Yang Pergi, Bertemu, dan Entah (Episode 7)
Oleh : Halimah Banani
[POV Peony]
Saat matahari terbenam, aku pergi meninggalkan rumah. Membawa ransel yang berisi dua botol air mineral, juga sebuah buku. Buku yang kamu berikan sebagai hadiah beberapa bulan sebelum meninggalkan desa ini. Buku yang berisi tentang kisah peri-peri hutan pinus pemakan hati. Aku tidak tahu apakah kisah dalam buku itu benar adanya, hanya saja kamu pernah mengatakan kalau buku itu ditulis oleh seorang penjelajah waktu yang terjebak di hutan pinus di lereng sebelah selatan tak jauh dari desa kita.
“Kamu pikir aku ini anak-anak yang akan takut pada hal semacam itu?”
“Jika kamu takut, kamu bisa berteriak dan pura-pura bersembunyi dalam pelukanku.”
“Apa?”
“Siapa tahu kalau selama ini kamu ingin memelukku, hanya saja kamu tidak memiliki alasan yang cukup kuat untuk itu. Kamu takut jika aku akan tahu kalau kamu menyukaiku.”
Aku mendengkus, menyipitkan mata dan menatapmu tajam. “Percaya diri sekali, kamu.”
“Ya. Aku memang harus percaya diri. Siapa tahu saat ini atau besok, kamu akan berubah pikiran dan bersedia menikah denganku.”
“Dasar bodoh!” Aku menghantam kepalamu dengan buku yang baru saja kamu berikan. “Jangan membahas pernikahan denganku. Cari gadis lain jika ingin membahas hal itu.”
“Sungguh? Aku boleh mencari gadis lain?”
Aku tak menjawab pertanyaanmu. Mulai memfokuskan diri membaca kisah yang dimulai dengan seorang ilmuwan yang menciptakan mesin waktu guna menangkap peri-peri di seluruh dunia. Membalik lembar demi lembar buku itu meski sebenarnya aku tak benar-benar membaca. Apa pun itu, ini hanya sekadar alasan agar kamu tidak membahas soal pernikahan atau gadis lain. Kurang ajar sekali kamu meminta izin kepadaku untuk mencari gadis lain. Jika memang ingin, maka carilah saja, tak perlu izin segala.
“Ini buku yang sulit dicerna,” gerutuku sambil menutup buku dan menyerahkannya kepadamu.
“Apa yang sebenarnya ada di pikiranmu?”
“Tidak ada.”
“Sungguh?”
“Aku hanya sedang malas membaca.”
Kamu menaruh tangan kananmu di atas kepalaku, tersenyum, lalu mengacak-acak rambutku yang kebetulan tak kukucir.
“Kalau begitu aku akan menceritakannya untukmu. Aku sudah hafal seluruh isi buku ini.”
“Ceritakanlah. Dasar tukang pamer.”
Kamu tertawa. Membenarkan posisi duduk lalu mulai bercerita. Saat bercerita itu, wajahmu dibuat-buat sedemikian rupa. Biar kisah ini jadi lebih hidup, dalihmu saat aku mendecih ketika kamu bercerita dengan suara rendah dan sorot mata tajam.
Benar, saat itu kisahmu terasa hidup, terlebih sekarang, saat aku mengikuti jalur yang tertera dalam kartu petunjuk yang tergeletak di nakasku pagi tadi. Berada di lereng, melewati hutan pinus, tubuhku bergidik ketika ada sesuatu yang melintas.
“Kamu tahu, Py. Desa kita dikelilingi oleh iblis,” jelasmu di sela mengisahkan perihal peri-peri hutan. “Ada banyak titik gelap yang saling terhubung dan terciptalah jeruji tak kesat mata. Hutan pinus di lereng sebelah selatan itu salah satunya. Mereka dihuni peri-peri hutan pemakan hati.”
“Kamu percaya tahayul?”
“Apa kamu tidak?”
“Entahlah.”
“Bocah yang tinggal dekat pohon apel itu bisa meramal masa depan dan semua orang memercayainya. Mantra-mantra pemanggil hujan, gadis kecil yang dilempar ke jurang setiap tahunnya agar tidak mendatangkan malapetaka, kita semua memercayai hal-hal gaib seperti ini.”
“Jadi maksudmu, kita juga harus percaya kisah dari buku ini?”
“Kenapa tidak? Jika kamu ingin tahu kebenarannya, ayo, kita ke hutan pinus di lereng sebelah selatan. Kita lihat, apakah ada peri-peri pemakan hati atau tidak.”
Aku mengamati wajahmu lekat-lekat. Tidak ada sedikit pun gurat ketakutan di sana. Ya, kamu memang tidak pernah takut pada apa pun, sampai di satu hari, sebelum kamu pergi meninggalkan desa ini, untuk pertama kalinya aku melihatmu duduk dengan tubuh menggigil. Matamu awas, menatap ke segala arah. Saat kamu mendapatiku berdiri di bingkai pintu kamarmu, buru-buru kamu bangkit dan memelukku.
“Kamu baik-baik saja, Py?” tanyamu dengan suara bergetar.
Entah apa yang sebenarnya terjadi denganmu. Tadi malam kamu tampak baik-baik saja, berceloteh tentang akan seperti apa penjelajahan kita mencari peri-peri hutan pemakan hati di lereng sebelah selatan. Setelah tawaranmu malam itu, juga setelah dua bulan lamanya aku bersusah payah memohon agar Ibu mengizinkanku pergi meninggalkan desa ini, akhirnya kita memutuskan akan ke sana besok lusa.
“Peony, kamu baik-baik saja, ‘kan?” Kamu mengulang pertanyaan sembari mengamatiku dari ujung kepala sampai ujung kaki.
“Ada apa, Zein?”
Kamu mundur beberapa langkah, menunduk, lalu menghela napas berat. Setelah kembali duduk di tepi ranjang, kamu membenamkan wajah di kedua telapak tangan.
“Ada apa, Zein? Kenapa kamu seperti ini?”
“Tidak ada apa-apa.”
“Jangan berbohong.”
“Sungguh, tidak ada apa-apa.”
“Kamu berbohong, Zein, aku tahu itu.”
Kamu mendongak, menatapku dan menyunggingkan senyum. Sebuah senyum yang terlihat dibuat-buat. “Aku hanya belum bisa menceritakannya kepadamu, Py. Maaf.”
“Tidak apa-apa. Kamu tidak perlu cerita jika itu sesuatu yang tidak bisa kamu ceritakan.”
“Apa kamu marah?”
“Aku? Kenapa aku harus marah?”
“Setidaknya kamu harus kecewa karena aku menutupi sesuatu darimu.”
“Zein ….”
“Peony, pernahkah kamu kecewa kepadaku?”
“Apa?”
“Kamu terlalu menggampangkan segala urusan dan mengatakan tidak apa-apa jika ada yang salah dengan kita.”
“Zein, kenapa kamu—”
“Bisakah untuk kali ini saja kamu kecewa atau marah?”
“Semua orang memiliki hal yang tidak bisa mereka bagi dengan orang lain. Semua orang punya rahasia.”
“Apa kamu tidak berpikir kalau aku tidak bercerita karena tidak percaya kepadamu? Jika kamu punya otak, harusnya kamu bisa memikirkan hal seremeh itu!”
“Zein ….” Aku menatap matamu, bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi hingga kamu seperti ini. Ini bukan kamu, Zein. Ini sungguh bukan kamu.
“Pergilah. Kita bicara lagi lain kali.”
“Tapi kamu?”
“Aku sedang tidak bisa berpikir dengan jernih, Py.”
Tak ingin membuatmu tambah kacau, aku mengangguk, menuruti keinginanmu. Barangkali kamu butuh waktu untuk sendiri, menyelesaikan masalahmu yang entah apa, meski jika saja kamu mengatakan agar aku tetap di sisimu, aku akan melakukannya dengan senang hati.
Namun seminggu setelah kamu berkata untuk bicara lain waktu, aku malah mendapatimu berdiri di depan rumahku; meminta diantarkan ke jalan besar. Aku akan mencari pekerjaan di kota, katamu. Untuk pertama kalinya, aku kecewa padamu, Zein. Kamu pergi begitu saja tanpa membahasnya terlebih dahulu denganku. Bodohnya, aku tetap tak menghentikanmu untuk pergi.
Aku menunduk dalam, mengepal tangan kuat-kuat. “Kita sudah berjanji akan ke hutan ini bersama-sama. Dasar pembohong.”
Sebuah bayangan kembali melesat di antara deretan pohon pinus. Aku mendongak, melirik ke kiri dan kanan, berjaga-jaga jika peri hutan pemakan hati—yang semisal bukan karangan—muncul tiba-tiba.
“Penjelajah percaya, jika kamu memakan hati para peri yang ada di dunia, maka kamu bisa menjadi abadi. Dan karenanya dia menciptakan mesin waktu, memburu peri yang ada di seluruh dunia. Sialnya, saat dia mendarat di hutan pinus di lereng sebelah selatan, dia mendapati peri-peri yang tak biasa.
Tubuh peri-peri itu kerdil dengan tinggi satu setengah kaki, sepasang sayap kecil dan patah tumbuh di punggungnya, kaki yang kurus sekurus ranting pohon apel gemetar menahan tubuhnya yang gemuk, matanya besar dan seluruh giginya terdiri dari taring. Jangankan untuk memakan hati peri-peri itu, Penjelajah bahkan harus berjuang hidup menjaga agar hatinya tetap utuh.”
Mendung menjadikan malam lebih gelap dari sebelumnya. Suara burung gagak terdengar di langit-langit hutan pinus. Meski agak ragu, aku tetap berjalan mengikuti petunjuk yang tertera di kertas hitam.
“Selama sebulan lebih, Penjelajah terjebak di hutan. Sejauh mana pun dia berlari, dia hanya mendapati deretan pohon pinus yang seakan ditanam di seluruh penjuru bumi, tidak ada jalan keluar sedang mesin waktunya hancur dirusak oleh peri-peri.”
Pada malam yang semakin larut, saat angin berembus kencang meniup awan mendung dan menampakkan bulan separuh yang hampir berada di atas kepala, saat kisahmu masih menggaung di pikiranku, peri yang dikisahkan dalam buku itu benar-benar muncul di hadapanku, Zein. Dia menatapku tajam.
Suara burung gagak masih mengisi langit-langit hutan ini. Aku mundur beberapa langkah setelah tanpa sengaja menjatuhkan senter yang sedari tadi kupegang. Melirik ke kiri dan kanan saat menyadari ada yang tidak beres.
Ya, mulanya hanya satu peri, lalu muncul peri-peri lainnya dari balik pohon pinus.
Bersambung ….
Halimah Banani, kaum rebahan yang hobi ngemil tengah malam.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata