Pelajaran Khusus

Pelajaran Khusus

Pelajaran Khusus

Oleh : Aisyahir

 

“Kamu tahu, dulu aku sangat berharap bisa menyelesaikan pendidikanku, setidaknya sampai cita-citaku tercapai. Tapi ternyata nasib tak mendukung, Bapak tidak menyetujuinya.”

“Pasti sangat menyakitkan.”

“Kurang lebih seperti itu. Aih, mengobrol denganmu membuatku jadi ingat kembali masa itu. Biasanya, di waktu aku masih tinggal bersama Bapak, kami sering membicarakan banyak hal: tentang sawah, ibu, dan kampung kami. Kecuali perihal sekolah. Seandainya Bapak mendukungku untuk lanjut, pastilah aku tak akan duduk bersamamu sebagai sesama anak perantau.” Aku hanya terkekeh mendengarnya.

“Ceritaku sedikit berbeda denganmu.”

“Coba ceritakan.”

“Ceritanya panjang.”

“Malam juga masih panjang sebelum kita beranjak tidur.” Aku tersenyum menanggapi lalu mengangguk mengiyakan.

Sesaat aku jadi teringat pada momen di mana aku mendapat pelajaran khusus dari Bapak.

Maka terceritalah. Saat itu umurku masih tujuh tahun, kira-kira. Aku masih ingat dengan cukup jelas. Melihat betapa teriknya matahari siang itu membuatku enggan untuk keluar. Ketika sedang mengisi waktu luang dengan mengerjakan tugas matematika, Bapak datang menghampiri. Bapak duduk di sebelahku, memperhatikan tulisanku dengan penuh selidik.

Kukira semuanya akan baik-baik saja, toh aku juga merasa jawabanku benar semua, tapi ternyata yang diperhatikan Bapak bukan itu, tapi penulisannya.

“Kenapa tulisanmu bisa seburuk itu? Angka empatmu bahkan mirip bambu runcing.” Aku hanya menyengir sebagai tanggapan terbaik saat itu. Melihat tingkah anehku, Bapak kemudian meraih buku juga pensil yang tergeletak begitu saja.

Awalnya aku cukup penasaran dengan apa yang Bapak tulis, hingga pada akhirnya buku itu kembali diberikan padaku.

“Bapak ingin kamu menulis angka empat seperti punya Bapak.” Kulihat apa yang tertulis di buku itu, sebuah angka empat yang sangat berbeda dengan punyaku.

“Tapi aku lebih suka menulis angka empat seperti ini, Pak.” Kukira saat itu Bapak akan langsung luluh dan melupakan pelajaran tambahannya. Ternyata tidak. Bapak tetap mamaksaku untuk mengikuti angka empatnya (walau telah kucoba berkali-kali tetap saja salah). Kulihat dahi Bapak mulai berkerut, alisnya menyatu, dan sorot mata Bapak begitu tajam.

“Masa menulis begitu saja kamu tidak bisa? Itu bahkan tidak terlalu sulit. Hanya memulis angka satu, lalu buat angka satu setengah panjang dari angka pertama, lalu sambungkan. Tidak pake runcing-runcing begini!” Jujur saja, saat itu aku benar-benar ingin menangis. Nada bicara Bapak mulai tak enak didengar, suasana rumah hanya diisi oleh keributan Bapak yang mulai mengomel. Menurutku, kenapa harus dipaksa-paksa menulis angka empat yang mirip dengan punya Bapak, bukankah sama saja?

“Aku bisanya menulis begini, Pak. Guruku yang ajar.”

“Tapi Bapak lebih suka liat kamu menulis angka empat seperti punya Bapak.” Aku hanya menunduk mendengarkan.

“Ayo ulangi, lakukan dengan betul-betul.” Aku menuruti perkataan Bapak, berulang kali selanjutnya kucoba, tapi tetap tak bisa sama seperti punya Bapak. Saat ini aku mulai beranggapan kalau saat itu bukan aku yang dungu hingga angka empat saja tak bisa kutulis sesuai dengan keinginan Bapak, melainkan karena aku yang tak bisa fokus dan hanya menerima pelajaran Bapak setengah hati. Terlebih lagi saat itu aku sudah tak bisa tenang tatkala mendengar suara panggilan teman sepermainanku untuk pergi menangkap capung di dekat kuburan. Pastilah menyenangkan ketimbang tinggal di rumah dan mendapat pejaran khusus dari Bapak.

“Ayo coba lagi!” Aku kembali menuruti perintah Bapak dengan takut-takut. Aku makin gelisah, hingga pada saat Bapak memukul lantai dengan keras, aku tercekat, aku benar-benar takut.

“Kamu memang tidak bisa belajar dengan benar! Pergi saja. Pergi bermain sampai puas. Kalau perlu kamu tidak usah pulang! Rugi saja uang keluar untuk menyekolahkanmu!” Bapak kemudian pergi. Aku semakin ketakutan saat itu, dan aku benar-benar pergi. Tapi, aku tidak pergi bermain dan melupakan segalanya begitu saja. Aku lari dari rumah. Lari ke bawah pohon mangga tetangga. Suasana saat itu sedang sepi-sepinya. Di sana aku menangis, sesekali aku marah-marah sendiri. Aku mengabaikan temanku, kubiarkan saja mereka pergi.

Selama aku berada di tempat itu, aku hanya merenung. Aku masih terlalu kecil, tubuhku bahkan hilang di antara tingginya rumput yang menjalar sesuka hatinya.

Wajah jengkel Bapak terus terbayang-bayang: alisnya yang menyatu, dahinya yang berkerut, dan sorot matanya yang tajam. Aku benar-benar takut. Hingga aku mulai bejalar lagi. Dengan melakukan coretan-coretan angka empat di daun, di pohon, juga di tanah. Berulang kali. Aku tak suka Bapak marah-marah. Mungkin karena angka empat adalah tanggal ulang tahun Bapak juga bapaknya Bapak. Sehingga pantas saja jika Bapak ingin aku menulis angka cantik itu sesuai keinginannya.

Dan, setelah lama mencoba, aku akhirnya bisa! Ya, aku bisa. Aku senang bukan kapalang, jika begini berarti aku sudah bisa pulang. Maka, saat itu aku pulang. Kudapati Bapak yang duduk di teras sembari minum kopi. Aku beringsut mendekat, membawa pensil juga buku. Awalnya Bapak tak menanggapi, mungkin ngambek, pikirku kala itu.

Tapi, setelah melihat apa yang kutulis, Bapak mulai merespons.

“Akhirnya kamu bisa. Bapak tahu kamu pasti bisa melakukannya. Kamu memang anak Bapak yang paling pekerja keras hanya untuk bisa mencapai apa yang diinginkan.” Aku hanya tersenyum senang melihat Bapak memujiku saat itu.

“Bapak sudah tak marah?”

“Tidak.”

Mengingat momen itu membuatku kembali mengukir bulan sabit. Sampai sekarang aku merasa tetap sama seperti dulu. Bahkan tak ada yang berbeda.

“Ceritamu menarik. Dan aku suka dengan karakter bapakmu. Aku sebenarnya iri, dulu bapakku tak pernah peduli. Bapak bahkan tak ingin aku sekolah, dan pada akhirnya keinginan bapak tercapai. Aku berhenti sekolah, kemudian mencari pekerjaan di kota orang hingga kita mulai dipertemukan.”

“Tapi pada akhirnya kisah akhir perjalanan akademi kita saja, kan?” Lisa tertawa, aku juga. Mungkin tepatnya menertawai diri sendiri.

Setidaknya aku bangga punya Bapak yang peduli dan senang memberiku pejaran khusus di waktu kecil. Walaupun hanya membantuku menuliskan angka empat sesuai keinginannya, itu sudah teramat berarti. Yang walau pada akhirnya aku juga harus putus sekolah dan bergabung dengan anak-anak rantau. (*)

Makassar, 18 Mei 2020.

 

Aisyahir, gadis kelahiran 2001 yang gemar melamun dan mamajang wajah datar. Selalu berusaha menjadi penulis yang baik walau itu teramat sulit untuk dilakukannya. Ig: Aisyahir_25.

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply