahit.
“Saya ingin menjahit hati saya.” Saya tidak mau berbasa-basi.
Pria Penjahit tersenyum ramah. Dia meminta saya untuk duduk di kursi yang tepat berada di sampingnya.
“Mbak yang waktu itu bertanya pada saya, ‘kan?”
Saya hanya mengangguk, tidak berniat menanggapinya dengan kata-kata.
Lagi-lagi Pria Penjahit itu tersenyum.
“Saya bisa saja menjahit hati Mbak. Asal Mbak siap dengan segala risikonya.”
“Saya terima apa pun risikonya. Saya hanya ingin menjahit hati saya yang sudah hancur berkeping-keping ini.”
Saya menyerahkan botol berisi kepingan hati saya pada Pria Penjahit. Laki-laki itu mulai mengerjakan tugasnya, menjahit hati saya.
Saya melihat bagaimana dia menusukkan jarum yang sudah dipasangi benang merah jambu itu. Dia merakit hati saya dengan hati-hati. Satu demi satu. Menjahitnya sehalus mungkin sehingga tidak tampak bahwa hati saya pernah sehancur itu.
Sudah satu jam, Pria Penjahit akhirnya mengambil kepingan terakhir. Dengan sangat hati-hati dan pelan, dia menyambungkan kepingan itu dengan kepingan lainnya.
Selesai!
Hati saya sudah kembali utuh. Saya mengambil hati itu dengan kedua tangan saya. Menatapnya lamat-lamat. Jahitannya benar-benar halus, bahkan jika tak diperhatikan dengan benar, jahitannya tidak tampak.
Sudah saatnya saya memasangkan kembali hati saya. Saya mengambil gunting kecil yang sengaja saya bawa dalam tas. Saya putuskan benang-benang yang tadi mengikat kulit dada saya—setelah saya sayat. Setelah selesai membereskan benang-benang itu, saya berniat memasukkan hati saya kembali.
Tapi, sebentar! Pria Penjahit tadi mengatakan bahwa saya harus siap menanggung risikonya.
“Maaf, Mas. Saya mau tanya. Risikonya apa setelah saya menjahit hati saya?”
Pria Penjahit itu tersenyum.
“Hati Mbak tidak akan pernah hancur lagi. Selamat beristirahat.” [*]
Vianda Alshafaq, seorang mahasiswa yang sedang lelah dengan tugas-tugasnya. Bisa dihubungi melalui akun Facebook: Vianda Alshafaq.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata