Jika Cinta adalah Sebuah Pelajaran

Jika Cinta adalah Sebuah Pelajaran

Jika Cinta adalah Sebuah Pelajaran

Oleh: Imas Hanifah N

*Tulisan ini dibuat untuk Aisyah. Katanya, ia ingin belajar untuk tidak cemburuan. Eh.

***

Bayangkanlah kita adalah dua orang murid yang baru saja memulai tahun pertama di sebuah sekolah. Suasana riuh di setiap sudut, di halaman, di kantin, akan terasa betul-betul asing.
Pelajaran pertama adalah, memperkenalkan diri.
Kita saling berjabat tangan dan bicara malu-malu. Sebagian besar juga bersikap sama. Beberapa mungkin ada yang terus terang di awal. Bagai kereta yang melaju dengan cepat dari mulut-mulut remaja.

Kamu tanya tentang apa yang aku sukai. Aku tanya tentang apa yang kamu sukai.
Kamu tanya tentang mengapa aku begini. Apakah aku begitu, apakah rumahku seperti ini, dan tentang pelajaran yang aku harapkan tidak pernah ada di kelas.

Dan aku mengajukan pertanyaan yang sama padamu. Lalu, kita menjawab pertanyaan terakhir bersamaan.
Kita sama-sama tidak menyukai pelajaran tersebut. Terlalu banyak perhitungan, terlalu banyak pengorbanan dan begitu menguras tenaga.

Pelajaran kedua adalah tentang bagaimana kita bisa bertahan dengan ajaran yang membosankan. Hafalan selalu menuntut ingatan kita untuk bekerja lebih ekstra.

Lalu kita jadi banyak mengeluh, kita mengeluhkan banyak hal tentang kehidupan. Kita sering mencari cara untuk melampiaskan segalanya dengan cara-cara konyol. Musik-musik yang penuh dengan nada semangat, makanan enak yang tak pernah kita makan sebelumnya, serta film-fim yang kocak.

Lalu kembali menatap lembaran buku yang kosong sambil nyengir kuda. Sesuatu yang dibiarkan, memang tidak akan selesai dengan sendirinya.

Banyak alasan yang membuat kita kembali lagi bersemangat. Seperti saat pelajaran kesenian, dan seorang demi seorang harus menampilkan nyanyian di depan kelas.

Mungkin, salah satu dari kita akan dipermalukan, diserang tawa dan cemooh yang membuat wajah memerah.

Pelajaran ketiga adalah berhenti menjadi murid bengal. Pada tahun kedua, semua orang mungkin akan begitu bebal. Hanya beberapa yang penurut dan dengan bangganya, merelakan matanya ditimpa kacamata. Menjadi terlalu rajin, dan seringkali, tak peduli pada keriuhan yang penuh warna.

Namun pada tahun ketiga, kita dihadapkan pada beberapa ujian, celoteran orang tua yang terasa lebih menyayat telinga dan hati, juga keinginan yang mulai menuju kedewasaan.

Akan jadi seperti apa kita nanti? Apakah jalan yang akan kita tempuh akan terjal dan sulit? Akankah kesuksesan dan keberhasilan itu akan mampu kita raih?

Semua jawaban selalu menari-nari di kepala. Menimbulkan imaji yang menuai gelak tawa dan sedikit kecemasan.

Kita menjadi sangat berani bermimpi. Menjadi sangat berani berkeinginan tinggi.

Semua angan tergambar di bagian belakang gedung sekolah, di jilid buku-buku, menyatu bersama coretan nakal di dinding toilet. Dan kita saling melempar senyum. Seolah pelajaran terakhir nanti, tak akan pernah terjadi.

Entah kenapa aku mulai was-was tentang rencana masa depan ketika pelajaran terakhir sudah di depan mata. Ketika nilaiku berada di urutan yang sama sekali tak menguntungkan, dan nilaimu berada jauh di atas sana.

“Tak apa, kesuksesan seseorang tak ditentukan oleh nilai di atas kertas.”

Kata-katamu mungkin akan terdengar bijak jika aku mendengarnya beberapa tahun setelah itu. Saat aku sudah siap dengan kemungkinan terburuk, tapi saat itu aku ingin menangis.

Kamu ingat, bukan? Saat kita bersamaan menjawab apa pelajaran yang tak kita sukai?

Kita menjawab, “Perpisahan.”

Ketika suara musik terdengar, ketika langkah demi langkah menuntut untuk segera ditentukan, kita harus memutuskan.

Menjadi dewasa memang tidak mudah. Menyatukan cinta dan cita dalam setiap gerak, dalam setiap ruang, tanpa temu dalam kepastian, seringkali membuat kita lelah.

Aku melangkah ke sini. Kamu melangkah ke situ.

Aku takut berjanji, kamu tak mau menanti.

“Tenang saja, aku masih padamu, akan selalu padamu.”
Dan kamu cemas, aku juga demikian. Aku hanya pura-pura tidak takut kamu jatuh ke pelukan orang lain.

Kita tak lagi di sekolah yang sama. Kita tak lagi di kelas yang sama. Kita sudah jauh. Jauh sekali.

Akan tetapi, kita masih mencoba menautkan mimpi dan harapan.

“Jangan lupa, bahwa kita tidak menyukai pelajaran terakhir.”

“Maka jangan berakhir.”

Suatu hari, kita pasti akan kembali bertemu. Hanya dengan cinta, waktu-waktu yang berlalu mampu dipelihara dan tumbuh sebagai kenangan yang tak akan terlupakan.

Karena jika cinta adalah sebuah pelajaran, ia bukanlah pelajaran pertama atau pelajaran terakhir. Ia adalah pelajaran yang ingin kupelajari bersamamu sebagai sesuatu yang tumbuh tanpa kutahu awalnya dan tanpa kutahu akhirnya.

Karena aku akan menganggapnya sebagai keabadian. Denganmu, aku akan menganggapnya demikian.

2020

Imas Hanifah Nurhasanah. Bercita-cita jadi penulis sejak kecil. Lahir di Tasikmalaya, 24 Desember 1996. Saat ini, tinggal Tasikmalaya. Penyuka jus alpukat ini, bisa dihubungi via akun facebooknya: Imas Hanifah atau akun IG: @hanifah_bidam. Baginya, menulis dan membaca adalah sebuah kebutuhan.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata.

Leave a Reply