Aku Bersyukur Akhirnya Mereka Berpisah
Oleh: Imas Hanifah N.
Sebagai seorang pekerja freelance yang menyewa sebuah rumah kontrakan, aku selalu mengharapkan malam yang cukup sunyi dan tenang. Ya, karena di malam harilah aku lebih banyak bekerja. Aku bisa begadang sampai subuh demi menyelesaikan semua pekerjaan yang memang selalu diberi tenggat waktu yang sempit.
Akan tetapi, harapanku rupanya harus musnah ketika sepasang suami-istri datang menyewa rumah kontrakan yang berada tepat di samping rumah kontrakanku. Jika mereka adalah pasangan yang biasa-biasa saja, maka tak masalah. Namun, mereka tidak begitu. Bagiku, mereka pasangan yang berantakan. Kenapa bisa? Karena sejak mereka tinggal, malam yang sunyi dan tenang tak pernah kudapatkan lagi hingga kini.
Dan masalah yang datang jika aku tak bisa fokus adalah pekerjaan yang kulakoni adalah aku akan terus melakukan banyak kesalahan. Itu artinya aku harus mengulang semua dari awal. Ini menyebalkan, tapi aku tidak tahu harus bagaimana.
Sama seperti malam ini. Aku harus segera menyelesaikan pekerjaanku. Sebuah banner iklan harus kubuat secepatnya. Namun, suara barang pecah membuat konsentrasi ini betul-betul berhamburan.
Aku diam dan hanya menatap laptop. Telingaku yang masih normal, dapat dengan mudah mendengar teriakan demi teriakan mereka.
“Bangsat! Kenapa kamu mabuk lagi?”
“Hahahaha! Kamu sudah berani ngomong kasar?”
Sebuah suara keras seperti barang pecah kembali terdengar. Kemudian berakhir dengan suara sesenggukan sang istri.
Jujur, aku tidak ingin mendengarnya, tapi aku juga sungguh tidak ingin melakukan apa-apa terhadap mereka. Itu bukan urusanku. Akan sangat aneh jika tiba-tiba aku datang dan melerai. Bukankah itu akan membuat mereka merasa malu? Atau justru nanti kemarahan si suami akan makin menjadi? Membayangkannya saja membuatku ngeri.
Kalau sudah begini, tidak ada gunanya melanjutkan pekerjaan. Aku harus menunggu sampai isak tangis itu tak terdengar lagi.
***
Sebuah panggilan telepon membuatku seketika terperanjat. Kaget, mendapati layar lapotopku masih kosong dan ….
Gawat! Aku ketiduran!
Panggilan itu berasal dari Reni, orang yang menyuruhku membuat banner. Aku sudah tamat sekarang. Benar-benar tamat.
“Halo, Ren,” ucapku pelan.
“Gimana kerjaannya? Buruan kirim file-nya sekarang ke aku.”
Aku tidak tahu harus berkata apa.
“Heh, buruan.”
“Maaf, Ren. Aku ketiduran semalam.”
“Hah? Kok bisa?”
“Iya, aku gak tahu, aku ketiduran.”
“Ya, kalo gitu seharusnya kemarin kamu gak nyanggupin kerjaannya, dong. Aku kan bisa cari yang lain.”
Belum sempat aku menanggapi perkataan Reni, sambungan telepon sudah ditutup lebih dulu olehnya.
Kacau! Ini adalah kedua kalinya aku menyia-nyiakan job. Sebelumnya aku selalu tepat waktu dan tidak pernah mengecewakan orang yang menggunakan jasaku. Sekarang, tidak tahu lagi harus apa.
Mood-ku hancur. Pada akhirnya, di pagi yang buruk itu, aku kembali ke tempat tidur dan memejamkan mata. Terlalu malas untuk memulai apa pun.
Ini berlanjut sampai dua minggu kemudian. Aku yang sudah bosan, bertekad untuk berbicara dengan istrinya. Memang benar aku bukan tetangga yang baik, menyapa saja tidak pernah. Bahkan sejak mereka pindah, aku dan mereka belum sekali pun saling berbicara. Akan tetapi, dibandingkan mereka, siapa yang lebih merasa rugi? Tentu saja aku.
Dengan langkah pelan, aku menuju rumah mereka. Belum sempat aku sampai di pintu, sang istri lebih dulu muncul. Aku diam sejenak.
“Maaf, ada yang ingin saya bicarakan,” ucapku sambil tersenyum lebar.
Si istri terlihat sedih, tapi mencoba tersenyum.
“Silakan masuk. Saya juga butuh teman bicara.”
Sebenarnya, aku tidak ingin berlama-lama. Hanya saja, aku merasa tidak enak.
Saat memasuki ruang tamu, aroma lemon dari pengharum otomatis dengan mudah tercium. Segar dan nyaman.
“Maaf, tapi saya ingin bertanya.”
“Bertanya?”
“Iya, saya tidak punya teman bicara. Kebetulan kamu juga datang. Saya ingin minta pendapat.”
“Oh, boleh.”
“Menurut kamu, apakah lebih baik saya bercerai?”
Aku tak menyangka akan mendapatkan pertanyaan semacam ini. Aku hanya tersenyum tidak enak dan berpikir lama sebelum menjawab.
“Saya … tidak tahu.”
“Hehe, maaf, ya. Saya tiba-tiba minta pendapat.”
“Gak apa-apa, kok. Saya memang tidak tahu harus berpendapat apa. Kalau memang merasa sudah tidak cocok, mungkin keputusan itu yang terakhir.”
Istri itu mengangguk.
“Baik, terima kasih, ya. Saya jadi cukup lega. Oh iya, kamu mau ngobrol apa tadi?”
Dengan cepat aku menggelengkan kepala.
“Tidak, saya tadi cuma mau ngomong kalau misalkan kamu punya waktu luang, kamu boleh mampir ke rumah saya.”
Dia tersenyum. Aku berpamitan untuk pulang.
Kemudian, tiga hari setelah itu, aku tidak mendengar suara gelas pecah lagi. Aku juga bisa menyelesaikan pekerjaan dengan baik.
Namun, seminggu kemudian, aku kembali sulit menyelesaikan pekerjaan.
Malam yang sunyi dan tenang itu, yang selalu kuharapkan, entah kapan akan kembali lagi. Karena, meskipun suara-suara pertengkaran itu tak lagi terdengar, tapi hampir setiap malam aku mendengar suara tangisan si istri.
Aku bersyukur pada akhirnya mereka berpisah. Akan tetapi, seharusnya salah satu dari mereka tidak tinggal di sini. Seharusnya si istri juga pergi mencari tempat yang baru. Karena meskipun mereka tinggal sebentar, dan rumah mereka selalu diisi pertengkaran, rumah itu juga menyimpan kenangan buruk.
Tasikmalaya, 2020
Imas Hanifah Nurhasanah. Bercita-cita jadi penulis sejak kecil. Lahir di Tasikmalaya, 24 Desember 1996. Saat ini, tinggal Tasikmalaya. Penyuka jus alpukat ini, bisa dihubungi via akun facebooknya: Imas Hanifah atau akun IG: @hanifah_bidam. Baginya, menulis dan membaca adalah sebuah kebutuhan.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata