Lorong-Lorong Masa Lalu
Oleh : Aisyahir
Di hari Minggu, aku dan Bapak pergi mengelilingi kampung dengan bersepeda. Aku duduk di depan, sedang Bapak yang mengayuh sepeda sembari bercerita. Angin pagi tak ketinggalan menerpa-nerpa, suasananya memang tak seramai perkotaan, hanya ada satu-dua kendaraan yang kami temui. Kiri-kanan jalan ada sawah yang membentang luas, sesekali juga kami mendaki pegunungan.
Aku yakin hari Minggu kali ini akan menjadi yang paling berkesan, bahkan tanpa sadar, ketika Bapak asik bercerita panjang lebar, kami telah melewati lorong-lorong masa lalu.
“Dulu ini adalah jembatan paling ramai saat senja. Bapak juga sering ke sini bersama ibumu, dan menjadi tempat pertemuan pertama kami,” ujar Bapak saat kami melewati sebuah jembatan tua yang alirannya terhubung dengan laut.
Bapak tidak berhenti, masih terus mengayuh sepeda dengan semangat.
“Jadi, bisa dikatakan jembatan ini adalah jembatan penemu jodoh ya, Pak?” Kudengar Bapak terkekeh pelan.
“İya. Dulu kami menganggapnya begitu.”
“Kalau sekarang?” Setelah melewati jembatan yang cukup panjang itu, sekarang kami melewati area persawahan.
“Sekarang cuma sekadar jembatan. Anak-anak muda lebih gemar ke pantai langsung daripada menatap senja di jembatan. Jembatannya juga sudah mulai rusak, tidak secantik dulu.” Aku hanya mengangguk-ngangguk mendengarkan.
“Dan, ini adalah sawah kita. Dulu ini milik kakekmu, sekarang jadi milik Bapak.”
“Apa tanah ini pernah ditanami sesuatu sebelum padi?” Aku bertanya, Bapak masih mengayuh sepeda ontelnya, sawah yang kami lewati cukup berkepanjangan.
“Pernah. Dulu kami menanam tanaman musiman lain, seperti cabe, tomat, dan lain-lain. Tapi lama-kelamaan kami beralih dan menanam padi.
“Dulu Bapak bukanlah orang yang berada, sebelum kakekmu memiliki tanah ini, kami hanya selaku pekerja sawah, kami berpindah dari sawah ke sawah lainnya hanya untuk menghasilkan sepeser uang yang tak seberapa. Saat hendak pulang, kami berburu tutut–keong sawah–terlebih dahulu untuk dijadikan santapan malam. Kalau beruntung, kami biasanya dapat ikan atau belut, tapi kalau tidak, ya, tutut saja.”
“Bapak suka makan keong?” tanyaku penasaran.
“Suka tidak suka kami tetap harus makan, kalau tidak, ya, mati.”
Sekarang kami berbelok, mengarah ke arah pantai.
“Dulu jalanan ini sangat sepi, angker malah. Kalau siang, kadang ada komplotan babi yang menyebrang, kadang kami dikejar, kadang juga mereka hanya numpang lewat. Kalau malam beda lagi, biasanya ada ular yang lewat begitu saja, saat dipandang dua kali, ularnya sudah hilang tanpa jejak. Itulah kenapa sangat jarang ada orang yang mau lewat sendiri di jalan ini. Tapi itu dulu, sekarang tempatnya jauh lebih baik, hutannya tidak selebat dulu, bahkan sudah ada beberapa rumah di sini.”
Aku jadi ikut menoleh memerhatiakan jalan yang kami lewati. Jalannya sedikit berbatu dan berlubang, ada dua aliran kecil yang mengapit kiri dan kanan jalan, di seberangnya ada pohon coklat yang menjulang, juga beberapa rumah.
“Bapak pernah dikejar babi?”
“Emm, pernah. Saat itu Bapak dari pasar anterin ibumu belanja, pulangnya kami lewat jalan ini. Saat asik mengombrol sambil memboncengi ibumu, tiba-tiba ada dua babi yang lewat, ibumu yang saat itu duduk di jok belakang langsung memeluk Bapak erat-erat. Bapak bahkan sampai terkejut-kejut, kaki Bapak sudah tidak terasa lagi mengayuh sepeda saking cepatnya, kaki ibumu juga terangkat-angkat saking takutnya disundul.” Bapak tertawa kemudian, aku juga. Bahkan aku tidak bisa membayangkan bagaimana ekspresi keduanya saat itu.
“Aih, hari ini Bapak jadi bernostalgia.”
“Tapi aku suka.”
Kurasakan tangan Bapak mengusap puncak kepalaku.
“Pengalaman seseru itu hanya bisa dirasakan oleh orang dulu-dulu. Tidak bagi anak sekarang yang bisanya hanya terima jadi. Terutama anak-anak kota, itu pengalamannya sangat berbeda. Terlebih lagi, sekarang zaman sudah berubah, hutan-hutan mulai menipis, di desa pun, sudah jarang kejadian seperti di masa lalu. Sekarang saja sudah tak ada lagi babi yang suka mengejar, mereka lebih memilih menyembunyikan diri dari pemburuh. Kamu sudah pasti tahu, kalau sekarang banyak orang yang berburu babi untuk dijual pada mereka yang ingin membeli. Bapak juga pernah melakukannya minggu lalu, setelah ditangkap, kami membawanya ke desa sebelah, di sana banyak penduduk nonmuslim, di antara mereka memang ada yang membeli babi hasil buruan, kami tidak menukarnya dengan uang, kami takut jika uang itu digunakan untuk membeli makanan, jadi kami tukarkan dengan racun rumput, itu lebih baik.” Aku hanya mengangguk-ngangguk mendengarkan. Tanpa terasa kami sudah sampai di bibir pantai, Bapak menghentikan sepedanya, aku melompat turun, Bapak juga turun dan menyandarkan sepedanya di pohon kelapa. Kami kemudian berjalan beriringan. Bapak memegang tanganku agar aku tidak lari ke mana-mana.
“Dulu kami juga sering bermain di tempat ini. Mandi-mandi biasanya. Kalau hari minggu, ini adalah tempat paling ramai. Ada yang sibuk ketemuan, makan-makan, juga ada yang mandi-mandi, tergantung. Kakekmu juga suka menangkap ikan di sini, hasilnya tak seberapa, tapi cukup untuk menganjal perut hingga dua hari ke depan.”
“Kalau sekarang?”
“Sekarang, sudah jarang dikunjungi orang. Ada, tapi tak seberapa. Lokasinya juga tak sebersih dulu, sekarang orang-orang hanya mengandalkan air pasang yang membersihkan sendiri area berpasirnya.” Kami masih berjalan, Bapak sengaja tak membawaku menyentuh air, kakiku memang terasa gatal jika menyentuh air laut.
“Sudah cukup, ayo kita pulang.” Bapak kemudian menarikku makin menjauh dari laut. Aku sendikit menolak, masih ingin menatap laut lebih lama, tapi Bapak tetap mamaksa, tidak kehabisan ide, Bapak mengendongku agar menurut ikut dengannya.
“Aku kagum sama, Bapak. Bapak punya banyak pengalaman buat diceritakan.” Kudengar Bapak terkekeh pelan, mengusap lembut puncak kepalaku dan kembali mengayuh sepeda ontelnya pelan.
“Sebagai orangtua, kita memang perlu punya segudang pengalaman untuk diceritakan pada anak-anak kita. Agar mereka tidak beranggapan jika orang dulu-dulu tidak punya pengalaman seru sama sekali. Jadi, mulai sekarang kamu harus mengumpulkan banyak pengalaman, supaya kamu punya bahan cerita untuk anak-anakmu kelak. Ingat, yang mereka butuhkan itu bukan hanya tentang kata-katamu yang berandai-andai, mereka lebih suka mendengarkan segudang pengalamanmu yang bisa saja menjadi motivasi tersendiri untuk mereka.”
“Siap, Pak. Aku janji bakalan ikutin wejangan Bapak.”
“Anak pintar.”.
Hari itu, perjalanan kami melewati lorong-lorong masa lalu berakhir. Kuharap, suatu saat momen ini bisa terulang lagi. (*)
Makassar, 30 Mei 2020.
Aisyahir, gadis kelahiran 2001 yang gemar melamun dan memasang wajah datar. Gadis ini sering dijuluki patung bernyawa oleh rekan kerjanya. Dapat dikenal lebih lanjut lewat akun sosmednya: Aisyahir_25.L
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata