Wira dan Pilihan Hidupnya
Oleh : Lutfi Rose
“Ayo ikut ke Jakarta!”
Kalimat itu kulontarkan ketika mengajak sepupuku saat aku pulang kampung. Aku merasa kasihan melihat dia menganggur tak punya kegiatan positif. Tiap malam kerjanya nongkrong di balai bambu main catur sambil ngopi mengobrolkan hal tak jelas dengan teman seusianya. Selepas SMA dia memang belum pernah bekerja.
“Memang aku bisa kerja apa di sana, Den?”
“Ikut aku saja, seingatku kamu kan pernah belajar jahit sama Bapak. Sudah ada dasar, tinggal asah saja, Wi.”
Mulai saat itu keluarga menitipkan Wira—anak adik bapak—kepadaku. Kami memang sebaya, karenanya kami terbiasa memanggil nama tanpa embel-embel mas.
Wira pemuda yang tekun, dia melahap apa yang aku ajarkan seperti makan kacang kulit saja, sejenak dia kelupas langsung dimakan tanpa susah payah. Seperti yang sudah kuperhitungkan tak butuh waktu lama, satu bulan saja, dia sudah bisa dipegangi kerjaan yang lebih rumit. Menjahit menjadi hobi baru yang menghasilkan baginya.
Setahun berlalu tak terasa lama. Orderan mulai ramai menjelang tahun baru. Gaun-gaun pesta, kebaya akad nikah, seragam keluarga mengantre rapi di buku catatanku. Wira sering memilih menghabiskan waktu dan menginap di butik ketimbang pulang ke rumahku. Katanya tak enak dengan istriku. Dia memang selalu memakai perasaan terlalu dalam.
“Kamu boleh kok membuka butik sendiri, Wi. Kurasa kemampuanmu setahun ini berkembang pesat. Coba besok kita cari tempat yang strategis di daerah sini.”
“Aku belum pede, Den. Kalau kamu gak keberatan aku mau di sini dulu.”
“Bener?”
“Iya. Lagian belum ada cukup modal.”
***
Setelah Wira berhasil membuka sebuah butik kecil di bilangan Bintaro, kami membuat promo besar-besaran. Lelah, jenuh, tak menjadi alasan kami mengadakan workshop keliling nusantara. Fasilitas media sosial memudahkan akses ke para penjahit pemula mengikuti program kami. Dari satu kota ke kota lain kami berbagi ilmu. Wira, satu anggota tim yang sangat antusias, dia yang workaholic seolah ingin menyelesaikan semua degan sempurna. Semua persiapan di lokasi, promosi, hingga penyediaan perlengkapan tak luput dari pengawasannya. Aku bahagia melihatnya begitu bersemangat.
Perjalanan kami mulai makin berwarna setelah kami melaksanakan workshop di sebuah kota kecil di Jogjakarta. Kami bertemu Indro, pria beristri yang berprofesi di bidang busana juga. Melihat brewoknya yang macho tak berindikasi apa pun. Pembawannya hamble dan menyenangkan. Kalimat-kalimatnya halus dan terpelajar. Dia memanggil Wira dengan sebutan “Dek”, secara dia memang masih terlihat unyu di usianya yang belum genap 22 tahun.
Kami melanjutkan workshop ke beberapa kota lain. Indro menawarkan diri bergabung di tim pemateri. Melihat kecakapannya dalam berbicara, aku mengizinkannya gabung. Memang jika dibandingkan diriku yang sedikit pemalu, kurasa dia akan memberi warna yang bebeda dalam kegiatan di kota berikutnya.
***
“Aku mau nutup butikku ya, Den,” ucapnya suatu pagi.
“Lo ngopo, kan sudah mulai jalan, Wi?”
“Mas Indro mengajakku joinan di Jogja?”
“Ya dipikir-pikir dulu, Wi. Sayang lho. Ikut orang ki ra enak.”
“Tapi aku kadung janji e.”
Tak kusangka percakapan itu mengawali musibah ini. Meski aku mulai merasa ada yang janggal, aku masih belum berani membuat dugaan macam-macam. Kukira Wira masih punya iman yang cukup untuk membuat tameng pada dirinya. Apalagi mengingat Indro punya anak istri. Segera kutepis semua kecurigaan itu.
***
“Den, aku sakit.” Suara Wira di ujung telepon setelah dua bulan tinggal di Jogja.
“Yo balik sini Wi.”
“Kasihan Mas Indro.” Suaranya terdengar penuh penyesalan.
“Opo tak susul?”
“Gak usah. Aku selesaikan tanggungan kemeja ini dulu. Nanti satu bulanan sepertinya selesai.”
Aku sempat terkejut mendengar kalimat Wira. Di Jakarta, dia spesial gaun dan kebaya. Bahkan dia selalu mengeluh jika ada orderan kemeja dan dilempar ke karyawanku yang lain. Dia bilang tidak ada seninya menjahit kemeja. Namun, bagaimana bisa dia menjahit kemeja dan dengan target yang tak masuk akal di sana.
“Masih tinggal di rumah Indro?” tanyaku menyelidik.
“Ya iya, Den. Mas Indro bilang nanti susah kalau aku ngontrak di luar, malamnya aku gak bisa lembur.”
“Kamu tidur di mana? Rumahnya kan sempit, Wi?”
“Di ruang tamu, Den. Tapi gak papa, kok, ada sofa. Mas Indro juga sering nemenin tidur bareng. Jadi aku gak sendirian.”
Hatiku terasa lepas dari tempatnya. Ini apa maksudnya. Sepupuku sudah, ah! Aku lupa mau berkata apa lagi.
Aku masih berusaha menunggu dengan sabar, sayangnya setelah satu bulan berlalu tak juga terdengar dering ponsel dari Wira. Janji dia untuk pulang ke Jakarta tak juga dia penuhi. Meski ragu aku putuskan meneleponnya sendiri.
“Wi, kamu gak jadi pulang Jakarta?”
“Jahitan Mas Indro masih banyak, Den. Aku gak sampai hati ninggalin dia.”
“Kamu sehat?”
“Rada flu, sih. Ntah kenopo lidahku pahit buat makan. Eeeem, aku bisa pijam dwit opo, Den? Buat ke dokter.”
“Lo kamu ini kerja mosok gak punya dwit, Wi?”
“Mas Indro masih belum bisa totalan, anaknya mau masuk SD. Lagian ongkos di sini murah, kasihan, Den.”
“Lalu apa yang kamu pertahankan, Wi. Pulanglah ke sini.”
Wira tak menjawab. Dadaku sesak sangat. Ini apa maunya si Indro? “Ya sudah aku transfer ke rekeningmu. Cepat ke dokter.”
Selepas mentransfer sejumlah uang, aku tercenung sendiri. Apa sebenarnya yang terjadi pada saudaraku. Mungkinkah yang kukhawatirkan benar terjadi?
***
Perjalanan Jakarta–Jogja terasa sangat lambat. Pikiranku ke mana-mana. Tergambar hal-hal yang mengerikan layaknya kaleodoskop di mataku. Aku merutuk ketika tak sengaja menubruk seorang pedagang asongan di pinggir jalan. Maaf, ucapku singkat dan lekas berlalu. Gang kecil menuju rumah Indro sudah tampak di kejauhan, aku melekaskan langkah. Hawa dingin Kota Jogja mencipta sensasi dingin yang berbeda dari Jakarta. Hari belum terlalu siang, kulirik jam di tangan kiriku, masih pukul 8 pagi.
Semoga kondisi Wira tak seburuk bayanganku. Setengah berlari aku menghampiri rumah sederhana bercat biru muda dengan tanaman hias yang rimbun di depannya. Sebuah papan berukuran 100 x 70 sentimeter terpasang di satu sisi teras bertuliskan “Indro Tailor”.
Kutarik napas sebelum mulai mengetuk pintu. Beberapa kali tak ada tanda-tanda sahutan. Kutarik gagang pintu, tidak terkunci. Aku masuk, mungkin penghuninya sedang di dapur atau di mana. Aku masih ingat situasi rumah ini, dua kali aku main ke sini dan sekali kami dan kru WS menginap ketika acara di kota gudeg harus berakhir terlalu malam. Di ruang tamu merangkap ruang kerja inilah kami menggelar tikar tidur berhimpitan tujuh orang, termasuk Wira dan Indro yang memilih tidur paling ujung berdampingan.
Aku mengucap salam. Hening. Masih tak ada jawaban. Aku ulangi lagi. Sebuah kepala menyembul dari balik pintu kamar dekat ruang tamu.
“Oh! Waalaikum salam, Mas Deni.”
Indro keluar dari kamar bertelanjang dada, hanya mengenakan celana boxer hitam. Dia berusaha menutupi kekikukannya dan meraih kaos oblong yang tersampir di samping mesin jahit di dekatku.
“Monggo, Mas, ngapunten habis lembur jadi ketiduran barusan.”
Aku basa basi membalas kalimatnya. “Wira mana, Mas?”
“Sebentar saya panggilkan.”
Belum sempat Indro menyebut nama Wira, sepupuku sudah keluar dari kamar yang sama dengan Indro dengan baju yang berantakan. Apa-apaan ini?
“Mbak Re kerja, ya, Mas?” Aku bertanya meski aku tahu pasti jawabnya apa.
Indro pamit membuat minuman setelah menyilakanku duduk. Kutatap wajah Wira lekat. Dia tampak menyembunyikan kekagetannya. Aku tak kuasa menanyainya lagi saat melihat wajahnya tampak pucat, badannya makin kurus.
“Sudah tak sakit?” Dia hanya menjawab dengan senyum canggung. “Ayo pulang denganku!” ucapku tanpa basa basi.
“Tidak sekarang, Den. Tanggunganku masih banyak.”
“Tanggungan apa? Wi, sudahlah. Ayo pulang.”
“Aku janji, setelah tanggunganku bulan ini selesai, aku akan pulang bersamamu.”
Aku benar-benar muak dengan situasi ini. Rasanya ingin aku tarik paksa si Wira pulang ke Jakarta. Aku beranjak berdiri hendak angkat kaki bersamaan tangannya menarikku.
“Aku pinjam uang, aku janji akan ke dokter nanti sore.”
“Apa? Beri aku alasan yang masuk akal. Wi. Kamu kerja keras dan gak punya uang? Seminggu saja kamu di Jakarta, berapa juta yang kamu dapat? Dan kamu lembur sampai sakit, tapi kamu tak punya uang?”
“Den, jangan keras-keras. Nanti Mas Indro dengar.”
Aku benar-benar sudah tak sanggup menahan emosiku. Aku tarik dompet dan memberi Wira beberapa lembar ratusan dan segera keluar. Masih sempet kudengar Wira mengucapkan maaf padaku.
Sepanjang perjalanan aku seperti berada dalam dunia lain. Apa sebenarnya yang ada di pikiran Wira. Kehidupan macam apa yang dijalani mereka saat ini. Aku mengumpat berkali-kali sepanjang kereta api melaju. Indro benar-benar brengsek!
***
“Bulek maafkan saya, nggih,” ucapku sambil memeluk ibu Wira.
Aku tak akan pernah mampu menghapus rasa bersalahku padanya. Anak bungsunya yang seyogyanya jadi harapan keluarga, kini tak bisa diharapkan lagi.
“Den, aku pingin pulang Jakarta, aku lelah di sini.”
Masih terngiang jelas ucapan Wira seminggu sebelum kabar duka itu. Kalau saja aku bisa, saat itu juga kujemput paksa dia di Jogja. Entah kenapa aku malah mengiyakan kemauannya tinggal. Kalau saja dia dapat penanganan lebih cepat, mungkin dia masih bisa tertolong. Semua salahku, aku lalai menjaganya.
Kalau saja aku mau lebih peka. Kalau saja aku tak menganggapnya hanya lelucon kala itu. Kalau saja aku segera menyeret Wira saat memergokinya berjalan bergandengan tangan di Klaten tempo hari. Dan kalau saja aku membiarkan dia tetap di Wonosobo. Mungkin dia masih baik-baik saja.
Aku bersimpuh di depan pusaranya. Tanah yang kupijak masih basah, sebasah luka yang tergores di setiap hati yang Wira tinggalkan.
“Lihatlah, Wi. Bahkan di pemakamanmu saja dia tak datang,” ucapku sambil meremas geram tanah pusara. “Wi, mengapa harus berakhir begini? Meski kematian adalah takdir Tuhan, memilih mengikuti hasrat terlarangmu nyatanya mempercepat takdir itu menghampirimu.(*)
Lutfi Rose, seorang Ibu yang akan berproses menjadi lebih baik bersama keempat buah hatinya.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata.