Yang Pergi, Bertemu, dan Entah (Episode 6)
Oleh : Ning Kurniati
[POV Adiyah]
Aku duduk di bawah pohon bungur menunggu kedatangan Bala. Sendiri dengan suasana senyap tanpa adanya suara serangga malam atau siapa pun yang kebetulan lewat. Beruntung, langit dipenuhi kerlip bintang dengan bulan yang bersinar terang. Setidaknya, mataku bisa menangkap keindahan di atas sana dan tidak tampak seperti seorang yang kesepian karena ditinggal pergi.
“Hei!” bisik Bala dari belakang telingaku.
Aku hanya tersenyum dan berbalik melihatnya.
“Apa ini? Apa kamu sedang menakutiku atau membuatku kaget?”
Dia terkekeh. “Kedua-duanya.”
“Tidak akan,” jawabku.
“Jadi, Di, hal apa yang ingin kamu katakan?”
“Mmm, setelah berpikir lama, rasanya aku ingin pergi mengunjungi sebuah pesta. Pesta seperti yang kamu bicarakan tempo hari.”
“Benarkah?”
Aku belum menjawab, tetapi senyuman Bala sudah terkembang. Senyuman terbaiknya yang pernah aku lihat selama ini. Dia begitu girang, berlompatan ke sana-kemari.
“Ini akan menjadi perjalanan terindahku,” ucapnya di sela lompatan.
“Bala, dengar dulu! Aku hanya memiliki keinginan. Bukan berarti aku akan melaksanakan apa yang kuinginkan itu. Aku hanya sekadar ingin. Sekadar.”
Ekspresi senangnya seketika redup bagai cahaya lampu teplok yang dimatikan. Dia pergi meninggalkanku tanpa sepatah kata pun. Untuk pertama kalinya, dia mendiamkanku. Selama ini selalu aku yang marah, tetapi sepertinya, kali ini giliran dia yang marah. Padahal sama sekali, aku tidak bersenda gurau. Aku jujur mengatakan bahwa aku memiliki keinginan, tetapi bukan berarti bisa mewujudkannya. Semuanya tidak semudah mengucapkan, terlebih ketika memikirkan bahwa kami tidak memiliki kebiasaan bepergian. Siapa pun yang melihatku pergi, akan melarangku habis-habisan dan orang tuaku bisa saja kena hukuman dari kepala desa.
Orang-orang di desa kami sangat menjunjung tinggi aturan yang mereka buat sendiri dengan alasan yang tidak berdasar. Seperti, tidak menerima hal-hal baru yang ditawarkan dan hidup biasa saja seperti yang telah dilakukan turun-temurun sampai ajal menjemput. Para tetua melarang siapa pun untuk bepergian. Satu-satunya hal yang mereka terima dan boleh kami lakukan adalah mempelajari bahasa. Hampir semua bahasa dari orang-orang yang melewati desa, kami pelajari. Meskipun tidak keseluruhan kami bisa kuasai. Tujuannya hanya satu, agar kami tidak mudah dibohongi dan dibodoh-bodohkan oleh siapa pun. Jadi, apa susahnya melepas satu atau beberapa orang ke luar dari desa ini agar mereka—atau kami—tidak lagi menjadi bodoh.
Orang-orang di sini tahu bahwa desa-desa terdekat, sudah melangkah meninggalkan sebagian kebiasaan para leluhur, menerima perubahan zaman yang digaungkan oleh para orang kota. Akan tetapi, kepala desa kami tetap saja melarang rakyatnya untuk mengikuti apa yang sudah dimulai desa sebelah. Aneh. Untuk apa menjalankan kebiasaan orang terdahulu sedangkan itu tidak membawa kebaikan sama sekali.
***
Mata sudah berulang kali aku pejamkan, tetapi tetap saja tidak bisa tertidur. Sebentar-sebentar menghadap ke kanan, lalu ke kiri. Percuma, ingatan tentang pesta yang diceritakan Bala terus saja berputar-putar di kepalaku.
Aku tidak pernah mengira bahwa bisa sepenasaran ini pada pesta dan sangat ingin bepergian untuk segera mewujudkannya. Gambaran tentang pesta itu terus menghantui melebihi keberadaan Bala dan teman-temannya. Tunggu, bukankan Zane mengatakan ingin bepergian. Iya, dia bepergian tetapi dia tidak menyebut ke mana tujuannya. Sekarang, aku malah menyesal tidak bertanya.
Aku bangkit dari pembaringan, melangkah mendekati jendela, membukanya dan membiarkan angin mengibaskan rambutku. Aku berdiri memandang ke luar, memperhatikan malam dengan segala yang ada dan mulai mereka-reka kemungkinan tujuan Zane. Dia bisa saja memiliki keinginan sepertiku. Iya, kemungkinanya ada. Dia mengatakan ‘sebuah’, berarti itu adalah tempat. Lalu, tempat semacam apa yang dimaksudnya. Tiba-tiba saja rasanya aku ingin matahari terbit seketika dan mencari laki-laki cungkring itu. Semoga saja dia menginginkan pesta dan kami bisa pergi bersama.
***
Aku ke luar dari rumah ketika bunyi kokok ayam baru saja terdengar. Ke mana pun mata memandang semuanya belum ada yang jelas, masih samar-samar, tetapi hal ini tidak meyurutkan niatku untuk mencari Zane. Secepatnya, aku harus bertemu dengan dia.
Berada di jalanan aku bingung harus berjalan ke arah kanan atau ke kiri. Saat seperti ini, bantuan Bala ataupun teman-temannya begitu berarti untuk mencari tahu seseorang. Antarmereka bisa mencari tahu siapa pun dengan bertukar informasi. Sayangnya, mereka tidak akan melakukan itu, mendekat saja kepadaku sudah tidak berani.
Aku berjalan hampir ke seantero desa. Menanyakan keberadaan Zane pada tiap orang yang kutemui. Nihil, tidak ada yang melihat di mana laki-laki dengan perawakan yang tinggi itu. Keringat sudah tak terkira menjalari seluruh tubuh dan kami belum juga bertemu.
Istirahat. Aku duduk bersandar di bawah pohon ketapang di pinggir sungai. Lalu, tiba-tiba seseorang menepuk pundakku dengan ….
“Buku? Hei, dari mana kamu mendapatkan itu?” ucapku diiringi dongakan, melihat orang yang menepukku.
“Dari mana lagi, para musafir. Aku menukarnya dengan buah,” ucapnya sembari duduk di sampingku.
“Kamu tahu, buku adalah sesuatu yang dilarang.”
“Tentu, aku tahu. Makanya selama ini kusembunyikan.”
“Selama ini?”
“Yah, selama ini. Aku juga tahu kamu punya beberapa dan kamu sembunyikan di suatu tempat ‘kan?”
“Bagaimana kamu bisa tahu hal itu?” ucapku dengan dagu sedikit terangkat.
“Caramu berbicara. Kamu pasti tidak sadar sering mengucapkan kalimat yang tidak biasa, berbeda dengan orang-orang dan kamu selalu begitu penasaran dengan para musafir.”
Aku hanya diam, tidak menaggapi ucapannya. Semua yang dikatakannya benar. Jadi, sama sekali tidak kusanggah. Setelah terdiam cukup lama, baru aku bertanya dari mana dia dengan sama sekali tidak menunjukkan kalau hampir seharian aku mencarinya.
“Kamu selama ini ke mana. Maksudku bepergian. Bukannya kamu bepergian?”
“Tidak ke mana-mana. Bepergian. Aku hanya pergi membaca buku-bukuku.”
“Ooh.” Aku kira dia sudah keluar dari desa. Dasar Zane! “Dari mana kamu belajar membaca buku-buku itu?”
“Dari mana kamu belajar. Aku juga belajar dari sana.”
“Ih, jawaban macam apa itu. Aku ingin mengatakan sesuatu. Eh, tunggu dulu, pada malam kita membicarakan Daleva dan Ray. Apa yang kamu pikirkan?”
“Apa yang aku pikirkan? Aku tidak memikirkan apa-apa. Memangnya apa yang harus aku pikirkan.”
“Yakin?”
“Iya, yakin,” jawabnya dengan kesal.
Akhirnya, aku bisa menghela napas lega.
“Kamu sudah tahu tentang pesta?”
Sontak aku menoleh. “Kamu tahu juga tentang pesta?” ucapku girang.
“Baguslah, kamu tahu juga tentang itu.”
“Aku ingin ke sana.” Seketika aku menggigit bibir, menyesal mengucapkan hal itu.
Aku melihat ke sembarang arah berusaha menghindar dari tatapan Zane.
“Ayo, kita pergi malam ini!”
Kaget, aku menoleh, menganga, tidak menyangka Zane akan mengatakan itu.
“Malam ini kita ketemu di sini. Saat serangga malam tidak lagi berbunyi,” ucapnya lalu pergi meninggalkanku begitu saja.
Aku masih tercengang dan Bala tiba-tiba saja muncul di hadapanku, tersenyum seperti semalam sebelum pergi.
“Kamu harus pergi malam ini, Di. Harus!”
Bersambung ….
Ning Kurniati, seorang perempuan dengan sejuta mimpi.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata