Yang Kembali dalam Rupa yang Berbeda

Yang Kembali dalam Rupa yang Berbeda

Yang Kembali dalam Rupa yang Berbeda
Oleh : Ning Kurniati

Aku tidak tahu mesti berkata apa, ketika tiba-tiba saja Bintang menghubungiku dan mengatakan maksudnya ingin berjalan-jalan bersama, seperti dulu, seperti kami ketika masih satu asrama di kampus. Ia ingin mengenang masa itu, bukan dalam ingatan tapi menjadikannya kenyataan. Paling urgent, katanya, ada sesuatu yang harus ia omongkan secara langsung.

“Segalanya sedang tidak baik, Leah.”

“Memangnya ada apa?”

“Sudah kubilang, aku tidak bisa bilang di telepon.”

“Sekarang … bagaimana keadaanmu, kamu baik-baik saja?”

“Ya … sedikit. Aku mendengar suaramu … itu membuatku lebih baik.”

***

Seperti bintang di langit, Bintang sulit terjangkau oleh orang-orang. Tak banyak yang bisa bicara dengannya berlama-lama. Jawabannya selalu pendek-pendek. Seperlunya. Sekenanya. Membuat kita-kita temannya tidak nyaman. Karena itu ketika masih mahasiswa baru, kami menyangka ia tidak mau berteman atau mungkin pemilah teman.

Satu-satunya anak yang kadang-kadang bersamanya ke perpustakaan atau ke kantin adalah Randu. Seseorang yang mudah menjalin pertemanan dengan siapa pun, senior, anak departemen lain, anak fakultas lain, bahkan para dosen. Berkat kelihainnya itu, Randu di suatu sore yang hujan berhasil menaklukkan Bintang dengan memberikannya sebuah buku The Selfish Gene karya Richard Dawkins. Bukan bunga, bukan cokelat. Ia bukan perempuan seperti itu, jawabnya ketika aku bertanya kenapa.

***

Dua jam kemudian, aku sudah tiba di tempat Bintang tanpa tersesat berkat mengikuti petunjuk arah di Google maps. Berbeda dari harapanku, rumahnya tampak terawat. Tidak ada gulma, bahkan serakan daun tua pun tak ada. Tak lama berselang aku menatapi tanaman-tanamannya, Bintang keluar dengan muka cerah, dalam balutan rok panjang sekaki dan baju kaus lengan panjang, ia mengawali sapaannya dengan menanyakan kabar.

Sebelum mengajak duduk, ia membuatku mengikutinya mengelilingi halamannya. Bintang menyebutkan nama-nama tanaman yang tidak menarik bagiku, lengkap dengan nama ilmiahnya dan manfaatnya. Seakan aku adalah mahasiswa yang sedang kuliah lapangan dan dirinya adalah dosen atau asisten dosen yang ditugasi. Mungkin karena sadar aku tidak antusias menanggapi, ia menyudahi dengan mengarahkanku ke teras belakang, lalu ia masuk dan keluar dengan secerek minuman.

Tiga puluh menit lamanya kami duduk dan saling memandang sekilas-sekilas tanpa kata-kata. Ia tampak seolah lupa dengan alasanku ke sini. Kuanggap begitu karena ia tidak  kunjung-kunjung mengutarakan hal apa yang ingin diomongkannya. Aku mulai resah, tidak enak berlama-lama. Datang ke sini saja, aku kikuk dan merasa aneh. Hanya karena kupikir ia dalam masalah, aku memantapkan niat.

“Mmm—”

“Kau ….”

“Aku mengundangmu ke sini, maksudku memintamu … aku ingin kita memperbaiki hubungan.”

“Memperbaiki? Kau merasa ada yang salah dengan hubungan kita. Maaf, aku sedikit merasa geli. Kau tahu—”

“Aku minta maaf. Aku minta maaf, Leah. Aku pernah berpikir macam-macam tentangmu, pernah menganggapmu … lalu aku memutus komunikasi begitu saja … berbulan-bulan. Kukira kau dan dia—“

“Dia sudah menentukan pilihan. Tak perlu membahas sesuatu yang tidak ada gunanya. Tidak ada apa-apa yang akan didapatkan. Yang penting kau tidak berpikir macam-macam tentangku. Dia temanku, kau juga temanku.”

“Selama ini, kalian memang tidak pernah ada hubungan apa-apa?”

“Tidak. Tapi, beneran, kukira kau adalah orang yang akan dipilihnya. Eh, ternyata, ada masa lalu yang tidak selesai.”

“Semua orang bilang begitu.”

“Dari mana kau tahu semua orang berpikir begitu?”

“Aku tidak banyak teman, bukan berarti aku tidak tahu apa-apa.”

“Jadi, cocok ya, peribahasa, dalamnya lautan bisa diukur, dalamnya hati siapa tahu.”

“Kamu itu lahir tahun berapa sih, kok masih pake peribahasaan segala?”

“Hmm, kau memang tidak mengenalku dengan baik, kuberi tahu ya, ayahku seorang yang suka menggunakan peribahasa di rumah, bagai air—“

“Jangan menjadi ayahmu di depanku!”

“Oke, oke.”

***

Setelah obrolan yang cukup panjang itu, kami kembali kikuk satu sama lain. Mataku hanya berpindah-pindah dari tanaman aster yang jenis-jenisnya tidak kutahu, padahal baru saja sekitar sejam yang lalu dilapalkan—tak satu pun yang kuingat. Sedangkan, Bintang, ia menjadi seperti orang yang pertama kali kulihat di kampus dulu. Segala yang dilakukannya terlihat lamban. Waktu seolah-olah melambat dalam dunianya. Ia membaui kopi itu, memejamkan mata, beberapa lama kemudian baru ia membukanya dan tersenyum samar. Samar sekali. Orang harus benar-benar mengamatinya. Kemudian, meski pandangannya ke bunga-bunga di hadapan kami, pikirannya seperti ada di tempat lain. Sekarang, ia menoleh kepadaku dan aku tidak tahu mesti bersikap bagaimana. Tersenyum, satu-satunya tindakan cepat yang tepat.

Ia kemudian menawarkan aku makan siang bersamanya. Aku mengiyakan karena hari sudah siang dan kalau pamit sekarang, di jalan aku bakalan kelaparan. Aturan sekarang, tidak membolehkan makan di warung-warung. Covid-19 merekatkan jarakku dengan Bintang.

Entah karena apa, di dapur, ketika kami masing-masing menangani bagian, aku memotong-motong wartel dan ia mengiris kol, tiba-tiba saja ia bercerita tentang ayah-ibunya, yang profesinya ASN yang sedang berada di kampung. Kemudian hal yang sering tidak kuharapkan terjadi lagi.

Aku bilang, “Jadi, karena kesepian, kau lalu memintaku ke sini, setelah melakukan playing victim?”

Setelah sadar atas ucapanku, aku sangat khawatir kalau-kalau Bintang tersinggung. Namun, hal yang tidak diduga terjadi.

“Kenapa kau tidak berpikir,” ia berhenti mengiris dan memandang ke arahku. “Kalau aku mau memperbaiki hubungan karena takut dengan covid-19. Begini Leah … ajal kan tidak ada yang tahu kapan datangnya, sekalipun kita keluar memakai masker, mematuhi aturan yang ada, tidak ada jaminan seratus persen kita tidak tertulari. Selama ini yang kita lakukan hanyalah tindakan peventif terbaik, tapi meski begitu, kasus makin bertambah setiap hari ‘kan. Eh, mati bukan hanya karena covid, sih. Pokoknya corona bikin aku mawas diri.”

“Muhasabah.”

“Ya, muhasabah.”

“Itu kalimat terpanjang yang pernah aku dengar keluar dari mulutmu itu.”

“Masa sih, dulu aku tidak pernah bicara sepanjang itu.”

“He-em, seingatku.”

“Ingatanmu salah!”

“Iya deh, sini aku yang tampung kesalahan.”

“Nyindir?”

“Eeh … iya deh.”

Kami tertawa.(*)

29 Mei 2020

Ning Kurniati, penulis pemula.

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply