Yang Pergi, Bertemu, dan Entah (Episode 8)
Oleh : Ning Kurniati
[POV Adiyah]
Aku berjalan menuju rumah dengan tidak tergesa-gesa. Rasa kaget yang meliputiku belum hilang sepenuhnya. Ini semua terasa begitu cepat dan sama sekali … aku tidak menyangka akan bepergian, melakukan perjalanan. Hal terlarang bagi desa kami. Baru semalam aku mengatakan pada Bala bahwa yang kumiliki hanyalah sekadar keinginan. Sekadar, tidak ada rencana untuk mewujudkannya. Namun, pertemuan dengan Zane sore ini mengubah semuanya. Rasanya sebagian nyawaku melayang entah ke mana meninggalkan raga. Ada kekosongan dalam dada yang sama sekali tidak dapat kudefinisikan, seperti ada kekhawatiran, tetapi di lain sisi, entahlah.
Saat ini benakku hanya dipenuhi tentang kemungkinan-kemungkinan yang terjadi selama perjalanan. Paling tidak, kejadian buruk pasti akan menyapa satu – dua kali atau lebih. Dan aku sama sekali tidak memiliki persiapan untuk mengatasi. Nol. Karena selama ini aku tidak pernah meninggalkan rumah terlalu jauh, ke hutan yang mengelilingi desa kami saja tidak. Dan sekarang aku malah memberanikan diri bepergian menuju kota, hanya karena sebuah rasa penasaran yang terlalu besar pada pesta. Ini terlalu gila. Menggilakan.
Sejenak, aku memikirkan keadaan ayah-ibu bila kutinggal pergi. Apa bisa pertengkaran-pertengkaran itu akan terhenti dan teralihkan dengan kepergiaan anak tunggalnya dari rumah. Selama ini mereka terlalu sibuk meributkan hal-hal yang tidak aku mengerti, sampai-sampai pada beberapa waktu aku merasa tidak dianggap ada. Tidak ada. Bahkan bisa dihitung berapa kali kami bercengkerama dalam sebulan. Akibatnya, pergaulanku dengan orang-orang desa juga menjadi buruk.
Tidak, tidak akan ada masalah yang menimpa kedua orangtuaku. Orang-orang desa hanya akan berspekulasi dan menghubungkannya dengan mitos-mitos yang ada. Seperti … aku disembunyikan oleh hantu hutan, atau apalah. Tidak akan ada yang mengira aku bepergian menuju kota. Mana mungkin seorang gadis bepergian seorang diri. Pun bila mereka menganggap aku pergi bersama Zane, tetap saja kedengarannya tidak masuk akal. Selama ini Zane lebih tampak seperti seorang yang bodoh, tidak tahu apa-apa, ketimbang seorang yang akan dengan berani membawa gadis ke luar dari desa.
Pohon-pohon yang menjulang tinggi seolah berlomba menyembul memperlihatkan diri di bukit depan rumah. Dari baliknya, tampak ada sosok yang mengawasiku. Entah karena suasana hatiku yang tiba-tiba menjadi buruk atau karena memang ada sesuatu di sana. Aku menarik napas, menahan dan mengembuskannya dengan kasar. Tidak ada apa-apa. Teman-teman Bala tidak ada yang berani mendekat. Jadi, di sana pasti bukan apa-apa. Hanya pohon jati yang sedang meranggas di antara pulai, bungur dan pohon lainnya.
Setelah mengamati bukit, dengan tidak acuh aku melangkah masuk ke rumah. Kosong. Kedua orangtuaku pasti belum kembali dari ladang. Aku bebas bergerak, menyiapkan segala sesuatunya. Tidak banyak yang menjadi bekalku selain satu botol air dan beberapa helai pakaian. Pakaian tersebut pun kulipat rapi dalam sebuah kain usang berwarna cokelat yang kuambil dari kamar Ibu. Hanya ini, tidak perlu macam-macam. Jadi, kalau bertemu pencuri atau perampok, aku tidak akan banyak kehilangan. Bila mereka menginginkan nyawaku, juga tidak apa. Toh, aku tidak berarti apa-apa bagi siapa-siapa.
***
Aku meninggalkan rumah, berselang beberapa menit, suara serangga malam tidak lagi kedengaran. Seperti malam sebelumnya, suasana desa tampak senyap. Tidak ada yang berjaga ataupun sekadar lewat.
Dari kejauhan, tampak Zane sedang menunggu di bawah pohon ketapang dengan sebuah tas yang tersampir di punggungnya.
“Dari mana kamu mendapatkan tas itu?” ucapku yang sudah berdiri di belakangnya.
Dia berbalik. “Dari mana lagi, selain para musafir.”
“Aih, kamu memiliki banyak persiapan, sedangkan aku? Lihatlah!” ucapku dengan merentangkan tangan, kesal.
“Tidak apa-apa, segala kebutuhan kita sudah aku persiapkan dalam tas ini.” Tunjuknya pada tasnya.
“Ya sudah! Ayo berangkat sekarang!”
“Di!”
Belum sempat aku mengerti seruan Zane. Dia sudah menarik tanganku hingga kami begitu dekat, merapat pada batang pohon ketapang. Dan sebelum aku sempat protes, dia membekap mulutku, menyuruhku untuk diam.
“Sekumpulan orang tengah berjalan menuju kemari.”
Kami mematung di posisi masing-masing, beberapa lama hingga mereka yang melintas benar-benar hilang dari pandangan.
“Mereka siapa?”
“Entahlah, ayo bergegas!”
***
Kami berjalan di sepanjang pinggir sungai sampai mendapati bagian yang cukup dangkal untuk diseberangi. Zane memilih sisi yang tepat, pada tinggi air yang hanya sebetis. Aku mengikut di belakangnya, sama sekali tidak tahu arah mana yang akan ditempuh. Diriku sudah serupa orang buta yang berjalan tanpa tahu arah, hanya mengikut.
Kami terus melangkah diiringi pencahayaan dari sinar bulan yang sudah mulai redup. Beruntung rumpunan pohon jati yang meranggas cukup membantu agar kaki tidak tersandung. Perlahan, barisan pohon jati berubah menjadi pohon yang tidak lagi dapat kukenali jenisnya. Rimbun daunnya cukup lebat mengumpul pada beberapa sisi dengan bentuk yang memanjang, tidak lebar. Batangnya sangat tinggi, lebih tinggi dari pohon bungur yang sering kulihat dan tidak memiliki percabangan.
Udara perlahan terasa semakin dingin, padahal seharusnya kami tidak merasakan itu karena keringat yang membanjiri tubuh. Suara yang aneh mulai terdengar. Seolah banyak yang sedang berbicara, kasak-kusuk, tetapi tidak terlihat. Mereka bukan makhluk seperti Bala, karena aku hanya bisa mendengar dan itu pun samar-samar.
“Zan?”
“Hmm.”
“Apa ka—“
“Diamlah, Di! Kita harus berjalan terus sampai puncak bukit ini. Besok pagi, kita menuju desa sebelah.”
“Apa kita akan melewati desa sebelah? Aku pernah mendengar mereka sudah cukup modern—menggunakan banyak benda-benda seperti orang kota,” ucapku dengan suara yang kecil, seolah berbisik.
“Tidak, kita hanya akan melewati sisi selatan dari desa itu.”
“Wah, kamu juga tahu tentang arah mata angin?”
“Ushh!”
Aku tidak lagi mengucap apa-apa meski berbagai pertanyaan ingin sekali kulontarkan. Pandangan kuedarkan ke segala arah. Kami berada di tengah hutan di mana siapa pun tidak akan ada yang mendengar pembicaraan. Lalu, untuk apa dia menyuruhku untuk diam. Mengesalkan sekali, kendati demikian aku tidak mengajukan protes atas tindakannya.
Napas kami tidak lagi beraturan dan jalanan semakin menanjak. Berkali-kali Zane mengulurkan tangan untuk membantuku. Bila tidak kuat lagi, aku akan menyandarkan diri di pohon apa pun, selama batangnya tidak berduri. Seingatku hanya tiga kali kami mengambil jeda.
Kami berhenti mendadak, tidak jadi melangkah. Sekumpulan entah makhluk apa menampakkan diri, tepat ketika kaki kami baru saja menapak di puncak. Mataku melotot tajam. Mulutku mengatup rapat dan aku menelan air liur begitu saja, berkali-kali. Kaki tidak bisa kugerakkan. Seluruh tubuhku gemetar. Sangat berbeda dengan kami ataupun Bala. Makhluk itu terlihat aneh. Setidaknya Bala dan teman-temannya hanya memiliki kulit yang pucat, tetapi mereka ….
“Tenanglah, Di, tenang!”
Perkataan macam apa itu. Bisa-bisanya Zane menyuruhku tenang di saat seperti ini.
“Mereka mungkin akan membawa kita ke pesta, Di. Ayo, berpikiran yang baik!”
Ooh, ingin sekali aku memukul kepalanya agar dia berpikir waras di saat seperti ini. Sekarang bukan lagi waktunya untuk berpikiran baik. Aku menoleh, manatapnya. Dia memandang lurus pada makhluk itu. Sesuatu yang salah, inilah tanda kekhawatiranku tadi sore.
“Zan, apa kamu bagian dari mereka?”
“Kenapa bertanya seperti itu, Di?” ucapnya sembari menoleh, menatapku.
“Ka—kamu tidak takut melihat mereka?”
“Apa maksudmu?” Zane menatapku dengan mata yang membelalak dan alis yang mengerut ke pangkal. Dia seolah ingin mengatakan sesuatu dengan raut wajahnya, tetapi aku sama sekali tidak bisa menerjemahkannya. Aku terus menggeleng-gelengkan kepala. Lama-lama mukanya sudah tampak seperti ….
“Lariii!”
Bersambung ….
Ning Kurniati, seorang perempuan dengan sejuta mimpi.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata