Keinginan

Keinginan

Keinginan
Oleh : Freky Mudjiono

Dia adalah seorang pemuda, sudah selayaknya maju menjadi pembela agama, sebagaimana dahulu sahabat-sahabat Rasulullah mengusung pedang di garis depan. Dia–Sobri–dengan sorot mata tajam, menatap pria tua dan berserban di hadapannya, tapi tetap berusaha menahan lontaran kata dari mulutnya. Ia sadar, bahwa pria kurus dan sedikit bungkuk itu, masihlah orang yang wajib ia hormati.

“Apa maksudnya ini, Atok?” Dia bertanya, ah tidak, lebih tepat bila disebut menuntut penjelasan atas hal yang tidak biasa di malam pertama bulan Ramadan ini.

“Tidak ada Tarawih,” jawab pria itu singkat dan tenang. “Pulanglah, Sobri. Salat di rumah saja.” Tok Hamdan melangkahkan kaki meninggalkan teras Masjid yang pintunya telah digembok dari luar. Saku baju koko-nya mengeluarkan suara gemerincing anak kunci yang beradu dalam setiap ayunan langkah.

Sobri mengembuskan napas kasar. Tidak disangka, isu yang berembus itu benar adanya.

***

“Tak layak! Malu kita punya imam pengecut macam, ni.” Sobri mengomel sambil mengunyah cengkodok pisang sesaat setelah azan magrib sayup berkumandang.

“Memang sudah dilarang, kah?” Istrinya menyodorkan semangkuk kolak pisang.

Sobri mendecak kesal demi mendengar pertanyaan sang istri. “Mana lah bisa, orang beribadah dilarang.” ucapnya lagi tanpa menghentikan suapan potongan pisang ke dalam mulut.

“Bukankah itu ada yang azan? Pasti ada yang salat di Masjid,” cetus istrinya.

“Sudah ditutup … sudah ditutup ….” Sobri mengibaskan tangannya di udara seolah dengan begitu bisa menghapus ucapan terakhir sang istri. “Si Ijal, penjaga masjid bilang, tidak ada yang boleh masuk. Salat jama’ah sama keluarga di rumah saja. ‘Perintah Atok Hamdan’, katanya. Mentang lah Masjid itu dibangun oleh keluarganya.”

Sobri mendecih.

“Tidak adakah yang berunding dengan Tok Hamdan? Bukankah selama ini dia orang yang pengertian?” tanya istri Sobri ingin tahu.

“Sudah. Tapi dia degil. Pak penghulu dah minta, ‘biarkan sajalah.’ Tok Hamdan bersikeras juga, katanya, ‘Bila dibiarkan, nanti kuman merajalela. Kemudian menginfeksi anak-anak atau orang tua di rumah, bisa menyebabkan kematian.’ Dia tak mau tanggung dosa besar tu.”

Sobri menggeleng-gelengkan kepalanya, mungkin teringat kala ia dan beberapa orang lainnya ikut bersama Penghulu Kampung menghadap Atok Hamdan.

Sebenarnya, masjid kecil yang terletak persis di tengah kampung itu telah diwakafkan untuk warga, tidak ada yang bisa melarang mereka Salat di sana. Namun, warga kampung terlanjur menghormati benar, seorang Atok Hamdan. Selain garis keturunannya yang mulia, dia juga terkenal sebagai orang alim dan bijaksana. Mana ada yang berani membantah? Seperti Sobri, mereka semua hanya bisa menahan sumpah serapah di dalam hati. Tiga malam Ramadannya terasa hampa tanpa dihiasi tarawih dan tadarus di Masjid.

“Tak disangka, tipis benar ternyata iman .…”

Ucapan Sobri terhenti oleh suara ketukan keras di pintu depan rumahnya.

“Wa’alaikum salam,” ucapnya dan istri serentak, menjawab salam yang terdengar dari luar. Sobri beranjak untuk melihat siapa dan ada keperluan apa bertamu ke rumahnya.

“Irwan?”

“Sob, tolong aku,” seru Irwan yang berdiri dengan sorot mata cemas di depan pintu. “Istriku nak melahirkan. Bidan kampung bilang, sungsang. Harus segera dibawa ke rumah sakit. Tolong … tolong antarkan kami, Sob,” jelasnya lagi.

Sobri mengangguk.

Tidak lama kemudian, mobil pick-up yang biasa digunakan Sobri untuk mengantar hasil kebun warga kampung ke pasar-pasar di kota telah meluncur di jalanan yang mulai gelap. Menuju rumah sakit yang letaknya kurang lebih dua jam perjalanan.

Mereka tiba nyaris tanpa hambatan berarti. Sobri memilih menunggu di pelataran rumah sakit yang cukup asri dengan taman-taman kecil, sementara rombongan kecil yang diantarnya bergegas masuk.

Sobri mengayunkan langkah mendekat ke beberapa bangku beton yang tersusun di tepi taman kecil. Baru saja duduk dan hendak menyulut sebatang rokok, Sobri dikagetkan oleh suara keras seorang pria.

“Ha, apa? Iya! Iya!”

Sobri memperhatikan langkah pria itu yang berjalan mondar-mandir di hadapannya.

“Iya, Sayang. Papa masih harus bobok di rumah sakit dulu.” Banyak kata terlontar kemudian, sepertinya pria itu berusaha membujuk seseorang yang tengah berbicara dengannya.

Mau tak mau, Sobri ikut mendengarkan.

“Nanti Adek mau dibawakan apa?” tanyanya, kemudian terdiam, lalu mengerutkan kening sejenak sebelum tawa lepas terdengar. “Oke, beres. Sudah dulu ya, Sayang. Besok sebelum Adek mau bobok, papa telepon.” Panggilan kemudian diakhiri dengan salam dan ‘mmuach’.

Pria itu lalu duduk di bangku yang sama dengan Sobri, hanya saja sedikit lebih ke ujung. Kini, Sobri bisa melihat sedikit lebih jelas, wajah pria yang tadi begitu bersemangat berbicara melalui ponselnya. Pria berwajah kuyu dan lelah itu, berkali-kali menghela napas panjang.

“Rokok?” Sobri mencetus spontan saat pria itu menoleh dan memergokinya tengah mengamati.

“Ah, tidak. Terima kasih.” Pria itu menolak dengan sopan.

“Meskipun sudah hampir larut malam. Tetap ada yang berobat, ya.” Sobri membuka percakapan, tapi bukan hanya basa-basi. Sedari tadi, dia telah melihat beberapa kali mobil ambulance maupun pribadi mengantarkan pasien.

“Penyebaran virus makin meluas. Setiap saat selalu ada saja pasien berdatangan, baik sukarela maupun dijemput.” Kehampaan jelas terdengar dari suara pria itu.

“Separah itu?” Sobri membulatkan mata.

“Padahal saya ingin sekali bisa pulang, sahur, berbuka puasa, dan Tarawih ditemani anak istri,” ucap pria itu melempar pandangannya ke langit.

“Kenapa tidak pulang saja?” anjur Sobri, dalam benaknya ada rasa syukur bahwa dirinya masih bisa berbuka bersama keluarga kecilnya, lalu selanjutnya mereka Tarawih berjamaah di rumah.

“Tugas saya diperpanjang. Bisa saja saya tolak, tapi teman-teman akan sangat kewalahan bila satu orang saja berkurang. Makin hari, kami makin kehabisan tenaga. Belum lagi tuntutan menjaga perasaan dari keluarga yang tidak terbiasa ditinggal lama. Sedangkan, pasien yang harus dirawat jumlahnya semakin bertambah. Rasanya, fisik dan batin tengah diperas habis.” Pria itu terdiam sejenak dari rentetan kalimat, seolah tengah mengerem lidah.

Sobri ikut tidak mengatakan apa-apa.

“Padahal, apa sulitnya bagi mereka yang di luar sana, untuk sejenak merubah kebiasaan. Setidaknya sampai wabah ini berlalu. Egois sekali. Apakah mereka tidak kasihan pada kami, para tenaga medis ini?”
Sobri hampir tak kuasa mengangkat wajah dan menatap pria yang diajaknya bicara. Dia merasa tengah dihakimi.(*)


Medan, 30 Mei 2020

Freky Mudjiono. Penulis bernama sedikit ‘maskulin’ ini adalah seorang wanita kelahiran tahun 1980. Beberapa kali karyanya telah ikut tercantum dalam berbagai judul dan genre buku antologi sejak mulai serius menekuni hobinya di pertengahan tahun 2019. Memiliki keinginan untuk tampil keren, dengan meninggalkan jejak kehidupannya melalui dunia literasi.

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply