Si Jangkung Bermata Biru
Oleh : Sinta Dewi Soebagio
“Bodoh!” umpatku kesal, mengetahui Rico masih setia menungguku di halte bus. Jelas-jelas hari sudah sangat petang, gerimis pun datang menyerang. Dia tetap saja duduk, dengan ekspresi datar sambil memainkan ponselnya. Lampu jalan menjadi satu-satunya teman di saat dia tengah asik menungguku di halte bus, di sebrang jalan kantorku bekerja.
Entah sudah berapa kali ponselku bergetar akibat panggilannya. Namun, tak pernah kuangkat. Aku tidak menyukai pemuda jangkung itu, aku muak setiap kali dia mendekatiku. Aku tahu dia menjagaku, tapi aku bukan anak kecil berusia lima tahun, yang kemana-mana harus terus diawasi bahkan ditemani.
Aku melirik jam dinding di lobi kantor, sudah pukul sembilan malam. Sejenak aku berpikir. Bagaimana caranya aku pulang tanpa harus diketahui oleh pemuda jangkung itu? Dan … aku menemukan sepasang seragam Office Boy tergeletak di meja ruang OB yang tidak jauh dari lobi kantor. Segera aku memakainya, menyelinap keluar dari kantor. Aku menyadari Rico memperhatikanku, tapi dia tetap tidak tahu jika seseorang di balik baju OB ini adalah aku.
Malam ini aku berhasil lolos darinya. Aku tersenyum dengan penuh rasa kemenangan. Bahkan, aku merasa sangat bebas, mengingat Rico seperti bayangan yang tidak mau lepas dari diriku, namun kini dia ketinggalan jauh di belakangku.
***
Hari-hariku mulai kembali normal. Sejak malam terakhir aku melihat Rico duduk sendiri di halte bus, aku tidak pernah lagi melihat sosoknya.
Mungkin dia telah menyerah. Mengingat semua perlakuanku kepadanya yang selalu tak acuh, membuatnya merasa tidak nyaman. Dia memutuskan untuk tidak membuntutiku lagi. Aku bisa dengan tenang melangkah tanpa harus khawatir diikuti oleh Rico, pemuda jangkung yang menyebalkan.
“May …,” panggil Amel teman sekantorku. Dia berlari tergesa-gesa menghampiriku, napasnya memburu, aku hanya memandangnya dengan tatapan datar, tanpa ekspresi.
“Hmm,” sahutku cuek setelah Amel berhasil mencapai tempatku berdiri.
“May, Elo tahu nggak, kalau beberapa hari yang lalu ada sebuah kecelakaan tabrak lari?” tanya Amel, dengan napas yang masih tersenggal-senggal.
“Masa, sih? Di mana?” tanyaku balik, seolah terkejut dengan berita yang sama sekali tidak membuatku tertarik.
“Nih, baca!” ujar Amel, dia menyodorkan sebuah koran harian dan menunjukkan kolom berita yang isinya tentang kejadian kecelakaan tiga hari yang lalu.
Dengan malas aku membacanya, di sana juga terdapat beberapa gambar keterangan saat kejadian berlangsung. Dan, betapa terkejutnya aku mengenali warna jaket cream serta helm yang telah bercucuran darah di salah satu gambar.
“Rico,” gumamku pelan. Aku tidak percaya dengan apa yang aku katakan. Hanya saja, bibir ini telah begitu saja menyebut nama seseorang yang paling aku benci.
“Rico? Siapa Rico?” tanya Amel ketika menyadari mulutku menyebut nama itu.
Astaga! Aku baru ingat jika di malam itu Rico menungguku pulang dari kantor. Menghabiskan berjam-jam waktunya hanya untuk menungguku. Betapa egoisnya aku saat mengingat malam itu, membiarkannya terus menunggu tanpa memberi kejelasan tentang keberadaanku saat itu.
Aku berlari menuju meja kerjaku, menyahut tas jinjing hitam kesayanganku.
“Mel, gue izin pulang, ya. Lagi nggak enak badan,” ucapku buru-buru. Tanpa membuang banyak waktu aku melesat pergi dari kantor.
“Tapi, May!” teriak Amel, tapi aku tidak menghiraukan teriakannya.
Aku bergegas memberhentikan ojek yang melintas dan duduk di bangku penumpang. Aku menunjukkan arah rumah Rico pada sang pengemudi ojek.
Tanganku gemetar, kepalaku sedikit terasa berat, entah apa karena helm yang aku gunakan terlalu besar dan berat sehingga berpengaruh pada beban kepalaku, entahlah.
Beberapa menit kemudian aku sampai di depan rumah Rico. Aku menyerahkan selembar uang lima puluh ribuan kepada pengemudi ojek tanpa peduli mengambil kembalian. Aku berlari, kakiku sedikit tercekat saat menaiki tangga rumah Rico. Aku tidak percaya jika akhirnya aku yang dengan rela mendatangi rumahnya, hanya untuk sekadar mengetahui kabarnya.
Namun, rumah itu kosong. Beberapa kali aku menekan tombol bel, tapi tak ada seorang pun yang membukakan pintu. Aku mencoba mengintip dari balik kelambu tipis, tapi tidak ada pergerakan sama sekali dari dalam.
“Mbak, mau cari siapa?” Aku terkejut, mendapati seseorang menepuk pundakku dari belakang. Seorang ibu-ibu berjilbab menyapaku.
“Eee …, saya mencari Rico, Ibu kenal?” tanyaku balik.
“Oh, nak Rico tiga hari yang lalu kecelakaan. Sekarang sedang koma di rumah sakit, ayah dan ibunya yang membawa nak Rico ke rumah sakit,” jelasnya.
“Rumah sakit?” ucapku kaget.
“Iya, kasihan nak Rico. Entah perempuan seperti apa yang tega membiarkannya menunggu berjam-jam sehingga nak Rico kurang istirahat. Sampai akhirnya kecelakaan itu terjadi. Nak Rico mengantuk sehingga terserempet mobil, lalu motornya menghantam bak truck yang melintas. Sayangnya mobil yang menyerempet dan truck yang dihantamnya kabur, menyisakan nak Rico yang tergeletak sendiri di jalanan.” Cerita dari ibu itu seketika membuatku semakin merasa bersalah. Gara-gara aku, Rico jadi kurang istirahat. Berjam-jam waktunya hanya dia gunakan untuk menjagaku, perempuan yang sangat dia inginkan. Tapi, apa balasanku kepadanya? Hanya kebencian dan rasa muak karena selalu diikutinya. Aku baru sadar, menghilangnya Rico bukan karena dia lelah mengejarku, tapi karena kecelakaan nahas yang menimpanya.
***
Di rumah sakit, aku menemui Rico yang tertidur lelap di atas ranjang. Aku memandangnya begitu lama, memperhatikan setiap senti wajahnya. Wajah itu yang setiap hari kubenci, namun kali ini, wajah itu benar-benar aku rindukan. Tatapan mata datar itu ingin aku lihat.
“Ric, bangun. Gue datang buat Elo. Maafin gue, ya, Ric. Gara-gara gue, Elo jadi begini,” gumamku lemah. Aku mulai menangis, memperhatikan sosok Rico yang sedari tadi kuajak bicara, tetapi hanya diam saja. Matanya tetap tertutup rapat, tidak ada sama sekali pun pergerakan di pelupuk matanya. Tubuh itu seolah mati, tidak merasa atau bahkan mendengar suara.
“Elo bilang, Elo suka kue cokelat karamel, ‘kan? Gue akan buatin kue spesial buat Elo, Ric. Tapi …, gue mohon Elo bangun, ya,” ucapku lagi.
Tetap tidak ada respon dari Rico, hanya bunyi monitor ICU yang menunjukkan denyut jantung Rico yang masih terpompa normal yang menemaniku di ruangan itu. Aku berharap ada keajaiban yang membuat Rico sadar dari koma. Membuka matanya dan melihat diriku ada di sampingnya. Namun sia-sia, berjam-jam aku menungguinya, tetap tidak ada perubahan.
***
Hari ini, aku sengaja mengambil jatah cutiku, setelah beberapa hari memenuhi tugas yang sudah mendekati jadwal deadline. Aku menghabiskan seharian di dalam dapur, mengobrak-abrik isi kulkas dan lemari, membuka YouTube dan belajar membuat kue kesukaan Rico.
Aku akui, aku memang jarang pergi ke dapur. Alhasil ruangan dapur seolah menjadi medan tempur yang porak poranda dihantam ribuan granat dan bom para pelaku perang. Namun aku puas, jerih payahku terbayar dengan selesainya eksekusi kue cokelat karamel. Entah kue ini akan cocok di lidah penikmatnya atau tidak, aku tidak tahu. Aku sendiri tidak yakin ini akan enak dan sempurna.
Aku bergegas menuju rumah sakit, membawa sekotak kue cokelat karamel hasil uji cobaku tadi pagi. Berharap kue ini enak dan bisa menjadi moodboster Rico untuk sadar dari koma.
Aku mengetuk pintu, ruangan itu tetap kosong. Hanya ada sepiring buah yang sedikit terkelupas di atas meja. Mungkin ayah dan ibu Rico yang mengupasnya.
Aku duduk di kursi, di samping ranjang Rico tertidur. Aku kembali memandang wajah itu, wajah yang sama, tidak berubah semenjak aku meninggalkan ruangan itu beberapa hari yang lalu.
“Ric, gue datang. Gue bawain Elo kue cokelat karamel kesukaan Elo. Elo bangun, ya …,” pintaku pelan kepada sosok yang tetap saja diam membisu.
“Ayo, Ric. Entah kenapa akhir-akhir ini gue rindu diikuti sama Elo, gue rindu ditungguin Elo di halte, gue rindu segala nasehat dan omelan Elo sama gue, gue … bahkan gue rindu ingin meluk Elo Ric,” ucapku terbatah-bata. Tanpa sadar aku memeluk tubuh jangkung itu, menangis di atas tubuh yang terbujur lemah itu. Aroma tubuh Rico seketika menyeruak di dalam indera penciumanku. Aroma ini, bahkan, sangat, sangat aku rindukan.
“Mmm … May,” ucap seseorang yang sangat aku kenali suaranya. Aku sontak berhenti menangis, menengadahkan kepalaku mencari sumber suara itu.
“Rico.” Aku terkesiap, mendapati Rico telah membuka matanya. Segera aku menghapus sisa air mata yang meleleh di pipi.
“Mayra …,” ucapnya lagi. Aku tersenyum tidak percaya, melihat bahwa Rico kini benar-benar sadar dari komanya. Matanya yang biru mulai terbuka, walau masih terlihat lemah.
“Ric, Elo sudah sadar. Sudah, Elo gak perlu ngomong apa-apa lagi,” ujarku, lalu hendak pergi memanggil perawat untuk memberitahukan bahwa Rico sudah sadar. Namun, tangan Rico menahanku untuk pergi.
“Tunggu May, El … Elo mau kemana?” tanyanya terbata.
“Gue mau panggil perawat biar mereka bisa ngecek keadaan Elo,” jawabku.
“Nggak perlu, May, gue baik-baik aja,” jawab Rico membujukku. Tangannya tetap dengan posisi menahan pergelangan tanganku untuk tidak pergi. “May …,” panggilnya lagi.
“Hemm …,” sahutku pelan, memperhatikan Rico yang kini berusaha bangkit dari posisi tidurnya. “Jangan, Elo jangan bangun dulu. Keadaan Elo masih lemah,” cegahku padanya.
“Nggak, gue udah baik-baik aja.” Rico memaksakan diri untuk duduk di atas ranjangnya. Aku membantunya agar lebih nyaman duduk di atas ranjang, menggeser bantal agar Rico bisa bersandar. “Apa benar, May, yang tadi Elo bilang?” tanya Rico. Membuatku melotot tak percaya, aku berusaha menyembunyikan sikapku yang agak salah tingkah mendengar penuturannya.
“Tentang apa?” Aku berusaha mengelak, berpura-pura tidak mengerti maksud pertanyaannya.
“Tentang semuanya. Tentang gue, yang intinya, Elo rindu akan sosok gue di samping Elo?” tanya Rico. Kali ini dia benar-benar membuatku mati kutu. Wajahku pasti tiba-tiba saja menjadi merah saat ini, mengisyaratkan semu malu atas ungkapan Rico yang secara tiba-tiba meng-skakmat diriku.
“Jadi …, elo dengar semuanya?” tanyaku bingung.
“Ya, gue sudah sadar dari koma sejak kemarin, May. Entah itu mimpi atau bukan, gue ngerasa Elo manggil gue buat kembali, dan … pada akhirnya gue benar-benar sadar,” ungkap Rico, membuatku semakin terpojok malu. “Dan sekarang, gue mau tanya, apa benar Elo rindu dengan sosok gue?”
Aku tidak kuat menahannya lagi. Aku meluncur, memeluk erat tubuh Rico yang masih lemah. Dia tersentak, sedikit kaget dengan tindakanku yang tiba-tiba memeluknya. Tapi aku pastikan dia tersenyum, membelai lembut rambut panjangku, membalas pelukanku.
“Iya …, Iya, Ric, gue rindu sama Elo. Gue janji bakal nurutin semua nasehat Elo. Gue sadar, gue butuh Elo. Gue merasa kehilangan saat Elo nggak ada. Awalnya, memang gue bahagia nggak diikutin Elo lagi, tapi semakin hari, semakin ada yang kurang dalam hidup gue tanpa adanya Elo,” ucapku panjang lebar, mengungkapkan semua yang ada di dalam hati, tanpa terkecuali.
“Gue sayang sama elo, May …,” gumam Rico pelan saat dia memelukku.
“Gue juga, gue nggak tahu sejak kapan gue mulai jatuh cinta sama Elo, tapi yang jelas, gue benar-benar nggak mau kehilangan Elo lagi, Jangkung,” celotehku.
Akhirnya Rico benar-benar sadar dari koma yang sempat membuatku takut akan kehilangan sosoknya.
Bahwa benar, ungkapan yang menyebutkan bahwa: kita akan benar-benar merasa kehilangan, saat sosok yang selalu ada buat kita benar-benar telah pergi. Tapi aku beruntung, Rico tidak benar-benar pergi dariku. Dia hanya istirahat, melepas penat karena telah menjagaku sepanjang waktu.
Kini Rico telah kembali, kami menjalani hari-hari yang baru, tanpa ada perdebatan tentang perbedaan pendapat, kucing-kucingan, atau bahkan pertengkaran hal sepele. Aku benar-benar telah menerimanya, menjadikannya bagian dalam hidupku yang baru, si Jangkung Bermata Biru. (*)
Sinta Dewi Soebagio. Perempuan yang lahir dan besar di kota kecil bernama Probolinggo, pada 14 April 1992. Penyuka warna pink dan ungu. Bercita-cita menjadi seorang penulis yang mampu melahirkan buku-buku hasil imajinasinya sendiri. Penasaran dengan profil lengkapnya, silakan temukan dalam akun Facebook Sinta Dewi Soebagio.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata
Sumber Gambar: pinterest.com