Yang Pergi, Bertemu, dan Entah (Episode 11)

Yang Pergi, Bertemu, dan Entah (Episode 11)

Yang Pergi, Bertemu, dan Entah (Episode 11)
Oleh : Halimah Banani

[POV Peony]

Belum juga aku mencerna tentang apa yang kulihat sekarang, seorang gadis dan pemuda bertas punggung datang bersama sesosok makhluk pendek dengan tubuh berselaput urat-urat daun yang berwarna hijau dan memiliki sayap yang bergonta-ganti warna dalam sekejap: hitam dan putih. Di belakang mereka ada sekumpulan makhluk berwarna cokelat dan bersekat-sekat seperti batang bambu, sama pendeknya dengan si hijau, hanya saja mereka tidak bersayap. Mungkin kedua orang itu adalah tuan dan nyonya pesta ini, pemilik istana berdinding lumut dengan taman luas yang dipenuhsesaki oleh guci di sana sini. Rasanya, jika dilihat dengan saksama, mereka seumuran denganku, juga kamu.

Aku menggeleng-gelengkan kepala, membuyarkan pikiran kalau gadis yang tengah menatapku kini adalah calon istrimu. Tidak mungkin, dia tak masuk ke dalam tipemu, pikirku.

“Hei, Py! Bagaimana? Apa yang akan kamu lakukan jika mendapati bahwa kamu yang sekarang bukanlah kamu yang sebenarnya?” Pertanyaan itu kembali terngiang saat aku mengalihkan pandangan darinya.

“Aku … aku belum memikirkannya.”

“Ya sudah, kalau begitu, kita tidak usah memikirkannya. Mari kita pikirkan hal lain.”

“Seperti apa?”

“Menikah, misalnya?”

“Menikah?”

“Iya, menikah. Kamu dan aku.”

Iya, kita akan menikah. Kamu akan menikah denganku, Zein, bukan dengan gadis itu. Gadis yang mengamatiku dari ujung kepala sampai ujung kaki. Tatapannya penuh selidik, sedang lelaki di sampingnya sibuk mengedarkan pandangan ke sekitar, seperti sedang mencari sesuatu atau mungkin seseorang.

Astaga, kenapa juga aku memikirkan soal pernikahan di tempat mengerikan ini. Aku harus mencari celah untuk bisa melarikan diri. Setengah mengumpulkan kesadaran, aku mengalihkan pandangan pada makhluk rupa-rupa, guci-guci yang baru kusadari berbentuk kepala manusia dengan gambar ekspresi sedih, takut, cemas, marah, juga ekspresi yang sulit kujelaskan, serta meja-meja dengan hidangan yang menggeliat-geliat di setiap piring besar. Semua yang ada di tempat ini, tampak sempurna dengan ketidakberesan. Mungkin peri-peri hutan pinus yang membawaku kemari untuk kemudian menyembelih dan menjadikanku santapan. Sial! Jika memang demikian, harusnya dulu aku merengek lebih keras kepada Ibu agar dijadikan tumbal, dilempar ke jurang setelah melewati beberapa ritual, mati seperti satu-dua temanku.

“Mereka ingin hidup dan kamu malah meminta mati?” tanya Ibu setelah mendaratkan tangannya ke pipiku dengan keras.

“Apa bagusnya hidup seperti ini?”

Ibu mendengkus, mengalihkan pandangan dariku. “Harusnya aku juga memohon mati sepertimu waktu itu, sehingga tidak perlu mengalami semua ini.”

Selagi mengingat kelanjutan ucapan Ibu sembari mengepal tangan kuat-kuat, aku tertegun ketika beberapa dari makhluk rupa-rupa di tempat ini perlahan mundur serentak, membuat lingkaran besar yang mengelilingiku juga dua orang di sana yang sibuk memperbincangkan entah. Gendang-gendang mulai ditambuhkan. Para makhluk itu menggemakan sesuatu yang tidak aku mengerti lalu menggali tanah di hadapan mereka dan mengubur kepala masing-masing, sedang beberapa lainnya membentuk lingkaran agak kecil, melolong keras.

“A—apa yang terjadi?”

“Sudah dimulai,” ucap wanita bergaun hitam gagak.

“Apa yang sudah dimulai?”

“Pestanya.”

“Pesta?”

Dia tidak menjawab, mulutnya sibuk berkomat-kamit. Aku kembali memperhatikan semua yang terjadi. Di hadapan para makhluk yang masih melolong, menyembullah batang-batang mawar yang duri-durinya cukup panjang dan tampak runcing seolah bersiap menusuk siapa pun yang berani mendekat atau menyentuhnya, bergerak lihai membentuk sebuah pagar setinggi tiga meter, sepertinya. Tak lama kemudian, dari arah jam 3, beberapa makhluk mengeluarkan kepalanya dari lubang galian, lantas menyingkir disusul munculnya makhluk bertubuh gorila berkepala banteng dengan kedua kaki yang terantai, berjalan cepat, menangkap dan menyeret lelaki bertas punggung itu ke sisi taman yang dikelilingi pagar duri.

Aku masih diam terpaku di tempatku. Sedang gadis yang kupikir adalah calon istrimu, yang tadi terduduk di atas rerumputan, kini bangkit, berlari mendekati pagar berduri, berteriak, “Zein! Zein!”

Tidak, aku pasti salah dengar. Meskipun kita tidak bertemu lima tahun lamanya, bukan berarti aku tidak dapat mengenalimu. Mata itu, bibir itu, sama sekali bukan kamu. Namun entah kenapa gadis berambut panjang tersebut terus meneriaki namamu.

“Zein! Zein!” panggil gadis itu lagi.

Hentikan! Kumohon hentikan! Lelaki itu bukan kamu. Tempat ini, tidak mungkin kamu berada di sini. Kumohon, Zein, ayo kita kembali ke masa di mana kamu mengajakku menikah. Ayo kita kembali ke masa itu. Saat kita kembali, aku akan mengatakan seluruh isi hatiku. Aku tidak akan melarikan diri atau menghindarimu.

Bedebah! Gadis itu benar-benar memanggilmu. Kamu yang baru muncul setelah diseret oleh makhluk berbadan gorila tadi ke dalam taman berpagar duri. Aku berlari, mendekati pagar berduri yang pintu masuknya dijaga oleh bayangan hitam yang tak bisa kutembus, berdiri tak jauh dari gadis-yang-masih-kukira-calon-istrimu, meneriaki namamu. Sayangnya, kamu tidak menoleh. Kamu bahkan hanya diam dengan tatapan kosong. Berdiri berhadap-hadapan dengan lelaki yang kini melepas tas punggungnya.

“Zein! Zein!”

Lagi, gadis itu menyerukan namamu, tapi kamu tak menoleh sedikit pun. Sampai dua bilah pedang dilemparkan ke tengah-tengah taman berpagar duri, kamu masih diam, sementara para makhluk rupa-rupa berteriak lantang. “Bunuh! Bunuh! Bunuh!” Barangkali begitu yang mereka ucapkan, karena tak lama setelahnya gadis itu mengatakan, “Tidak, kamu tidak boleh membunuhnya, Zein! Tidak boleh!”

Gendang-gendang masih ditambuhkan. Sebuah trompet dari gading gajah ditiup dan seketika angin berembus kencang. Para makhluk rupa-rupa mengeluarkan kepala mereka dari lubang galian, berbaur dengan yang lain. Menikmati hidangan sembari memperbincangkan sesuatu dengan pandangan tak lepas darimu dan lelaki di hadapanmu.

“Hei!”

Gadis itu … sepertinya dia berseru kepadaku. Mungkin dia ingin pamer karena kamu rela membunuh seorang lelaki yang mendekatinya atau mungkin selingkuhannya. Lelaki yang membuatnya memintamu untuk tidak membunuh.

“Maaf, Adiyah, Peony, silakan ikut kami!” ucap makhluk hijau yang entah sejak kapan berada di antara kami.

“Sudah kubilang, aku bukanlah orang yang kalian cari! Aku hanyalah orang desa, paham?”

Makhluk hijau itu diam, seketika sayapnya menjadi putih dan tak lagi mengepak. Dia menunduk.

“Kalian berdua tetap harus ikut. Ketua telah menunggu.”

“Kami berdua? Dan siapa ketua? Enak saja! Aku tidak mau! Bawa dia saja, kalau dia mau!” Gadis itu menunjukku.

“Kami tidak sedang memberikan pilihan. Kalian harus ikut. Berdiri di sini tidaklah aman. Sebentar lagi mereka akan bertarung.”

“Apa? Kamu bilang bertarung? Apa kamu pikir mereka yang di dalam sana adalah ayam peliharaan kalian?”

Gadis bernama Adiyah itu mengangkat tangan, tampak hendak memukul si hijau, tapi wanita bergaun hitam gagak yang sedari tadi berdiri di sampingku menghentikan, menggenggam tangan gadis itu. Tak lama, setelah gadis itu menatap tajam, dia lalu melepaskan genggamannya perlahan, beralih menghampir dan menyentuh bahuku.

“Mari ikut, ini menyangkut ramalan itu,” bisiknya. “Tentang ayahmu dan Zein.”

Tak lagi kuhiraukan gadis bernama Adiyah yang masih berdebat dengan si hijau, memilih untuk mengikuti wanita bergaun hitam gagak tanpa bertanya apa maksud ucapannya tadi. Sedikit menjauhi kerumunan, kami berbelok ke kanan lalu memasuki ruangan yang bersekat kain.

“Gantilah pakaianmu.”

“Untuk apa?”

“Ayahmu akan tiba sebentar lagi.”

“Lalu apa masalahnya?”

“Dia akan marah jika melihatmu berpakaian seperti ini.”

“Bagus jika dia marah.”

“Zein akan mati jika dia marah.”

Aku mendengkus, tak lagi membantah, melepas mahkota mengerikan yang diberikan si ranting lalu mengganti sweater serta rok payungku dengan gaun panjang berwarna merah jambu yang menjuntai hingga melebihi kaki. Seketika, makhluk bertubuh mungil dan gemuk serupa lebah menghampirku, merias wajahku. Tanpa memedulikan bagaimana dia mendandaniku, aku mengucir rambut, lantas setelah semuanya selesai, kuhampiri wanita bergaun hitam gagak.

“Pakai lagi mahkotamu.”

“Mahkota? Kamu sebut ular kering ini sebagai mahkota?”

Wanita bergaun hitam gagak itu diam. Tidak mengucapkan sepatah kata pun dan terus menatap kain penyekat ruangan ini. Kupakai kembali mahkota yang tadi kuletakkan di meja samping kursi batu.

“Duduklah, sebentar lagi dia tiba.”

Di luar mulai terdengar suara denting pedang beradu, disusul sorakan demi sorakan yang makin keras. Aku menelan ludah, membayangkanmu memegang pedang. Seumur hidup, jangankan memegang pedang untuk bertarung, membunuh nyamuk saja kamu tak tega. Kakiku lemas membayangkan hal-hal buruk yang bisa saja menimpamu.

“Aku harus keluar. Aku harus menemui Zein.”

Baru juga aku melangkah menuju pintu keluar, wanita bergaun hitam gagak itu langsung menodongkan pisau tepat ke leherku. “Kamu tidak boleh keluar. Tidak sebelum Ketua datang atau Zein benar-benar akan mati.”

Suara denting pedang masih terdengar, bahkan lebih keras dari sebelum-sebelumnya. Menuruti perintah wanita bergaun hitam gagak itu, aku duduk, menunggu kedatangan Ayah. Jika dia masuk, aku akan segera membunuhnya lantas membawamu pergi meninggalkan tempat ini.

Tak lama, kain tersibak. Belum juga aku bangkit, seseorang yang tak kuharapkan muncul. Dasar gadis bodoh! umpatku kala mendapati bahwa gadis yang tadi bersikukuh untuk menunggu di dekat pagar berdiri akhirnya masuk ke ruangan ini.

Wanita bergaun hitam gagak menarik lengannya, menyuruh gadis itu untuk mengganti pakaian. Ini waktu yang tepat, aku akan melarikan diri dari ruangan ini dan menghampirimu.

“Peony?”

Tatapan sendu itu … Ayah berjalan menghampiriku, memegang bahuku.

“Batalkan niatmu untuk menikah dengan pemuda itu.”

Aku diam, membuang pandangan.

“Kamu keturunanku yang sempurna. Tinggalkan pemuda itu dan aku akan mencarikanmu pemuda mana pun yang kamu inginkan.”

“Kamu takut kepada Zein?” tanyaku dingin.

Ayah tertawa terbahak-bahak, kemudian tangannya mencengkeram rahangku. “Betapa sangat disayangkan jika penerus sesempurna dirimu memilih untuk membangkang, Py.”

“Dan kamu harus mati sesegera mungkin!”

“Baiklah, kita lihat. Aku rasa saudarimu bisa mengurus semua ini.”

Ayah melepaskan cengkeramannya, tersenyum kepadaku. Berakting bahwa semua baik-baik saja saat gadis itu kembali setelah berganti pakaian dengan gaun yang serupa gaunku.

Gadis itu berjalan menghampiri kami dan berdiri di hadapanku. “Apa kamu yang ingin membunuhnya?”

Ayah tersenyum. “Kamu ingin melakukannya untukku?”

“Kamu manusia seperti kami, bukan?”

Ayah tidak menjawab, memilih meninggalkan ruangan ini disusul oleh wanita bergaun hitam gagak.

“Dia ayahku. Ayah kita.”

“Apa?”

“Aku harus membunuhnya, jadi jangan menghentikanku atau membuat sulit keadaan.”

“Eeeh? Kenapa membunuh adalah hal yang sangat mudah kalian ucapkan?”

“Harus ada salah satu dari kami yang mati. Aku harus hidup, agar bisa menyelamatkan Zein.”

“Zane? Apa hubunganmu dengan Zane?”

“Kami … sahabat, sejak kecil.”

“Sejak kecil? Aku bahkan tidak pernah melihat Zane dekat dengan wanita lain.”

Aku mengernyitkan kening. “Tunggu! Siapa tadi?”

“Apa?”

“Zane?”

“Iya, Zane.”

“Za—ne?”

“Iya. Ada apa denganmu?”

“Lelaki yang memakai tas punggung itu?”

Gadis itu diam, wajahnya terlihat kesal. Ingin aku berdecih melihat ekspresi bodoh seperti itu. Jika saja dia tahu ada hal yang lebih penting dari sekadar membahas sebuah nama, mungkin dia akan berteriak panik, menghampiri lelakinya yang bertarung denganmu.

Astaga, aku hampir melupakanmu yang mungkin hampir sekarat mempertahankan keselamatan diri dibanding melawan. Tanpa menjelaskan apa pun kepada gadis itu, aku berlari keluar, menerobos kerumunan makhluk rupa-rupa, berusaha menembus pagar berduri yang mengurungmu.

Sial! Tak ada jalan masuk kecuali melewati makhluk bayangan hitam yang menjulang tinggi itu. Seketika aku mengingat apa yang pernah Sel ucapkan. Tentang bagaimana memusnahkan sebuah bayangan.

 

Bersambung ….

Episode 10 (Sebelumnya)

Episode 12 (Selanjutnya)

 

Halimah Banani, kaum rebahan yang hobi ngemil tengah malam.

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

 

Leave a Reply