Yang Pergi, Bertemu, dan Entah (Episode 12)

Yang Pergi, Bertemu, dan Entah (Episode 12)

Yang Pergi, Bertemu, dan Entah (Episode 12)
Oleh : Ning Kurniati

[POV Adiyah]

Kami berbalik, bersiap memacu langkah, tetapi tidak jadi lantaran di hadapanku ada Bala bersama teman-temannya. Seakan tahu kami akan melarikan diri, semua makhluk bergerak, berkumpul mengelilingi. Aku menatap Bala, dia mengangkat tangan kanannya dan tersenyum seperti saat aku mengutarakan keinginanku untuk bepergian. Tidak mengertikah dia, ini bukan saatnya untuk aku membalas senyum dan senang akan kedatangannya.

“Di!”

Aku terpaku, baru menyadari kenapa dia bisa berada di sini bersama teman-temannya?

“Adiyaaah!” Zane menggertak, memegang erat tanganku.

“Tunggu, kita tidak bisa pergi. Tidak.”

“Ayolah, Di!” bisiknya dengan geram.

“Kita harus tahu alasan keberadaan kita di sini.”

“Tidak. Itu tidak penting.”

“Tidak sadarkah kamu, Zan, semua mata sedang memandang kita seolah kita adalah yang ditunggu kedatangannya. Bahkan perempuan yang di sana.”

“Apa kamu tidak mengerti situasinya sekarang? Mereka menyeramkan, Di. Sangat menyeramkan. Bahkan dalam buku bacaanku tak sekali pun kutemukan gambaran makhluk-makhluk seperti di tempat ini. Jangan berpikir ini adalah pesta. Bukan, ini bukan pesta. Kalaupun iya, kita hanya akan menjadi santapan.”

“Aku tahu.”

“Lalu, kalau kamu tahu, kenapa masih bertahan?”

“Ini takdir kita untuk berada di sini, Zan.”

“Tahu apa kamu tentang takdir, Di … kamu akan menyesalinya!”

Aku tidak lagi menimpali ucapan Zane. Mengedarkan pandangan ke semua yang hadir. Mereka semakin intens memperhatikan kami berdua, termasuk juga perempuan itu. Perempuan dengan seekor ular mati di kepalanya. Lalu, tiba-tiba saja beberapa makhluk yang ada di pesta mengelilingi kami, membentuk lingkaran besar, beberapa lainnya membentuk lingkaran agak kecil di sisi yang berjauhan dengan kami. Mereka kembali bergerak diiringi tambuhan gendang. Lolongan melebihi suara anjing kampung kian menjadi-jadi memekakkan pendengaran. Dasar makhluk aneh! Pestanya juga aneh bin sinting.

Entah diperintahkan oleh siapa dan apa yang akan mereka lakukan. Sedikit pun aku tidak bisa mengira. Beberapa berbaris dan sebagiannya lagi berkumpul dengan sesama jenisnya. Makhluk bermulut di dahi berkumpul dengan makhluk bermulut di dahi, begitu juga dengan yang lain, yang berkepala hewan bertubuh manusia, berkepala manusia bertubuh hewan. Sementara di hadapan para makhluk yang menciptakan lingkaran kecil menyembullah batang-batang mawar dengan duri tajam serta daun-daun serupa sebilah pedang, sehingga siapa pun yang berani mendekat dipastikan akan tergores.

Suasana tiba-tiba menjadi gaduh dan sesosok makhluk dengan ukuran tubuh yang besar muncul, membuat apa-apa yang ada menjadi bergetar. Belum juga aku menyadari maksud kedatangannya. Dia sudah mengangkat Zane dan menyeretnya ke bagian taman yang telah dipagar duri tadi. Tidak, aku harus melakukan sesuatu. Dia tidak boleh menyakiti Zane. Tidak boleh.

“Zan! Zan!”

Aku menoleh pada Bala. Dia hanya diam berdiri di tempatnya dengan wajah sendu, berikut teman-temannya di belakang, menunduk. Mereka tidak bisa membantuku. Peri itu, aku menoleh menatap mereka. Sama. Mereka juga tidak bisa membantuku. Hanya berdiam dan menunduk.

Aku menghentakkan kaki ke tanah. Dan lagi-lagi pandangan kuedarkan ke sekitar, mencari sesuatu yang bisa dipakai untuk menyelamatkan Zane. Seketika aku luruh, terduduk. Kepala dengan rupa-rupa ekspresi tersusun sedemikian rupa, bagai pernak-pernik pesta yang sering dikatakan Bala. Hal yang paling menakutkan adalah ekspresi menyeringai yang mereka miliki seakan hendak memakanku. Karena kalut dan tidak tahu harus melakukan apa. Aku mendekat ke area di mana teman yang kumiliki satu-satunya berdiri. Dia melepas tas punggung dan menatap garang ke makhluk itu, yang sedang menyeringai lebar memperlihatkan giginya sebesar ukuran kepalan tangan orang-orang.

“Zan! Zan!”

Dia menoleh dan menatapku dengan tatapan yang entah. Aku tidak bisa mengartikannya sama sekali. ‘Maafkan aku, Zan.  Maafkan!’

Seketika seorang lelaki muda yang mungkin usianya sama seperti kami diseret ke area di mana Zane berada. Semua riuh berteriak. Entah apa yang diteriakkannya. Mereka senang dengan kemunculan lelaki itu. Lelaki dengan tatapan lurus yang tidak terpengaruh sama sekali oleh apa pun. Tak lama, kulihat perempuan dengan ular di kepalanya itu tiba-tiba panik dan berlari mendekat. Dia hampir saja memegang pagar pembatas sambil menyerukan nama yang … sepintas terdengar seperti Zane.

Masa bodoh dengan itu semua! Aku tetap harus menyelamatkan Zane. Seharusnya tadi aku mendengarnya saat dia meminta agar kami lari dari sini. Andai saja aku mendengar. Tidak, tidak ada gunanya berandai. Semuanya sudah terjadi. Yang kini harus kupikirkan adalah ketakutan yang meliputiku dengan sangat. Makhluk yang tadi menyeret Zane, tiba-tiba melemparkan dua buah pedang sepanjang lengan kami. Lantas, Zane dan lelaki itu masing-masing mengambil pedang diiringi teriakan dari seluruh makhluk rupa-rupa yang menyerukan keduanya untuk saling membunuh. Ya, begitu mereka berkata, aku tahu arti kata itu dari Bala, juga dari buku para musafir. Tidak. Mereka tidak boleh saling membunuh. Kami sama-sama manusia, yang pantas dibunuh adalah para makhluk itu.

“Tidak, kamu tidak boleh membunuhnya, Zan. Tidak boleh.”

Zane menggeleng dan memberikan senyum yang lagi-lagi aku tidak bisa memaknainya. Sedangkan perempuan di sebelahku hanya terpaku melihat mereka. Apa kebungkamannya bisa mengubah keadaan?

“Hei!” ucapku kepadanya.

“Maaf, Adiyah, Peony, silakan ikut kami!” ucap peri hijau yang berada di antara kami.

“Sudah kubilang aku bukanlah orang yang kalian cari!” teriakku. “Aku hanyalah orang desa, paham?”

Peri itu tamapk kaget bukan main. Sayapnya seketika berubah putih dan berhenti mengepak. Dia menunduk.

“Kalian berdua tetap harus ikut. Ketua telah menunggu.”

“Kami berdua? Dan Siapa Ketua? Enak saja! Aku tidak mau! Bawa dia saja, kalau dia mau.” Tunjukku pada perempuan di sebelahku.

“Kami tidak memberikan pilihan. Kalian harus ikut. Berdiri di sini tidak aman. Sebentar lagi mereka akan bertarung.”

“Apa? Kamu bilang bertarung. Apa kamu pikir mereka yang di dalam sana ayam peliharaan kalian.”

Tanganku terulur untuk memukul peri itu, tetapi langsung terhenti saat wanita bergaun hitam—yang tadi mendampingi perempuan dengan nama Peony—muncul memegang tanganku erat. Dia baru melepasnya perlahan saat aku menatap nyalang pada matanya. Lantas dia beralih pada Peony, menyentuh bahu perempuan itu sembari membisikkan sesuatu. Peony mengangguk kemudian berlalu.

Kenapa dia begitu mudahnya diperintah. Harusnya dia menolak, bertahan di sini bersamaku.

“Adiyah?”

“Berhenti memanggilku seperti itu. Panggil aku Di.”

“Mari ikut!”

“Sudah kubilang, aku tidak ikut!” teriakku kencang, berusaha menandingi bunyi tambuhan gendang yang begitu nyaring.

Seketika peri hijau menunduk dan mundur perlahan. Lalu, peri cokelat yang paling pendek dan memiliki suara lembut mendekat, berdiri di sisiku. Sedangkan dua orang di dalam pagar berduri sedang mengambil posisi, saling mengamati satu sama lain.

“Keselamatan Peony ada di tanganmu.”

Sontak aku menoleh. Mana mungkin keselamatan perempuan yang baru saja aku tahu namanya bergantung padaku atau tidak? Kebohongan yang sangat tidak masuk akal. Lama-lama aku akan menjadi gila berada di tempat ini.

“Peony adalah saudarimu.”

Lagi-lagi kebohongan macam apa ini.

“Dengar baik-baik, Hijau. Aku tidak memiliki saudara, dan ayahku ada di desa bersama ibuku. Kalau kamu mengarang, setidaknya yang masuk akal.”

“Mereka yang di desa bukanlah orang tuamu. Apa kamu tidak menyadari ada keanehan dengan mereka? Mereka adalah sepasang kucing peliharaan Ibumu yang telah diubah menjadi manusia oleh ayahmu. Ibumu meninggal ketika kamu dilahirkan.”

Aku tertawa lirih mendengar semua yang diucapkannya. Meski tidak memercayai, tetap saja aku mengikutinya. Bagaimanapun juga, perempuan tadi sepertinya tahu banyak hal tentang tempat ini. Bisa jadi, dia juga tahu jalan keluar untuk melarikan diri dari sini.

Aku berjalan mengikuti peri hijau. Kerumunan membelah begitu saja, membiarkan kami lewat. Di sepanjang jalan yang kami lewati tersedia meja-meja dengan hamparan makanan pelbagai jenis. Di antaranya masih menggeliat di dulang putih. Cacing tanah yang kemerah-merahan, lintah hitam, kaki seribu berwarna hitam dan merah, dan ular yang sudah terpotong menjadi dua bagian. Di meja yang lain, tersedia tikus hitam dan putih seperti habis dibakar, katak yang ditusuk pada sebilah bambu, kalajengking, kecoak dengan lumuran cairan kental yang berwarna hitam. Selebihnya, aku tidak tahu lagi. Aku memalingkan pandangan. Mengamati semua itu lebih lama benar-benar membuat mual.

Kami terus berjalan meninggalkan kerumunan menuju sisi lain dari istana yang menjulang tinggi ini, pada bangunan kain yang tampak seperti rumah. Setahuku ini adalah tenda yang dimaksud dalam buku para musafir. Kami masuk ke salah satunya ketika kain yang menutup tersibak begitu saja. Di dalam sana, Peony duduk di sebuah kursi batu. Pakaiannya berubah menjadi gaun panjang yang menjuntai melebihi kaki, berwarna merah semerah isi jambu yang sering kumakan. Wajahnya yang putih menjadi berwarna pada beberapa bagian. Bibirnya merah, pipinya yang tirus berwarna senada, tetapi sedikit samar. Rambutnya terkucir dan di kepalanya masih terdapat ular berbentuk serupa mahkota.

Wanita bergaun hitam yang tadi menarik tanganku, menyeretku masuk ke dalam ruangan yang lain. Di dalam ruangan itu tersedia pakaian yang hampir sama dengan yang dipakai Peony. Aku memakainya, lalu sesosok peri dengan wujud yang berbeda muncul, mengubah tatanan rambutku, mungkin juga memberiku riasan yang sama seperti Peony. Agak lama peri itu meriasku, membuatku sedikit bosan. Namun, saat aku keluar dan bersiap mengajukan pertanyaan tentang tempat seperti apa ini dan ke mana aku dapat menemukan jalan keluar, berdiri sesosok laki-laki tua sedang berhadapan dengan Peony.

“Apa kamu yang ingin membunuhnya?” ucapku sembari berjalan menghampiri mereka, berdiri di hadapan Peony.

Lelaki tua itu tersenyum. “Kamu ingin melakukannya untukku?”

Orang tua sinting!

“Kamu manusia seperti kamu, bukan?”

Dia tak menjawab, berjalan meninggalkan ruangan ini disusul wanita bergaun hitam yang tadi menemaniku mengganti pakaian.

“Dia Ayahku. Ayah kita.”

“Apa?”

“Aku harus membunuhnya, jadi jangan menghentikanku atau membuat sulit keadaan.”

“Eeeh, kenapa membunuh adalah hal yang sangat mudah kalian ucapkan?”

“Harus ada salah satu dari kami yang mati. Aku harus hidup, agar bisa menyelamatkan Zein.”

“Zane? Apa hubunganmu dengan Zane?”

“Kami … sahabat, sejak kecil.”

“Sejak kecil? Aku bahkan tidak pernah melihat Zane dekat dengan wanita lain.”

“Tunggu! Siapa tadi?”

“Apa?”

“Zane?”

“Iya, Zane.”

“Za—ne?”

“Iya. Ada apa denganmu?”

“Lelaki yang memakai tas punggung itu?”

Aku diam, membuang pandangan darinya. Kesal karena dari tadi kami hanya membahas hal tidak penting dan berputar-putar dengan pembahasan soal Zane. Setelah kesalku reda, aku menoleh padany, kupikir ini adalah waktunya bertanya soal jalan keluar. Namun tanpa kusadari Peony sudah tidak lagi ada di hadapanku. Aku memeriksa sekitar dan tidak menemukannya di mana pun. Di semua ruangan dalam kain yang berbentuk rumah ini.

Aku memutuskan untuk kembali ke kerumunan para makhluk itu, berencana berdiri dekat dengan lelaki tua yang katanya adahal ayahku. Berjaga-jaga, setidaknya di sana aku bisa mencegahnya bila dia hendak membunuh saudariku. Entahlah, apa Peony benar-benar saudariku atau tidak. Dia sama sekali tidak menunjukkan rasa senang ketika bertemu denganku. Aku hanya berpikir … entahlah, sebenarnya aku bingung harus bagaimana. Aku tidak bisa berpikir dengan baik.

Semua orang masih riuh meneriakkan entah Zane, Zean, Zein. Aku bahkan tidak lagi mampu membedakan seruan nama yang disusul dengan kata bunuh. Bunyi denting pedang yang mereka gunakan menggema di udara ketika saling beradu. Aku sudah berdiri di sisi Ayah, kupikir perempuan bernama Peony itu juga berada di sini, nyatanya tidak. Aku kaget ketika menyadari Peony berdiri di sana, bertarung melawan Zane, menggantikan lelaki yang berdiri di belakangnya, bersembunyi seperti pecundang.

Denting pedang terus beradu. Zane bergerak gesit, berusaha menyerang. Namun gerakan Peony juga tak kalah cepat, dia seperti hendak melindungi lelaki di belakangnya. Kini, dia bahkan terlihat balik menyerang, membuat lengan kanan Zane tergores. Hampir saja pedang itu mendarat tepat di jantung Zane. Tidak, ini tidak boleh terjadi. Aku harus segera ke sana untuk menghentikan mereka. Bergegas aku berlari, tapi tiba-tiba sebuah jeruji menghentikan langkahku.

“Kamu hanya akan keluar jika pemuda itu berhasil membunuh lawannya, atau membunuh gadis itu sekalian. Dia benar-benar tidak bisa diatur,” tutur pria tua sinting yang tersenyum senang menyaksikan pertandingan tersebut.

“Zane, hentikan, Zane!” Aku berteriak, berharap Zane mendengarnya.

“Percuma, dia tidak bisa mendengarmu. Dia tidak akan berhenti, karena jika dia berhenti, maka dia akan kehilanganmu untuk selamanya.”

 

Bersambung ….

Episode 11 (Sebelumnya)

Epilog (Selanjutnya)

 

Ning Kurniati, seorang perempuan dengan sejuta mimpi.

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply