Nini
Oleh : Aisyahir
Namaku Nini, nama kucing kesayanganku Nana, dan Mama bernama Nuni. Kami satu keluarga. Tapi sayangnya di selembaran bergaris-garis itu tak ada nama Nana yang tertera. Hanya ada namaku juga Mama, aku jadi kesal. Bukankah kami keluarga?!
Aku suka memandikan Nana, tapi aku sendiri tidak suka air. Air membuatku mengigil, tapi jika memandikan Nana rasanya asik. Mama jadi suka marah-marah kalau sudah melihatku memandikan Nana tapi tidak mau mandi. Katanya buang-buang air, tagihan kami akan semakin meningkat jika seperti itu. Aku jadi tidak mengerti, padahalkan cuma air yang terbuang, bukan uang yang pastinya sangat berharga.
“Untuk mendapatkan air kita juga perlu listrik, jika kebanyakan membuang air, maka tagihan listrik juga semakin naik, jika sudah begitu, uang juga akan terbuang sia-sia hanya untuk membeli air.” İtu kata Mama di suatu waktu. Mama memang sedikit pelit, dan ini rahasia, jangan sampai Mama tahu!
Sejak dalam perut, Mama tidak pernah mau memperlihatkan Papa padaku, katanya Papa bukan orang yang pantas untuk ditemui. Aku jadi heran, kenapa? Tapi melihat wajah kusut Mama aku mengurungkan niat untuk bertanya, aku paling tidak suka melihat dahi Mama berkerut dan mulutnya tidak mau berhenti bicara. Mama ribut.
Mama bekerja di sebuah kafe dekat tempat tinggal kami, jika Mama pergi, aku hanya tinggal di rumah bersama Nana. Aku selalu mengajukan diri untuk ikut, tapi Mama menolak. Katanya aku di rumah saja, dunia luar terlalu keras bagi bocah sepertiku yang sangat suka menangis. Aku menurut saja, lagi pula ada Nana bersamaku. Biasanya jika seperti ini Mama sudah menyiapkan makanan banyak-banyak, memandikanku, membantuku berpakaian, lalu pergi. Tak lupa pintu dikunci rapat-rapat, supaya Nana tidak keluar berkeliaran. İtu kata Mama.
“Pintu Mama kunci, kalau tidak, biasanya Nana pergi selingkuh dengan kucing tetangga. Kalau sudah begitu kamu pasti akan kesepian, barang-barang Mama yang bakalan jadi korban keaktifan jari kecilmu.”
“Kalau Nana mau pipis bagaimana, Ma?”
“Bawa ke kamar mandi, jagai, jangan sampai Nana malah pipis di bak mandi, nanti malah buang-buang air.”
Setelah berpesan begitu Mama akan pergi dan baru pulang setelah malam. Kadang aku suka bosan, kadang juga ketiduran saking lelahnya bermain dengan Nana. Nana kucing yang manis, bulunya tebal berwana cokelat. Matanya bulat, dia suka mengeong-ngeong.
Namun, beberapa hari terakhir aku sudah cukup bosan. Aku bosan di rumah terus. Aku ingin seperti anak-anak yang lain, yang bisa main kejar-kejaran, main sembunyi-sembunyi, juga main masak-masak. Bukan seperti aku sekarang, Nana memang ada menemaniku, tapi dia tidak asyik. Aku tidak mengerti jika dia mengeong-ngeong, apalagi kalau sedang lapar, Nana sangat menyebalkan. Padahal aku sudah memberinya es lilin rasa cokelat favoritku, tetap saja dia tidak mau makan. Maunya makan ikan asin kesukaan Mama, Nana memang tidak mau paham, sudah tahu Mama pelit, tetap saja mengeong, kadang aku mencuri ikan Mama, dan akhirnya aku juga yang bakalan kena marah.
Jika malam sudah kembali hadir, Mama pulang. Aku jadi suka menunggu malam dan membenci datangnya pagi, kalau boleh hilangkan saja waktu pagi, Ya Tuhan, supaya Mama tidak pergi-pergi lagi. Aku tidak suka sendiri.
“Nana nakal lagi hari ini?” Mama mulai bertanya sembari mengusap puncak kepalaku, sedang Nana sudah tidur dari tadi. Mungkin sudah kekenyangan, bagaimana tidak? Satu ikan kering Mama sudah kuberikan padanya. Tolong jangan ribut!
“Sedikit, Ma. Nana suka lama di kamar mandi. Kalau Nana pengen pipis, Nini anterin, setelah itu kembali ke kamar, tak lupa Nini tutupin Nana pintu, supaya bau pipis Nana tidak keluar. Tapi Nana malah menetap di sana, setelah Nini bukain pintu, baru keluar. Kan Nana pasti main-main air dulu di dalam, baru keluar. Semakin hari Nana semakin menyebalkan.” Aku mulai laporan sama Mama. Nana memang begitu, tadi pagi kuantar ke kamar mandi, dia baru keluar dua jam kemudian, itu pun karena aku yang membukakan pintu untuknya.
“Lain kali tidak usah ditutup, jangan lupa tunggui.”
Aku hanya mengangguk, mengiyakan.
“Oh iya, tadi pagi perasaan Mama goreng dua ikan, kenapa sekarang tinggal setengah? Satunya lagi mana, ya?”
Aku mulai salah tingkah mendengar Mama, pasti akan dimarahi lagi.
“Oh, tadi Nini yang makan.”
Mama hanya mengangguk-ngguk. Untung saja tidak mengomel lagi. Tak lama kami tidur, sebelum itu Mama kembali bercerita tentang seorang putri yang dikurung dalam sebuah kamar. Mama selalu menceritakan kisah ini setiap malam, dan Mama tidak pernah bercerita tentang dunia luar, katanya terlalu kejam untukku. Lagi-lagi aku tidak masalah, kurasa itu kisah kesukaan Mama, yang ditulis sendiri pada suatu malam yang gelap.
Paginya Mama pergi lagi; setelah memasak, memandikan, membantuku berpakaian, juga memberiku pesan. İtu kebiasaan rutin Mama setiap pagi. Tapi pagi ini ada yang berbeda. Mama lupa mengunci pintu!
Rasanya senang bukan main, barangkali hari ini keinginan terbesarku bakal tercapai. Mama selalu berpesan agar aku makan tepat waktu, tidur siang, menjaga Nana, menemani Nana ke kamar mandi, tapi semuanya tak ada larangan untuk tidak keluar jika pintu tidak terkunci. Berarti aku bukan anak nakal, karena aku tetap memenuhi peraturan Mama.
Perlahan aku membuka pintu, Nana langsung berlari keluar, aku juga. Angin segar langsung menyambar kulitku, juga sinar matahari pagi. Dan aku baru tahu, kalau aku tidak punya banyak tetangga. Hanya ada satu-dua rumah di sekitar sini.
Nana masih berlari, aku juga masih mengikutinya. Apa mungkin Nana pengen ke rumah kekasihnya? Kalau iya, kenapa aku malah ikut?
Cukup jauh berlari aku berhenti. Dari sini aku bisa melihat anak-anak seumuranku sedang main kejar-kejaran. Mereka semua adalah anak-anak yang sering kulihat dari balik jendela.
Melihatku, mereka terlihat tertawa-tawa, juga menunjuk-nunjuk. Sebegitu senangnyakah mereka menyambutku? Aku mendekat, mereka semakin tertawa. Wah, mereka sangat ramah.
“Astaga. Sejak kapan janda tua itu membiarkan si idiot ini keluar? Lihatlah, dia bahkan tidak memakai celana dengan benar. Itu celana, bukan rok!” Seketika aku menunduk, menatap pakaianku. Apa yang salah? Aku sudah memakai celana dengan benar, Mama sendiri yang memakaikannya! Mungkin mata mereka lupa diposisikan dengan benar.
“Hey, Idiot! Ibumu sudah makin pikun, ya? Biasanya juga kamu dikurung di rumah lapuk itu, kenapa sekarang malah dikeluarkan dari kandang? Apa janda tua itu sudah menyerah mengurus seongok daging tak berguna sepertimu, hah?”
“Mama lupa mengunci pintu. Mama tidak pernah melarangku untuk keluar, Mama hanya terlalu sayang, makanya aku dilarang untuk ikut-ikut.” Aku mulai membela diri. Berani sekali mereka mengataiku seperti itu!
Bukannya meminta maaf, mereka malah tertawa, kelimanya kembali menunjuk-nunjukku, sesekali melempariku bola. Apa mereka ingin mengajakku bermain? Tapi kenapa lemparannya keras sekali?
Tak lama Nana datang, dia mengeong-ngeong di kakiku. Saat kelima orang itu melempari Nana bola, berkali-kali. Kulihat Nana mulai mengeong kesakitan, aku jadi marah, sangat marah, aku melindungi Nana, tapi mereka juga melempariku.
“Mati kamu, Idiot! Dasar sampah!” Mereka kembali meneriakiku lalu tertawa. Aku menangis, Nana semakin mengeong keras. Mama benar, dunia luar memang kejam!
“Dasar anak nakal! Pergilah, jangan ganggu Nini lagi!” Seketika lemparan bola berhenti mengenaiku. Kulihat Mama langsung datang dan memberiku pelukan, aku masih menangis, rambutnya yang putih-putih mulai mengenai wajahku.
“Mama kan sudah bilang, jangan keluar. Dunia luar terlalu kejam untukmu, mereka tidak akan mau menerimamu juga kekurangan yang kamu miliki, cukup di rumah saja, Mama masih ada dan akan terus ada. Maafkan Mama, karena kesalahan masa lalu membuatmu jadi seperti ini.” Aku mendengar Mama menangis, Mama kemudian membawaku pulang, aku mengendong Nana, tapi Mama tidak mau mengendongku. Mama memang pernah mengatakan kalau sudah tak sanggup mengendongku, tubuhku sudah sama tinggi dengan Mama. Kami kemudian pulang, dan itu kali pertama aku keluar sekaligus akan menjadi yang terakhir. Nana lebih baik dijadikan teman daripada anak-anak itu, ruangan kecil yang selalu kutempati juga jauh lebih nyaman ketimbang lapangan lari-lari yang pernah kukunjungi. Mungkin Mama benar, dunia luar tidak cocok untuk bocah yang suka menangis sepertiku. Nini pantasnya memang di rumah saja.
Makassar, 1 Juni 2020.
Aisyahir, gadis kelahiran 2001 yang gemar menulis. Akun sosmed: Aisyahir_25.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata